“Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua ini?”
Dinda diam sejenak, menyembunyikan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Meskipun ia paham mengapa ibunya curiga, tetapi tetap saja ia berharap sang ibu tidak perlu bertanya.
Tiga bulan lalu, Dinda sulit mendapatkan pekerjaan karena kartu tanda pengenal yang oa punya bukan dari kota ini. Padahal saat itu mereka sedang kesulitan finansial karena semua harta yang mereka punya sudah habis untuk bisa berusaha menyelamatkan Leon.
Waktu itu, Dinda hampir gila saat dokter mengatakan kemungkinan Leon tidak akan mungkin bisa diselamatkan kalau tidak segera menjalani operasi.
Dinda pontang-panting, pergi selama dua hari tanpa ada kabar berita pada sang ibu, hingga pada hati ketiga, dia datang ke rumah sakit dan menyerahkan sejumlah uang untuk deposit operasi di rumah sakit tersebut agar putranya bisa segera menjalani operasi.
Wanita itu tidak pernah mengatakan pada sang ibu mengenai asal uang tersebut. Tidak sampai sekarang, bahkan hingga kapan pun.
“Dinda. Jawab Ibu.” Kini suara Diana berubah tegas dan menuntut, hingga membuat Dinda kembali mendongak.
"Aku mendapatkan pekerjaan, Bu.” Akhirnya ibu satu anak itu menjawab. “Di sebuah perusahaan besar. Bosnya begitu baik, menggajiku cukup besar hingga bisa memenuhi kebutuhan kita.”
“Beliau juga yang meminjamkan uang padaku. Gajiku akan dipotong tiap bulan untuk membayarnya," imbuh Dinda usai mengalihkan pandangan, tidak berani menatap mata ibunya.
Sang ibu menghela napas. “Baiklah. Ibu hanya tidak mau perjuangan ayahmu untuk menyelamatkan kita jadi sia-sia.”
Pembicaraan mengenai hal tersebut berakhir di sana dan tidak diungkit lagi hingga tiba saatnya Dinda harus kembali pulang ke kosnya. Selama hari kerja, ia tidak tinggal bersama Diana dan Leon, karena tidak mau membuat Diana makin mencurigai pekerjaan Dinda. Ia juga tidak mau Dewa mengetahui bahwa Dinda telah memiliki seorang putra. Bisa-bisa pria itu menggunakan kesempatan dan mengambil milik Dinda lebih banyak lagi.
“Bunda….”
Dinda menatap buah hatinya dengan rasa bersalah. Ia bisa melihat, bagi Leon, Dinda adalah segalanya, dunianya. Bocah cilik ingin sekali selalu berada di dekat Dinda, hingga merengek untuk ikut bekerja.
Meski itu membuat Dinda terharu, hal tersebut juga membuat Dinda sedih.
“Gak bisa, Sayang. Bos Bunda galak. Gak boleh bawa anak ke kantor.” Dinda berusaha menjelaskan dengan penuh kelembutan.
“Tapi aku anak Bunda, kenapa gak bisa tinggal sama Bunda?” rengek Leon sembari berdiri di ambang pintu, menghalangi Dinda keluar dari rumah.
“Nanti, kalau Ibu pulang, Ibu akan bawa banyak mainan, tapi Kamu jangan nangis begini. Tapi katanya jagoan, masa cengeng.”
Leon segera menghentikan tangisnya. Dia selalu berkata kalau dia adalah seorang Hero yang akan melindungi Dinda. Leon tidak ingin ibunya menganggapnya lemah.
Setelah menyakinkan Leon dan menghujani pipi anak itu dengan ciuman, Dinda pamit pada Diana.
“Ingat, jangan sampai kamu kecewakan Ibu. Jangan pernah menggadaikan harga dirimu!”
**
Dinda kembali ke kantor dengan rasa enggan. Alasannya hanya satu, dia tidak ingin bertemu dengan Dewa. Diibaratkan, Dewa itu singa kelaparan, yang setiap melihat dirinya, pasti ingin menerkam.
Namun, apa dia punya pilihan lain?
Embusan napas kasar mengiringi Dinda memasuki lobi kantor. Front office berjumpa dua orang itu tidak pernah menunjukkan rasa sukanya pada Dinda, semanis apa pun gadis itu memberikan senyuman.
“Bodo amat, deh!” Dinda ngeloyor pergi. Setengah berlari, Dinda mengejar pintu lift yang masih terbuka.
Namun, begitu ia sampai di depan lift, Dinda menyesali keputusannya karena di dalam sana ada Dewa. Kalau saja dia tahu Dewa ada di sana, mana sudi dia mengejar lift itu.
“Pa-pagi, Pak,” sapa Dinda menunduk, lalu masuk ke dalam lift.
Hening yang terasa seperti selamanya menyelimuti mereka hingga ke lantai ruangan presdir.
Ting!
Pintu lift terbuka, lalu Dewa keluar. Dinda yang sejak tadi menunduk kemudian mengikuti langkahnya.
Akan tetapi, gadis itu mendongak kala tubuh Dewa menutup akses keluar.
“Kamu turun lagi, bawakan saya kopi.”
Dinda terbelalak mendengar ucapan Dewa. “Pak? Kenapa gak dari awal aja, Pak. Kenapa saya harus ngikut sampai lantai atas?” gerutunya. Ia mulai kesal.
Padahal baru juga hari Senin.
Dewa membalas tatapan Dinda. “Kamu membantah saya?” balasnya.
“Mana berani, Pak.” Dinda menghela napas. “Baik, Pak, saya ambilkan.”
Dinda bergegas menekan tombol hingga pintu tertutup agar dia bisa mengumpat.
“Dasar iblis!”
Setelah membeli kopi. Dinda membawa kopi pesanan Dewa ke ruangan. Akan tetapi ruangan pria itu tampak kosong.
Wanita itu tersenyum lega. Setidaknya dia tidak perlu bertemu pria menakutkan itu.
Namun, harapan tinggal harapan.
Tiba-tiba, tanpa suara, Dewa sudah berada di dekat Dinda. Pria itu melingkarkan tangan di pinggang wanita itu dan mulai menciumi tengkuk Dinda penuh nafsu.
“P-Pak? Ini masih pagi. S-sebaiknya Bapak minum kopi dulu,” ujar Dinda tergeragap. Bulu kuduknya meremang dengan sentuhan Dewa.
Namun, alih-alih mendengarkan ucapan Dinda, Dewa justru membalik tubuh Dinda hingga mereka saling berhadapan dengan mudah.
“Aku mau sarapan,” bisik Dewa dingin. Pria itu mulai menyentuh ceruk leher Dinda.
“B-baik, Pak. Kalau begitu saya ambilkan dulu.” Dinda sudah bergerak ke samping, melepaskan diri dari kungkungan Dewa, tapi gagal. Justru tangannya ditarik pria itu menuju ruang istirahatnya.
“Tidak perlu.”
“Oh, tidak!” batin Dinda dengan bola mata membulat.
Dinda bergerak gelisah di bawah tubuh kekar Dewa. Gadis itu pasrah ketika tadi tubuhnya dilempar ke atas ranjang dan kini pria itu sibuk membuka seluruh pakaian Dinda.
Dewa bangkit setelah berhasil melepas semua atribut di tubuh Dinda. Dengan mata mawas pada tubuh tawanannya yang sudah polos, Dewa mulai melucuti satu per satu pakaiannya.
“Pak, ini masih pagi,” ucap Dinda, sekali lagi mencoba peruntungannya. “Jadwal Bapak–”
“Aku tahu. Anggap saja ini hukuman untukmu karena sudah membantahku.”
Dinda berperang dengan pikirannya. Perintah mana yang sudah dia bantah?
Kemudian, dia mengingat kejadian di rumah Bu Reni, ibu Dewa. Akan tetapi, Dinda hanya bisa mendelik kesal. Pria ini sungguh pendendam.
Dewa semakin beringas bergerak di atas tubuh Dinda; mencium, mencerca, menjelajah setiap inci tubuh Dinda yang berulang kali dia puji dengan kata nikmat tanpa disadari sementara Dinda diam, pura-pura tidak menikmati perlakuan kasar Dewa..
Akan tetapi, sama seperti sebelum-sebelumnya, permainan Dewa memaksa dirinya untuk merespons. Hentakan milik pria itu nyatanya mampu menghasut Dinda jadi pelacur paling murahan yang pernah ada, seolah-olah Dewa tahu di mana letak kepuasan Dinda hingga keduanya mencapai puncak bersama.
Dewa melemparkan tubuhnya ke samping, tersenyum menatap langit-langit kamar, sebuah senyum kepuasan yang selalu berhasil dia dapatkan dari tubuh Dinda yang semakin membuatnya candu.
Setelah beberapa saat usai Dinda berhasil mengatur napasnya, wanita itu bangkit menuju kamar mandi–tapi tertahan.
“Mau ke mana?”
“Ke kamar mandi, Pak. Bersih-bersih.”
“Baring lagi. Aku belum selesai denganmu.”
Bola mata Dinda membulat. Ini bercanda, kan? Ada apa dengan pria ini?
“Tapi kita harus kembali bekerja, Pak. Hari ini ada pertemuan dengan direktur dua perusahaan yang mau kerja sama dengan kita.” Dinda hampir saja memukul dada telanjang pria itu karena seenaknya saja menahan dirinya.
Apa tadi permainan mereka tadi belum cukup?
“Batalkan semua meeting hari ini.”
Ucapan Dewa seperti titah bagi Dinda, tidak terbantah. Seakan tidak lelah dan selalu merasa kurang, Dewa kembali melahap tubuh Dinda. Pagi hingga siang, mereka hanya berada di atas ranjang, bermain peluh hingga ubuh Dinda lemas, entah sudah berapa kali dia keluar.
Baru ketika jam makan siang, Dewa akhirnya melepaskan Dinda sejenak. Pria itu memintanya untuk memesan makanan. Dinda yang sudah kewalahan tidak mampu untuk membantah.
Sementara itu, Dewa tersenyum miring. Ia tampak puas saat melihat pemandangan di atas tempat tidurnya. Sekretarisnya tersebut tampak berantakan. Tatapan Dinda yang terlihat sayu karena kelelahan makin membuat Dewa senang.
“Kuharap kamu bisa berpikir ulang untuk membantahku lain kali,” ucap Dewa dengan nada bicaranya yang arogan.
Wanita itu miliknya.
Dewa mengklaim hal tersebut pada dirinya sendiri. Selama beberapa bulan mereka terikat kontrak dan berhubungan badan, ada perasaan asing yang menyerupai candu setiap kali Dewa “bermain” dengan Dinda. Seakan ia ingin lebih dan lebih.
Perasaan ini adalah perasaan yang sama dengan malam itu–ketika Dewa melangsungkan pesta lajangnya dan berakhir tidur dengan seorang wanita.
Wanita yang masih ia cari hingga saat ini–wanita yang sebelumnya diklaim oleh Helena, sang istri, sebagai dirinya, tapi Dewa tahu itu hanyalah kebohongan semata. Sebuah kebohongan yang membuat Dewa tidak bisa memercayai istri dan rumah tangganya lagi.
Sementara itu, Dinda akhirnya bisa bergerak dan memunguti pakaiannya sebelum kemudian meraih ponsel untuk mengecek pesan-pesan atau panggilan yang masuk.
Seketika, sepasang matanya membeliak seketika saat membaca salah satu pesan yang ada.
[Dinda. Apakah kamu bisa makan siang sama aku? Ada yang mau kutanyakan soal Dewa.]
Helena! Istri sah atasannya!
Pesanlah makan siang untuk kita berdua.”“Saya ada janji dengan teman, Pak,” tolaknya dengan cepat.Dewa mengerutkan kening, “Dengan siapa?” tanyanya. Salah satu alisnya naik ke atas. Ciri khas pria itu kalau tengah menyelidik. “Sepertinya aku belum cukup memberimu pelajaran ya?”“Bukan begitu, Pak,” sanggah Dinda buru-buru.“Kamu pasti tahu kalau ini masih jam kerja kamu.”“Saya mengerti,” ucap Dinda, mencoba untuk tidak terdengar terlalu membantah sang atasan. “Saya akan pesankan makan siang untuk Bapak. Namun, saya tidak bisa menemani Bapak makan kali ini.”Langkahnya terhenti ketika Dewa menghadangnya. “Dengan siapa?”Pria itu mengulang pertanyaan yang sama.“Peraturan nomor 5, Pak. Maaf saya permisi,” jawab Dinda tegas. Ia menyebutkan pasal di mana pihak pertama dilarang mengurusi urusan pribadi pihak kedua. Baik itu menyelidiki, memata-matai, atau sekadar bertanya sekalipun.Dewa tidak bergerak, sebelum kemudian berkata, “Langsung ke apartemen.”Pria itu akhirnya sadar bahwa Dind
“Dari mana saja kamu? Lagi-lagi kamu memancing amarah saya, ya?” Salak Dewa begitu mendapati wajah Dinda di balik daun pintu. Sejak tadi dia dilingkupi rasa kesal yang luar biasa pada gadis itu. Janjinya pergi hanya sebentar, tapi ditunggu, tak kunjung datang. Dewa juga sudah berusaha menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. “Ya, Maaf, Pak. Saya juga gak tahu kan, bakal lama ngobrol nya,” jawab Dinda menerobos masuk, melewati lengan kekar pria arogan itu. Memilih kursi single lalu mengempaskan bokongnya di sana. Pandangannya kini menatap lekat ke arah Dewa, ketika pria itu melihatnya, dia buang muka. Tubuh Dinda sangat lelah, sepanjang hari menemani pria itu bermain peluh di ranjang, kini rasa lelahnya bertambah dengan misi penuh beban yang diberikan Helen padanya. “Tampaknya malam ini kau harus kembali di hukum, seolah hukuman siang tadi tidak cukup.” Dewa sudah mendekat dan menarik tangan Dinda masuk ke dalam kamar. Wanita itu pasrah, dia terlalu lelah untuk mendebat. *** “Ada
Dering bel yang tiba-tiba terdengar dan terus berulang-ulang menyelamatkan Dinda dari terkaman Dewa kali ini. Keduanya saling tatap seolah dalam diam bertanya siapa yang datang malam ini."Ada yang datang, Pak."Dewa masih mengunci tatapan matanya pada wajah ketakutan Dinda. Bagaimana tidak, dia masih ada di apartemen milik bosnya, pada malam hari, terlebih saat ini dalam keadaan tanpa sehelai pakaian pun! Habislah dia kali ini.Tanpa kata, Dewa meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju ruang depan guna melihat siapa yang datang bertamu malam-malam begini. Di dalam kamar mandi, Dinda yang ketakutan menebak kalau orang yang menekan bel kemungkinan adalah pengurus apartemen ini. Bulan lalu, saat dia juga berada di apartemen ini, pria itu datang untuk menanyakan perihal keamanan dan kebersihan apartemen apakah sudah memuaskan Dewa.Dinda terus berdoa, jangan sampai ada yang tahu dia bersembunyi di kamar mandi ini, siapapun yang datang kali ini.Rasa penasaran membuatnya menempelkan t
"Keluarlah!"Mendengar Instruksi dari Dewa, barulah Dinda berani memutar kunci. Perlahan dia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya kembali menegang, Dewa menutup aksesnya untuk keluar dengan tangan kekarnya melintang di kusen pintu."Saya mau pulang, Pak. Tolong!" Pinta Dinda dengan suara bergetar. Kedatangan Helena nyaris membuatnya pingsan, jadi kalau Dewa masih menyimpan hasrat padanya malam ini, sebaiknya lupakan saja, dia tidak akan mau.Dewa masih bergeming, meski dia jelas melihat ketakutan di mata gadis itu, dan Dinda sudah bersiap untuk berdebat kalau pria itu masih saja mempertahankan egonya.Apa dia pikir Dinda bukan manusia yang punya perasaan? Bagaimana mungkin dia bisa berhubungan dengan Dewa sementara pikirannya masih shock memikirkan Helen.Nuraninya semakin tersiksa, tapi mau marah, pada siapa? Dia tidak bisa berbuat apa-apa.Tebakannya salah. Dewa tidak mengatakan apapun, dia menarik tangannya dan memberi jalan pada Dinda yang sudah berpakaian."Ini sudah jam 11 malam, t
"Jadi begitu rencananya, Pak. Apa bapak setuju?" Pertanyaan Ferdi, utusan dari PT Global Jaya hanya mengambang di udara. Meeting yang mereka lakukan selama satu jam itu terasa hanya berjalan searah.Fokus Dewa justru tertuju pada pemandangan menggugah hatinya di depan sana. Seorang anak yang tampak dikeroyok oleh tiga orang anak seumurannya. Anak itu dikelilingi, dan seperti diintrogasi. Anehnya, dia merasa tertarik untuk mengetahui pembicaraan mereka."Pak Sadewa," ulang Ferdi, kali ini lebih keras agar Dewa memberikan perhatian padanya. Kalau saja sekretaris Dewa ikut, Ferdi pasti tidak sekesal ini mengurus mau pria itu yang sangat banyak. Bahkan rapat sepenting ini dia hanya datang dengan tangan kosong dan ogah-ogahan menanggapi tawaran kerja sama yang diajukan oleh perusahaan itu."Mmm?""Ini gimana, Pak? Saya harap Bapak mau membaca draft nya terlebih dulu." Ferdi menyerahkan dokumen dalam amplop coklat besar yang masih terikat rapi."Aku akan membacanya. Kirimkan saja lewat emai
"Akhirnya kamu muncul. Apa kamu benar-benar sudah sembuh? Jangan membawa virus ke kantor ini!"Baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan pria menyebalkan yang sudah mendapat julukan dari Dinda- raja iblis- , Dinda sudah kembali dibuat berwajah masam. Kalau bukan memikirkan kontrak, memangnya Dinda mau kembali?"Iya, Pak. Saya sudah sembuh.""Bagus! Ini!" Dewa seenak udelnya melempar berkas yang sudah dua hari ini menumpuk di mejanya yang diletakkan Anita setelah diantar setiap kepala divisi. Mereka membutuhkan tanda tangan Dewa, tapi alih-alih menandatangani, membaca apa isinya saja belum.Selama Dinda tidak ada, Dewa uring-uringan. Dia tidak bisa berpikir jernih. Seperti meeting kemarin, sedikitpun hasil negosiasi itu tidak menempel di kepalanya.Dinda memunguti berkas yang tercecer di lantai. Pagi-pagi sudah membuat mood Dinda berubah jelek. "Ini mau diapain, Pak?""Bakar!""Baik, Pak!""Heh!"Dinda berhenti. Dia hanya berusaha melakukan apa yang diperintahkan pria gila itu. Kata
Wajah Dinda seketika pucat pasi. Berlari ke arah cermin untuk melihat penampakannya. Pakaian sudah dirapikan, tapi rambut sedikit acak-acakan. Beruntung lipstiknya mate hingga masih melekat nyata di bibirnya.Dewa bangkit, masih dengan ketenangan yang dia punya. Ekor matanya melirik ke arah Dinda, gadis itu sudah rapi, lalu mulai memberi perintah pada Anita."Suruh masuk!" Dewa sudah menempati kursi kerajaan, dengan menyandarkan punggung melihat ke arah Dinda yang masih gugup. Gadis itu memberanikan diri melihat ke arah Dewa, bertanya dia harus apa. Jangan sampai Helen curiga pada mereka. Tapi, bukan menenangkan, pria itu justru mengulum senyum menggelitik yang berhasil membuat Dinda semakin jengkel."Sayang, kok, lama banget, sih, buka pintunya?" Helen memasang wajah kesal, tapi tetap mendekat pada Dewa. Dia merentangkan tangan memeluk leher pria itu tanpa menyadari kalau Dinda ada di sana."Kamu mau apa ke sini?" jawaban Dewa masih sama, jutek dan tidak peduli."Dewa, kenapa kamu pe
"Ada apa dengan Bu Helen, Pak? Tadi saya sempat berpapasan dengan beliau di lift. Ibu menangis terisak," tanya Dinda memberanikan diri. Dinda memutuskan menanyakan hal itu karena takut kalau sampai Helen ternyata sudah tahu soal hubungan gelap mereka. Pasalnya, wanita yang selalu ramah padanya itu, sama sekali tidak mengatakan apapun, menekan tombol lift untuk turun.Selama waktu berputar, Dinda gelisah di kursinya, berharap Dewa memanggilnya agar bisa bertanya soal Helen. Setelah tiga jam berlalu, Dewa pada akhirnya menyerukan namanya dari dalam ruangan."Tidak ada apa-apa. Sudah jangan dibahas. Kepalaku pusing. Temani aku pulang."Dinda masih mematung di tempatnya. Apa pria itu gila, seharusnya dia pulang ke rumah, kenapa justru mengajak ke apartemen."Maaf, Pak. Sebaiknya Bapak pulang ke rumah. Tadi, Naka menelpon. Keadaan Bu Reni drop."Dewa yang tadi coba membuka dasinya, berhenti dan menoleh pada Dinda. "Mama? Sakit apa?""Gak tahu, Pak. Naka hanya meminta saya menyampaikan hal
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me