“Bagaimana pun kita tetap harus bersyukur. Kejadian ini tidak sampai membuahkan janin.” Penuh kelembutan Bu Friskelly menaikkan lagi semangatku.
“Masih banyak perempuan di luar sana yang menanggung ujian lebih berat darimu, Sekar … tetaplah kuat.”
Aku kembali terpuruk, merasa tidak ingin berbuat apa-apa.
Malamnya, berkunjung wanita paruh baya yang kemarin ikut mendampingiku dari KPAI, beliau mungkin dihubungi Bu Fris, datang karena kasihan padaku.
Aku memang pantas dikasihani … mungkin begitulah hidupku seharusnya. Entah, jangankan berpikir, menggerakkan jari melanjutkan menjahit saja aku enggan.
Tanpa mengeluhkan sikapku, wanita tak kalah lembut dengan Bu Fris itu mulai bercerita, kalau di pekerjaannya dia temukan banyak perempuan_korban sepertiku juga yang malah menghancurkan hidupnya, masuk ke lokalisasi yang sudah pasti merugikan diri sendiri. Makin dipandang rendah. Aku mulai mengangkat wajah, membayangkan saja buluku meremang.
Bukankah ‘kejadian itu’ menimbulkan trauma, kenapa bisa mereka malah jadi tak terkendali? Ah, aku tidak akan seperti itu! Mulai kuperhatikan tiap kata yang beliau tuturkan. Di akhir bagian beliau ceritakan mereka-mereka yang pernah terpuruk, tapi bisa bangkit dan hidup lebih baik dan bahkan lebih kuat. Meski tak kukenal nama-nama yang dimaksud, tetap itu terasa menumbuhkan semangat lagi. Aku ingin jadi bagian dari mereka yang bangkit!
“Kamu punya keterampilan, ini kemampuan luar biasa, Sekar. Insya Allah, kamu pasti akan berdaya, tidak nganggur meski kondisi sesulit-sulitnya. Modal gunting, jarum, benang.” Kuperhatikan beliau memegang perangkat jahit sederhanaku dengan pikiran ini mencerna maksudnya.
“Sementara ilmu buat pola, design yang sudah dikuasai itu semua ada di kepala.” Wanita berwajah ramah ini menunjuk dahi. Seketika kubayangkan otakku.
“Nah, ke manapun kamu nantinya berpijak, ilmu itu mengikutimu, Sekar. Ibu yakin kamu akan berkembang lebih hebat setelah ini. Tinggal tumbuhkan lagi bara cita-citamu itu.”
Beliau katakan pernah mendengar Bu Fris cerita tentang idolaku, dan keinginanku sepertinya, sebab Dian Pelangi juga seorang lulusan SMK.
“Kalau kamu mau seperti Dian Pelangi, insya Allah itu bisa terwujud kalau kamu ikhtiar.”
Mendengar itu mataku mengerjap-ngerjap melihat cerah, jantung jadi berdetak cepat. Ada gemuruh lama kembali muncul. Aku mau jadi seorang fashion designer. Ya, rasanya bara mimpi itu kembali menyala.
*
“Alhamdulillah, semua cukup, Bu. Terima kasih banyak.”
“Syukurlah, Sekar. Ini atas bantuan banyak orang, bukan semata dari ibu.” Hubunganku dengan Bu Fris layaknya keluarga, meski berbeda keyakinan beliau sangat memperlakukan aku dengan baik. Sangat baik.
Ibadahku kembali meningkat. Cukup mampu meredam gugup, mengejar selesainya rancanganku sebagai tugas akhir. Pagelaran busana sebulan lagi dilaksanakan.
Sekarang, aku dan Bu Fris usai melihat bahan-bahan untuk rancanganku yang sudah semua lengkap, tinggal kurampungkan. Gaun ini cukup rumit, tapi kubuat dengan bahan sederhana dan terjangkau saja. Model kami diambil dari Kimmy Models, sebuah sekolah modelling lokal, sudah sejak lama kerjasama dengan sekolah. Orangnya langsing, tinggi 168cm dengan berat 55kg. Kami lumayan akrab saat aku mengukur tubuhnya, dia cantik juga ramah, kuharap ukuran badannya masih sama sampai bulan depan, tak bisa dihindari ada was-was takut bajunya tak muat.
Ternyata jadi perancang itu cukup membuat panas dingin.
Demi persiapan matang aku juga kembali gabung dengan teman-teman sekelas. Awal yang canggung kemudian terasa seperti biasa saja saat kami semua fokus untuk melakukan yang terbaik. Ini bekerjasama dengan murid kelas XII jurusan Tata Rias. Mereka yang merias, kami yang men-design bajunya.
Aku sangat gugup. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perancang juga perias akan wajib jalan di panggung, sesaat setelah modelnya memamerkan hasil karya kita.
Ah, apa aku bisa, ya …?
Apa aku sanggup mendapat tatapan dari mereka yang mungkin tahu kasusku kemarin ….
Kembali kuragu pada diri sendiri.
Beberapakali tercuri melamun langsung Bu Fris suruh aku ingat Tuhan. Hanya Dia pemilik kuasa yang membuat orang bisa melupakan kejadian buruk itu, dan bisa melihat diriku yang sekarang. Ya, Allah maha membolak-balikkan hati. Aku harus yakin.
Masih canggung jika ditatap orang membuatku lebih banyak mengurung diri di rumah.
“Assalamualaikum.”
Lagi duduk di ruang tengah bersama Bu Fris, Yandi datang.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku lemah sambil melihat ke arah guruku.
Tak bisa lagi menghindar, Yandi bisa melihatku di sini dari celah pembatas itu. Padahal sebelumnya aku selalu menghindar, menolak bertemu.
Bu Friskelly bolehkan Yandi masuk. Kami duduk bertiga sekarang, aku banyak tertunduk memandangi kuku kaki yang panjang, entah berapa bulan lupa kurapikan.
“Mohon maaf, Bu. Saya ke sini sebenarnya mau bicara dengan Sekar. Penting.”
“Baiklah, ibu pindah kursi, ya. Kalian bicara saja.”
Bu Fris pindah ke kursi lain, jarak sekitar lima meter dari kami. Beliau tahu aku tak mau ditinggal saat berdua saja dengan lelaki. Sebab sebelumnya pernah saudara Bu Fris datang, dan aku rela ngekor ke mana pun guruku ini pergi daripada di rumah bersama adiknya. Memang tampak ‘alim, tapi mana tahu isi hatinya. Aku tak mau kejadian sama terulang.
Yandi sempat ragu-ragu pembicaraannya terdengar, tapi kemudian tanpa basa-basi mengatakan sesuatu yang membuatku tersedak air liur.
“Aku mau kita nikah setelah lulus, Sekar.”
Dia ulangi sampai dua kali menambah kuat batukku, lekas aku permisi pada Bu Fris ke belakang untuk minum.
Ada-ada aja si Yandi, datang-datang malah ngomong gitu. Kami kan cuma teman.
Sengaja kuperlama waktu di dapur, duduk di kursi makan menghabiskan segelas air.
Tak enak juga lama-lama sama Bu Fris, aku pun kembali ke depan, ternyata Yandi sedang mengobrol dengan rona wajah serius dengan guru super baik hati itu.
“Saya serius, Bu. Sudah lama suka sama Sekar. Saya … bisa terima Sekar apa adanya.”
Bukan membuatku senang. Kalimat Yandi terasa memukulku hati.
“Sorry, Yan. Aku nggak bisa.” Kujawab ketus, setelah duduk di sebelah Bu Fris.
“Kenapa Sekar? Aku sudah kerja. Kalau sore narik tagihan koperasi harian, gajinya lumayan buat hidup kita-”
“Yan, kenapa kamu jadi mikir nikah? Bukannya Tante, Om, minta kamu kejar kuliah hukum sampai S2 kalau perlu. Kamu cowok satu-satunya yang Tante harap,” ujarku mengingatkannya pada cita-cita ibu-bapaknya.
“Aku sayang kamu, Sekar. Aku akan kejar itu setelah kita nikah.”
Bu Friskelly beranjak berdiri. “Silakan saja bicara, ibu ke belakang dulu.” Kami bersamaan mengiyakan dengan kikuk. Bu Fris ini belum menikah, tapi jiwa keibuannya amat tinggi.
Hening sejenak.
“Sekar. Mau, ya?” Yandi bertanya lagi.
“Yan, kamu ngelakuin itu pasti gara-gara aku-“
“Enggak, Sekar. Aku memang sayang kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu.” Wajah Yandi terlihat bersungguh-sungguh.
“Aku akan kerja sambil ngikuti kemauan orangtua. Kita akan berjuang sama-sama, Sekar. Mau, ‘kan? Mau, ya?”
Tetap dari tempat duduknya ia menatapku penuh harap. Ada rasa geli melihat mukanya seserius itu.
Kurapikan kerudung yang terasa sedikit miring, padahal tidak, aku hanya tengah grogi.
Apa Yandi benar mau terima aku apa adanya …?
Sebagai cewek yang tak sempurna ini seperti oase di padang gersang. Aku tertunduk, mengangguk kecil, merasakan ada desir hangat merayap bersama aliran darah.
*
Sahabat, kini jadi kekasih. Yandi paling bersemangat mendukungku menyelesaikan tugas, meski hanya diperbolehkan seminggu sekali saja ke rumah oleh Bu Fris. Beliau ketat menjagaku, memperlakukanku seperti orang tua baik perlakukan anak, bisa juga dibilang seperti kakak baik perlakukan adik tercintanya, sebab usia Bu Fris belum terlalu tua, kalau tak salah sekitar 32 tahun. Matang, tapi belum Tuhan pertemukan dengan jodohnya.
Yandi selalu izin dulu via telepon pada Bu Fris sebelum ke sini, karena ponselku dulu diambil Kak Rana, sampai sekarang aku tak punya benda itu.
Seperti dulu, Yandi terkadang mengantarku pulang-pergi ke sekolah, sampai tiba saat aku dan teman-teman latihan gladi bersih di Gedung Dharma Wanita. Senang, cowok baik ini bisa menguatkanku melangkah, tanpa pernah lagi mengungkit ‘aibku’.
Mungkin menikah muda dan meraih mimpi bersama-sama akan lebih baik. Aku coba jalani saja.
*
Mulai membuka diri, mulai percaya diri. Itu yang kurasa. Masker perlahan kulepas saat aku keluar rumah. Aku merasa sudah diterima.
Teman-teman sekolah tak pernah jua bertanya, meski di sekitar masih ada yang berbisik kutahu mereka membahas hal lain, bukan tentangku.
Sampai sesuatu terjadi kembali menusuk hati.
“Kamu yang lagi dekat sama Yandi itu, ya?”
“Ya, lah. Siapa lagi? Masa gak lihat mukanya. Yang kelihatan itunya, tu-“ Apa yang mereka katakan selanjutnya menaikkan darahku cepat ke kepala.
“Mana cocok sama vokalis band sekolah kita. Nggak level!”
“Hu um, Yandi ‘kan pasti masih perjaka, lah dia-“
“Apa kalian? Apa?!” Kudorong kasar dada cewek yang memepetiku di dekat rak snack, di toko Al**mart. Dia terjungkang, mengaduh keras dan menjatuhkan beberapa barang dari pajangan.
Keributan sontak mengundang para pegawai toko mendekat.
“Hei! Percuma kamu pake jilbab. Kamu itu-“ kata kasar kembali keluar dari cewek yang memelototiku, kalimatnya amat merendahkan.
Di depan tiga pegawai laki-laki dan satu perempuan yang membantu temannya berdiri, mulutnya lancar membeberkan aib dan foto lakn** itu.
Tangis ini hampir meledak, kutahan sebisa mungkin sambil gegas keluar toko, meninggalkan begitu saja keranjang barang titipan Bu Fris.
Mana bisa aku diam! Mana bisa?! Mereka tadi membisikkan letak … tahi lalat khasku sejak lahir.
Ya Allah, entah bagaimana bentukku di foto itu, seberapa banyak orang melihatnya ….
Jangan-jangan, Yandi juga …?!
Arggg! Rasanya aku mau hilang saja dari muka bumi ini!
Tubuhku gemetar sampai tiba di rumah. Langsung ke dapur, aku duduk di kursi setelah mengambil air dingin. Napas terasa masih tersendat, kugenggam gelas kuat walau dua telapak tangan ini menggigil seakan tak bertenaga. Usai menghabiskan dua gelas air, baru kurasa cukup tenang. Bu Fris mendekat, tatapannya seperti curiga melihat gerikku. Beliau duduk di kursi depanku, posisi kami terhalang meja makan bundar. Bersitatap sejenak dalam diam, kuatur napas tenang melihat Bu Fris menungguku ceritakan apa yang terjadi. Ringan kalimat meluncur dari bibirku, mulai ceritakan kejadian barusan. Sudah tanpa emosi, aku malah sedikit geli saat cerita bagian cewek itu terjungkang akibat kudorong tadi, rok pendeknya terangkat membuat mukanya yang putih langsung semerah cabe rawit. Bu Fris kemudian menanggapi. Belia
Motor bebek Yandi sudah berhenti di halaman rumahnya. Tadi sempat kulirik di sana, pada bekas rumahku yang tulisan ‘dijual’ dalam huruf besar masih terpasang di depan pagar. Rumah Ibu belum laku …. Aku tahu Ibu dan Kak Rana pindah ke kabupaten lain, tinggal di sebuah kecamatan kecil, jarak tempuh hampir enam jam dari sini. Kami belum pernah bertemu dan kontak lagi. Tahu kabar itu dari kak Winda saat kami tak sengaja bertemu, dan kakak sulungku itu juga ikutan pindah kerja gara-gara kasusku. “Urus dirimu sebisanya. Jangan paksa dekati Ibu yang masih kecewa. Kamu tau Ibu gimana orangnya, kasih waktu sampai melunak sendiri,” pesannya sebelum kami pisah. Setelah itu aku belum tahu Kak Winda pindah ke mana. “Ayo.” Buyar lamunan ini saat Yandi menarik tanganku, tapi terpegang ujung telunjukku yang kemudian tak mau dilepaskannya. Aku b
“Heh, kok ada kamu?” suara sinis perempuan paruh baya. Mendongak refleks, aku yang tengah menjahit, dengan otak terngiang ucapan Tante Mel tadi sampai tak sadari ada orang di depanku. Bengong. Aku lihat ke arah teman-teman lain, mereka tampak sama terkejut. “Siapa suruh kamu kerja di sini?” Dia mengulang pertanyaan dengan mata memelototiku. Tenggorokkan ini tercekat. “A-ada apa ya, Bu?” “Ada apa, ada apa? Sok polos kamu!” Wanita berambut keriting sebatas bahu itu kemudian menanyakan di mana Pak Kung. “Lagi keluar, Bu.” Seorang teman senior di meja jahit belakang menjawab. Wanita yang belum pernah kulihat ini keluarkan handphone besar dari tas tangan, menghubungi Pak Kung dengan suara nyaring, mengundang perhatian. Apa yang keluar dari mulutnya itu membuatku terhen
“Lagi ngapain?” Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai. “Hee, kerjaan iseng, Bu.” “Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku. “Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit. “Kreatif.” “Daripada bengong, Bu.” “Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS. Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan. “Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.” “Mudah kok, Bu.” Aku sudah dudu
Ucapan Yandi terakhir itu benar-benar membuatku resah.Apa dia akan nekat ke sini …?Hari ini pun perut jadi terasa mulas-mulas dibuatnya, makan sesuap pun sulit masuk, padahal tadi rendang kuminta Uda sirami kuah banyak, tetap saja tak selera. Kalau Yandi tiba-tiba muncul … waduhh, bakal perang dunia kedua dia sama orang tuanya.Pintu kututup rapat. Duduk di kursi jahit coba fokus selesaikan miniatur wedding yang kubuat untuk kado nikahannya Bu Fris. Tinggal membuat jas pria, boneka si pangeran pasangan Barbie sudah dapat kemarin di toko.Ini akan kukemas dengan mika, bagus buat pajangan. Saat akan menyelesaikan sedikit lagi, suara ketukan disertai panggilan dari luar membuatku terlonjak. Kutekan dada, merasa degup jantung meloncat-loncat.Refleks menebak, apa itu Yandi …?
Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak. “Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?” Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya. “Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“ “Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.” Terdiam, kupandangi kelingkingnya. “Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?” Kudengarkan dia bicara.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
“Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.
Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar
"Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se
Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y
Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u
“Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G
“Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se
Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan
“Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber