Share

Leon Sayang Bunda

Author: R. Angela
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Tidak! Kamu harus tetap di sini!"

Dinda menghela napas. “Pak, saya harus pulang.” Kali ini dia berkata tegas, membuat rahang Dewa mengeras.

Pria itu berdiri, kemudian membawa Dinda menuju ruang kerjanya untuk berbicara tanpa perlu didengar orang lain.

“Pak, saya harus pulang,” pinta Dinda lagi. “Saya sudah ikut ke sini. Sebelumnya Bapak tidak menegaskan kalau saya harus tinggal–”

Dewa tersenyum miring. “Pandai bermain kata-kata ya sekarang.”

“Pak.” Dinda menghela napas. Ia mencoba menjelaskan dengan sabar. “Tadi saya sudah mengatakan kalau saya harus segera kembali karena ada urusan keluarga. Ibu saya membutuhkan saya, Pak.”

“Seperti yang kamu ketahui, ini masih hari Jumat. Kewajibanmu padaku belum selesai.”

Dinda menunduk. Ini memang masih pukul 8 malam. 

Dalam surat perjanjian yang mereka tandatangani bersama, jelas tertera, kalau pihak nomor dua, yaitu Dinda, berhak menolak permintaan pihak pertama jika sudah di luar hari kontrak. Ia hanya berkewajiban mematuhi Dewa lima hari seminggu, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Sehingga, mau itu pagi, siang, atau malam, kapan pun Dewa menginginkan kehadiran atau pelayanan Dinda, ia harus patuh.

Dalam kontrak itu juga tertulis, apa pun harus dilakukan Dinda untuk menyenangkan hati Dewa dan ia tidak boleh menolak permintaan bosnya, meski hal itu sangat menyakitkan atau bertentangan dalam hati Dinda.

“Tapi, Pak–”

Tok, tok, tok!

Dua orang itu sontak menoleh ke arah pintu yang terbuka tanpa izin dari Dewa, membuat pria itu makin marah.

Di sana, Helen dan Nakula–saudara laki-laki Dewa–berdiri berdampingan.

“Ada apa?” tanya Nakula kemudian saat melihat ekspresi Dinda yang sendu. “Ada masalah apa?”

“Keluarga saya sakit, ditambah lagi ia tadi jatuh, Saya ingin mengecek kondisinya,” ucap Dinda mendahului Dewa, mengambil kesempatan. “Saya harus pulang sekarang.”

“Astaga.” Helen melangkah masuk dan langsung menggenggam kedua tangan Dinda. “Tidak apa-apa, Dinda. Makasih sudah menyempatkan datang. Lain kali saja kita mengobrol ya.”

Dinda mengangguk. Wanita ini begitu baik padanya. Padahal ia–

“Biar aku panggilkan taksi ya?” tawar Helen.

“Aku saja yang antar.” Nakula menyambar. “Toh aku–”

“Tidak perlu. Biar aku saja.” Dewa menyela saudaranya. Ia langsung menyambar kunci mobil dan jasnya. “Dia adalah karyawanku. Tanggung jawabku.”

Pria itu langsung menarik Dinda pergi sebelum ketiga orang lainnya sempat bereaksi.

***

“Saya turun dulu, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya pulang.”

Dinda menoleh pada atasannya sembari membuka seatbelt. Wajah Dewa masih tidak bersahabat. Sepanjang jalan mobil tersebut diisi keheningan. 

Dinda pun merasa tidak tenang, khawatir akan sang putra, sekaligus khawatir bahwa Dewa akan nekat dan mengajaknya ke tempat lain–tidak peduli penolakan Dinda.

Karena tidak mendapat respons dari sang atasan, Dinda akhirnya membuka pintu dan keluar.

“Aku hanya akan meloloskanmu malam ini.” Dengan dingin, tiba-tiba Dewa berucap tanpa melihat ke arah Dinda. “Tapi kamu harus ingat, kamu berutang padaku.”

Pria itu tiba-tiba menyeringai, membuat Dinda merinding seketika.

“Sampai jumpa hari Senin.”

***

“Bunda…!”

Suara merdu Dinda mengucap salam segera disambut oleh langkah bocah yang berlari ke arahnya.

Dinda segera berlutut, agar anak itu bisa masuk dalam pelukannya. Wanita itu memejamkan mata, memeluk anak itu dengan erat. 

Betapa dia sangat merindukan bocah lima tahun itu.

"Leon kangen Bunda," ucap anak itu lebih mengeratkan lingkar tangannya di leher Dinda.

"Sama, Sayang. Bunda juga kangen.”

Dinda menatap lekat wajah anak itu, bersyukur kondisi Leon sudah jauh lebih membaik sekarang. Ia kemudian meneliti badan Leon dan menemukan luka di sikunya.

“Leon habis jatuh ya?” Sang ibu bertanya lembut. Namun, meski begitu, Leon langsung menunduk. Merasa bersalah.

“Maaf, Bun….”

"Kamu sudah pulang, Nak?" Suara lembut nan selalu mampu menentramkan jiwa Dinda terdengar menyapa. Bu Diana, ibu Dinda, muncul dari arah dapur.

"Iya, Bu. Bagaimana kejadiannya?" Dinda berdiri, tangannya tetap menggenggam Leon, seakan tidak ingin jauh dari putranya itu.

Bu Diana menghela napas. "Leon memang sudah makin sehat. Dia sudah mau makan, bergerak juga tidak sakit lagi. Hanya saja dia ngeyel ingin main bola," lapor wanita itu sembari menatap cucunya yang terus menunduk. “Tadi dia nekat keluar waktu Ibu sedang di dapur.”

Dinda menatap ke arah Leon dan menggendongnya agar ia bisa melihat wajah putra mungilnya itu.

"Sayang, kamu belum boleh terlalu banyak bergerak. Aktivitas juga gak boleh yang berat,” ucap Dinda tegas. “Bunda mohon, kamu bersabar. Nanti kalau sudah pulih total, bukan cuma main bola, panjat tebing juga bisa." 

Ketakutan akan kehilangan putranya masih membayangi Dinda selama tiga bulan ini.

"Leon gak mau kan lihat Bunda bersedih?"

Anak itu dengan cepat mengangguk. Wajah polosnya buat Dinda meleleh hingga memeluknya lebih erat.

"... Leon sayang Bunda."

Lika-liku kehidupan Dinda yang sulit dilalui hampir membuat wanita itu menyerah. Namun, ia selalu mengingat bahwa ia masih mempunyai Leon, harta kecilnya yang berharga.

Dinda juga ingat bahwa ayahnya telah mengorbankan dirinya hingga dibakar warga kampung demi menyelamatkan Dinda karena wanita itu hamil tanpa suami. Hingga detik ini, baik Dinda maupun ibunya tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki kembali ke kampung itu.

Hanya Leon dan ibunyalah yang Dinda miliki sekarang ini. Oleh karena itu, Dinda cenderung memanjakan mereka–terutama putra kecilnya. 

Seperti sekarang, Dinda membawa ibu dan Leon ke taman bermain setelah sebelumnya membeli baju dan segala jenis mainan untuk putra semata wayangnya tersebut. Apa pun ia lakukan untuk melihat senyum Leon.

“Jangan terlalu boros, Nak,” ujar sang ibu saat Dinda melakukannya. Meskipun sepasang mata Dinda memancarkan kebahagiaan, ibu wanita itu bisa melihat wajah Dinda kini makin tirus dan lelah.

“Tidak apa-apa, Bu,” balas Dinda lembut. Ia menggandeng lengan sang ibu dan mengusapnya pelan. “Hitung-hitung permintaan maafku karena tidak bisa menemaninya dan justru meninggalkannya bersama Ibu untuk bekerja di pusat kota.” 

Sang ibu menghela napas dalam diam. Sebenarnya, ada pertanyaan yang ingin sekali ia lontarkan, tetapii ragu karena khawatir akan menyinggung putrinya.

Namun, pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika Dinda membelikan sebuah mobil mainan dengan remote control yang harganya cukup mahal bagi mereka–apalagi sang ibu tahunya Dinda bekerja hanya sebagai pelayan toserba. Sebuah pertanyaan yang membuat tubuh Dinda menegang seketika.

“Din, sebenarnya kamu kerja apa? Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua ini?”

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Ningke Endengi
saya suka certanya bagus
goodnovel comment avatar
Ida Widyati68
Lihat anak sebagai penyemangat capaipun tak terasa.
goodnovel comment avatar
Sumiyati Sumiyati
lanjut makin seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Sanksi dari Atasan

    “Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua ini?”Dinda diam sejenak, menyembunyikan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Meskipun ia paham mengapa ibunya curiga, tetapi tetap saja ia berharap sang ibu tidak perlu bertanya.Tiga bulan lalu, Dinda sulit mendapatkan pekerjaan karena kartu tanda pengenal yang oa punya bukan dari kota ini. Padahal saat itu mereka sedang kesulitan finansial karena semua harta yang mereka punya sudah habis untuk bisa berusaha menyelamatkan Leon. Waktu itu, Dinda hampir gila saat dokter mengatakan kemungkinan Leon tidak akan mungkin bisa diselamatkan kalau tidak segera menjalani operasi.Dinda pontang-panting, pergi selama dua hari tanpa ada kabar berita pada sang ibu, hingga pada hati ketiga, dia datang ke rumah sakit dan menyerahkan sejumlah uang untuk deposit operasi di rumah sakit tersebut agar putranya bisa segera menjalani operasi.Wanita itu tidak pernah mengatakan pada sang ibu mengenai asal uang tersebut. Tidak sampai sekarang, bahkan hingga kap

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Dosa tetaplah Dosa

    Pesanlah makan siang untuk kita berdua.”“Saya ada janji dengan teman, Pak,” tolaknya dengan cepat.Dewa mengerutkan kening, “Dengan siapa?” tanyanya. Salah satu alisnya naik ke atas. Ciri khas pria itu kalau tengah menyelidik. “Sepertinya aku belum cukup memberimu pelajaran ya?”“Bukan begitu, Pak,” sanggah Dinda buru-buru.“Kamu pasti tahu kalau ini masih jam kerja kamu.”“Saya mengerti,” ucap Dinda, mencoba untuk tidak terdengar terlalu membantah sang atasan. “Saya akan pesankan makan siang untuk Bapak. Namun, saya tidak bisa menemani Bapak makan kali ini.”Langkahnya terhenti ketika Dewa menghadangnya. “Dengan siapa?”Pria itu mengulang pertanyaan yang sama.“Peraturan nomor 5, Pak. Maaf saya permisi,” jawab Dinda tegas. Ia menyebutkan pasal di mana pihak pertama dilarang mengurusi urusan pribadi pihak kedua. Baik itu menyelidiki, memata-matai, atau sekadar bertanya sekalipun.Dewa tidak bergerak, sebelum kemudian berkata, “Langsung ke apartemen.”Pria itu akhirnya sadar bahwa Dind

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Candu

    “Dari mana saja kamu? Lagi-lagi kamu memancing amarah saya, ya?” Salak Dewa begitu mendapati wajah Dinda di balik daun pintu. Sejak tadi dia dilingkupi rasa kesal yang luar biasa pada gadis itu. Janjinya pergi hanya sebentar, tapi ditunggu, tak kunjung datang. Dewa juga sudah berusaha menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. “Ya, Maaf, Pak. Saya juga gak tahu kan, bakal lama ngobrol nya,” jawab Dinda menerobos masuk, melewati lengan kekar pria arogan itu. Memilih kursi single lalu mengempaskan bokongnya di sana. Pandangannya kini menatap lekat ke arah Dewa, ketika pria itu melihatnya, dia buang muka. Tubuh Dinda sangat lelah, sepanjang hari menemani pria itu bermain peluh di ranjang, kini rasa lelahnya bertambah dengan misi penuh beban yang diberikan Helen padanya. “Tampaknya malam ini kau harus kembali di hukum, seolah hukuman siang tadi tidak cukup.” Dewa sudah mendekat dan menarik tangan Dinda masuk ke dalam kamar. Wanita itu pasrah, dia terlalu lelah untuk mendebat. *** “Ada

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Kedatangan Helen

    Dering bel yang tiba-tiba terdengar dan terus berulang-ulang menyelamatkan Dinda dari terkaman Dewa kali ini. Keduanya saling tatap seolah dalam diam bertanya siapa yang datang malam ini."Ada yang datang, Pak."Dewa masih mengunci tatapan matanya pada wajah ketakutan Dinda. Bagaimana tidak, dia masih ada di apartemen milik bosnya, pada malam hari, terlebih saat ini dalam keadaan tanpa sehelai pakaian pun! Habislah dia kali ini.Tanpa kata, Dewa meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju ruang depan guna melihat siapa yang datang bertamu malam-malam begini. Di dalam kamar mandi, Dinda yang ketakutan menebak kalau orang yang menekan bel kemungkinan adalah pengurus apartemen ini. Bulan lalu, saat dia juga berada di apartemen ini, pria itu datang untuk menanyakan perihal keamanan dan kebersihan apartemen apakah sudah memuaskan Dewa.Dinda terus berdoa, jangan sampai ada yang tahu dia bersembunyi di kamar mandi ini, siapapun yang datang kali ini.Rasa penasaran membuatnya menempelkan t

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Menghilang

    "Keluarlah!"Mendengar Instruksi dari Dewa, barulah Dinda berani memutar kunci. Perlahan dia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya kembali menegang, Dewa menutup aksesnya untuk keluar dengan tangan kekarnya melintang di kusen pintu."Saya mau pulang, Pak. Tolong!" Pinta Dinda dengan suara bergetar. Kedatangan Helena nyaris membuatnya pingsan, jadi kalau Dewa masih menyimpan hasrat padanya malam ini, sebaiknya lupakan saja, dia tidak akan mau.Dewa masih bergeming, meski dia jelas melihat ketakutan di mata gadis itu, dan Dinda sudah bersiap untuk berdebat kalau pria itu masih saja mempertahankan egonya.Apa dia pikir Dinda bukan manusia yang punya perasaan? Bagaimana mungkin dia bisa berhubungan dengan Dewa sementara pikirannya masih shock memikirkan Helen.Nuraninya semakin tersiksa, tapi mau marah, pada siapa? Dia tidak bisa berbuat apa-apa.Tebakannya salah. Dewa tidak mengatakan apapun, dia menarik tangannya dan memberi jalan pada Dinda yang sudah berpakaian."Ini sudah jam 11 malam, t

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Pertemuan Pertama

    "Jadi begitu rencananya, Pak. Apa bapak setuju?" Pertanyaan Ferdi, utusan dari PT Global Jaya hanya mengambang di udara. Meeting yang mereka lakukan selama satu jam itu terasa hanya berjalan searah.Fokus Dewa justru tertuju pada pemandangan menggugah hatinya di depan sana. Seorang anak yang tampak dikeroyok oleh tiga orang anak seumurannya. Anak itu dikelilingi, dan seperti diintrogasi. Anehnya, dia merasa tertarik untuk mengetahui pembicaraan mereka."Pak Sadewa," ulang Ferdi, kali ini lebih keras agar Dewa memberikan perhatian padanya. Kalau saja sekretaris Dewa ikut, Ferdi pasti tidak sekesal ini mengurus mau pria itu yang sangat banyak. Bahkan rapat sepenting ini dia hanya datang dengan tangan kosong dan ogah-ogahan menanggapi tawaran kerja sama yang diajukan oleh perusahaan itu."Mmm?""Ini gimana, Pak? Saya harap Bapak mau membaca draft nya terlebih dulu." Ferdi menyerahkan dokumen dalam amplop coklat besar yang masih terikat rapi."Aku akan membacanya. Kirimkan saja lewat emai

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Kembali pada Raja Iblis

    "Akhirnya kamu muncul. Apa kamu benar-benar sudah sembuh? Jangan membawa virus ke kantor ini!"Baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan pria menyebalkan yang sudah mendapat julukan dari Dinda- raja iblis- , Dinda sudah kembali dibuat berwajah masam. Kalau bukan memikirkan kontrak, memangnya Dinda mau kembali?"Iya, Pak. Saya sudah sembuh.""Bagus! Ini!" Dewa seenak udelnya melempar berkas yang sudah dua hari ini menumpuk di mejanya yang diletakkan Anita setelah diantar setiap kepala divisi. Mereka membutuhkan tanda tangan Dewa, tapi alih-alih menandatangani, membaca apa isinya saja belum.Selama Dinda tidak ada, Dewa uring-uringan. Dia tidak bisa berpikir jernih. Seperti meeting kemarin, sedikitpun hasil negosiasi itu tidak menempel di kepalanya.Dinda memunguti berkas yang tercecer di lantai. Pagi-pagi sudah membuat mood Dinda berubah jelek. "Ini mau diapain, Pak?""Bakar!""Baik, Pak!""Heh!"Dinda berhenti. Dia hanya berusaha melakukan apa yang diperintahkan pria gila itu. Kata

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Wangi Parfum

    Wajah Dinda seketika pucat pasi. Berlari ke arah cermin untuk melihat penampakannya. Pakaian sudah dirapikan, tapi rambut sedikit acak-acakan. Beruntung lipstiknya mate hingga masih melekat nyata di bibirnya.Dewa bangkit, masih dengan ketenangan yang dia punya. Ekor matanya melirik ke arah Dinda, gadis itu sudah rapi, lalu mulai memberi perintah pada Anita."Suruh masuk!" Dewa sudah menempati kursi kerajaan, dengan menyandarkan punggung melihat ke arah Dinda yang masih gugup. Gadis itu memberanikan diri melihat ke arah Dewa, bertanya dia harus apa. Jangan sampai Helen curiga pada mereka. Tapi, bukan menenangkan, pria itu justru mengulum senyum menggelitik yang berhasil membuat Dinda semakin jengkel."Sayang, kok, lama banget, sih, buka pintunya?" Helen memasang wajah kesal, tapi tetap mendekat pada Dewa. Dia merentangkan tangan memeluk leher pria itu tanpa menyadari kalau Dinda ada di sana."Kamu mau apa ke sini?" jawaban Dewa masih sama, jutek dan tidak peduli."Dewa, kenapa kamu pe

Latest chapter

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Sambut Kebahagiaan

    Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Cemburu Salah Alamat

    Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Minta Maaf

    Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Husband and Wife

    Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Hai, Mantan!

    "Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Mandi Lagi

    "Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Rey Tertangkap

    "Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Pelayan Baru

    "Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la

  • SEKRETARIS PENGHANGAT RANJANG PRESDIR DINGIN    Harus menikah Denganku

    "Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me

DMCA.com Protection Status