Share

4. Syok!

Author: Li Na
last update Last Updated: 2021-08-29 18:40:14

“Bagaimana, Sekar? Sudah lebih baik?” Pundakku diusap lembut Bu Fris, setelah aku meneguk segelas teh hangat dan sebungkus klepon. Makanan itu bagian Bu Fris dari dapur sekolah_khusus untuk guru setiap pagi, tapi malah diberikannya padaku.

Aku tersenyum merasakan hangat perhatiannya. Benar-benar senyum. Bagai merasa akan mendapat jalan keluar terbaik setelah ini.

Tisu Bu Friskelly berikan untukku menghapus sisa jejak air mata. Hampir 15 menit menangis kuat, cukup membuat mataku terasa menyipit.

Begitu tenang, kupasang lagi kacamata agar tak begitu terlihat mata sembab.

“Ibu akan bersama kamu, Sekar. Kamu harus semangat, ya.” Selain memegang tanganku, pelukan beliau berikan lagi sebelum aku kembali ke kelas. Pelukan erat yang bisa membuatku merasa lega.

“Saya ada ulangan, Bu. Mau balik ke kelas dulu.”

“Iya.”

Aku menyalim punggung tangannya.

“Sekar, ibu bangga dengan ketegaranmu. Kamu sangat kuat, melebihi apa yang ibu bayangkan. Ibu doakan terbaik buat kamu, Nak.” Diusapkan puncak kepalaku.

Sekali mengedip setitik air mata menetes lagi. Terharu atas tulusnya kasih sayang guruku ini.

“Sana, sudah lambat.” Bel masuk sudah berbunyi.

 “Terima kasih banyak, Bu.”

“Ibu juga terima kasih kamu percaya sama ibu ….”

Langkahku terasa pasti terayun menuju kelas.

Dunia, aku akan tegakkan wajah menghadapi betapa pun kerasnya hidupku di depan.

Di kelas teman-teman menatapku heran. Kembali terlambat masuk saat kertas HVS sudah dibagikan. Untung tidak dihukum, aku dipersilakan duduk oleh guru yang juga merangkap wali kelas. Ternyata ulangan yang dimaksud adalah membuat disain sebuah gaun pesta, atau bisa juga gaun pengantin, lengkap dengan perkiraan bahan yang diperlukan.

Katanya ini untuk latihan ujian kompetensi di semester akhir penentuan kelulusan. Di mana kami wajib merancangnya dan akan diperagakan oleh model profesional di atas pentas.

Aku pilih gaun pengantin muslim. Alhamdulillah, tak ada kesulitan mungkin ini efek lega setelah curhat dengan Bu Fris tadi, sampai jariku terasa ringan menari dan membayangkan mode yang kumaksud.

Semoga mimpiku ingin seperti Dian Pelangi suatu saat bisa tercapai, aamiin.

*

Setelah sebelumnya konsultasi, lalu sepakat untuk mengadukan kasus ini diam-diam, tetap tak membuat keadaan baik-baik saja. Tetangga Ibu begitu cepat tahu, entah dari mana dan membuat geger sekota. Berita penangkapan itu sampai masuk koran.

Sementara, aku bersembunyi di rumah Bu Fris. Ada hal lain yang awalnya mereka tutupi takut membuatku down, sampai aku benar-benar syok saat mengetahuinya. Foto setengah polos ternyata diambil baj****n itu, dan disebar oleh temannya saat dia mabuk.

Penjahat kelam** itu sudah ditahan, barang bukti pakaian yang kupakai pas kejadian. Barang itu memang masih teronggok di dalam lemari.

Aku bisa lega, tapi juga jadi resah. Begitu tahu aku di rumah Bu Fris, Ibu datang marah-marah di halaman, ditonton para tetangga guruku ini.

“Ini urusan keluarga, tidak ada hubungannya dengan orang lain!”

Ibu berteriak saat Bu Fris dan tetangga coba menenangkannya.

“Saya tahu ini urusan keluarga, tapi ini sudah sampai hukum dan saya berhak menjaga keamanan Sekar, Bu.” Aku sudah ceritakan semua pada Bu Friskelly, bagaimana keluarga memandang kasus ini sebagai aib.

Ibu terus saja mara seperti orang kesurupan, aku tadi sempat ditariknya keluar segera melepaskan diri dibantu warga. Setelah terlepas aku lari segera mengurung diri di kamar.

Air mata luruh kian deras saat teriakan sumpah serapah Ibu masih masuk ke telingaku. Kututup dua telinga dengan bantal, masih saja tidak mempan. Sambil terisak, aku meringkuk dengan dua telunjuk menyumpal lubang telinga.

Betapa sakit hati saat kata kasar itu keluar dari wanita yang melahirkan kita.

“Kamu akan lihat ibu mati, Sekar! Ibu mati kalau kamu melawan ibu! Dengar itu!!” Suara menggema itu terasa di dekat telinga tapi kemudian menjauh. Semakin jauh.

Langit terasa runtuh saat Ibu terus menyumpahi dirinya sendiri akan mati karenaku. Tidak ada pilihan. Aku lari keluar dalam pijakan terasa mengambang.

Ibu … maaf kan Sekar sudah melanggar janji pada Ibu. Maaf …!

“Bu … Sekar akan pulang.”

Wanita berkemeja motif garis vertikal itu terhenti berteriak. Mata tajamnya berubah redup menatapku.

Kasihan sekali Ibu, wajahnya memerah tersorot matahari yang masih terik di sore ini. Aku dan Bu Fris kemudian saling berpandangan.

Jujur aku takut pulang, tapi Ibu terasa mengintimidasiku.

“Sa-saya pulang, Bu ….” Ragu, aku kembali ke dalam mengambil tas, satu-satunya barang yang kupunya.

“Sekar, apa sebaiknya kamu di sini dulu?”

Bu Fris mengikutiku di belakang.

“Saya nggak tega lihat ibu saya, Bu ….”

Dipegang Bu Friskelly bahuku. “Baiklah, kalau nanti petugas butuh lagi keteranganmu Ibu pasti akan dampingi,” janjinya.

 Aku mengangguk patuh.

Mungkin beginilah seorang anak. Apa yang diperintahkan ibunya wajib menuruti, meski itu bertentangan dengan hati. Apalagi jika disertai ancaman, rasanya tak punya pilihan.

Aku pamit, meraih punggung tangan Bu Fris sebelum pergi. “Tetaplah sekolah. Semangat ya, Sekar.”

“Insya Allah, Bu. Sekar masih mau berjuang sampai lulus,” ujarku.

Pada Ibu, guru konseling itu juga mengingatkan agar tak menghalangiku sekolah.

“Aku ibunya. Aku yang lebih tahu anakku!” ketus Ibu menjawab.

Aku pergi dengan ditonton puluhan pasang mata. Ibu menarik tanganku supaya berjalan cepat, sedikit mendorongku masuk ke mobil hitam yang terparkir di sisi jalan. Ada dua lelaki asing duduk di depan.

Siapa mereka …?

“Bu-“

“Kamu itu, mau malu-maluin ibu! Dasar anak durhaka!” Belum sempat aku bertanya kepala ini didorongnya sampai terantuk kaca pintu.

Mobil melaju, dihiasi omelan Ibu tentang kebodohanku. Tanpa henti, tanpa titik koma. Telinga ini terasa penuh dibuatnya.

“Bu, kita ke mana?!” Aku mengarah pandang keluar, samping, belakang. Bukan jalan ke rumah, tapi ini arah luar kota!

“Kita ke mana, Bu?!” Kubalik badan penuh, melihat ke belakangn arah kami makin jauh meninggalkan Kota Mentaya.

Hening, tidak ada yang menjawab. Ibu mematung menatap jalan di depan.

“Bu, Sekar masih mau sekolah!” Kuguncang pundaknya

Lagi kepalaku didorong. “Ini semua gara-gara otakmu itu. Sudah ibu bilang jangan bilang-bilang orang, eh, kamu malah cerita. Rumah kita jadi geger didatangi polisi! Bod*h!”

Suara ibu kembali merepet kasar. Sampai mobil ini terasa masuk ke jalan setapak.

Makin ke dalam tampak deretan pohon kelapa, dari sedikit sampai makin luas.

Ini … perkebunan?

Aku merasa masuk ke wilayah asing.

Mobil berhenti di depan satu-satunya rumah kecil dari papan bersusun sirih, tepat di sisi jalan setapak.

“Bu …!” Aku menolak saat disuruh turun.

Ibu tega mendorong badanku, dibantu lelaki kekar berbaju hitam menarikku keluar mobil.

“Bu, jangan tinggalkan Sekar, Bu. Sekar mau sekolah!”

Seperti tak mendengar kata-kataku Ibu bergeming, langsung menutup pintu mobil. Tangisku lepas, teriak sampai parau sambil mengejar kendaraan yang kemudian melaju kencang.

Sia-sia, sampai tenaga habis kendaraan itu tampak makin kecil dan menghilang di belokan.

Aku terduduk tengah jalan tanah lembab, mengatur napas yang terasa akan habis.

Kenapa Ibu tega tinggalkan aku sendiri di hutan kelapa ini …?

Menoleh ke belakang, dari rumah papan tempat mobil berhenti tadi terlihat seorang wanita keluar. Ia menepuk tangan sekali, lalu melambai padaku.

Oh, ternyata ada orang!

Gegas aku berusaha bangun, berjalan ke sana. Semakin dekat tampak wanita itu mirip Ibu, mengenakan daster kumal tanpa warna.

Kakiku terus bergerak mendekat. Semakin lama makin jelas wajah perempuan yang melambaiku tadi.

Ibu …?!

Rupanya persis Ibu, tapi tampak lebih tua, maksudku, sangat tua. Dia kemudian tertawa dengan gigi yang habis di bagian atasnya.

Tenggorokanku tercekat mau bicara.

“Sekar ….” Dilambai tangan pelan sambil memanggilku, dengan suara seperti nenek-nenek. Dan, gerakannya seperti tayangan melambat. Aneh. Kukucek mata memastikan apa yang terlihat.

Bukankah dengan mata kepala sendiri tadi kulihat ibu pergi? Lalu … siapa orang tua ini?

“Sekar, Sekar!” Pundakku ditepuk.

Terlonjak, aku membeliakkan mata melihat wajah siapa di depan muka.

“B-Bu Fris?!”

Lekas aku terduduk. Langsung melihat sekitar.

“Kok tidur sampai senja begini? Ayo mandi, sebentar lagi kamu salat magrib.”

Tercengang sesaat, aku merasa apa yang terjadi barusan benar-benar nyata, ah, ternyata hanya mimpi. Kuusap dada yang terasa lega.

“Kamu sampai mimpiin ibumu, ya?”

“I-iya, Bu. Apa Ibu sudah pulang?”

 “Sudah. Ibumu ke sini tadi mau ajak kamu pindah, Sekar. Rumah dan toko ibumu akan dilelangkan. Tadi cuma titip pesan, kamu bisa pilih ikut pindah atau tetap di sini?

Kutatap wajah sendu Bu Fris.

“Izinkan Sekar tetap sekolah di sini, Bu. Sekar mau lulus SMK,” pintaku penuh harap.

“Alhamdulillah. Itu yang ibu harapkan. Kamu kelas XII juga sudah tidak bisa pindah.”

*

Keputusan Ibu pergi sangat cepat, entah ke mana aku bahkan belum sempat bertemu. Karena berita tentangku sudah menyebar sampai ke teman-teman sekolah, aku memilih terkurung di rumah saja. Dua kakakku juga dari keluarga belum ada yang menjenguk ke sini.

Hanya Bu Friskelly dan orang-orang asing dari KPAI yang mendampingiku.

Foto yang pernah tersebar itu membuat diri merasa tak punya wajah untuk bisa ditampakkan ke orang lain.

Aku merasa jatuh dari ketinggian, lalu tertimpa tangga berat. Ingin memenjarakan penjahat itu tapi justru diri sendiri menerima hukuman.

Mata-mata terasa menelanjangiku bulat-bulat … aku hanya bisa tertunduk tanpa berani mengangkat muka.

Mungkin ini yang Ibu khawatirkan waktu itu. Penjahatnya memang sudah ditangkap, tapi aku dan keluarga menanggung beban mental sangat mengerikan setelahnya.

Menjalani pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menjerat pasal pada pelaku, aku merasa sangat tertekan. Pertanyaan yang tak kupahami bagaimana menjelaskan, karena aku saat itu memang tak sadar. Jangankan untuk cerita, membayangkan saja aku sangat ingin menangis tanpa henti.

Kenapa ini terasa makin menakutkan …?!

Pun saat wajib melakukan visum … bagian yang sempat membuatku terpikir untuk menyusul Ummi saja ....

Mentalku sempat drop.

Takut.

Lelah.

Aku malas keluarkan kata, walau hanya sepatah.

Andai bisa, aku mau hapus ingatan tentang ini.

Sidang tertutup, aku diperiksa di ruang berbeda tanpa harus bertemu penjahat itu. Meski begitu, tetap saja hidupku bagai mimpi buruk.

Sebulan hidup terasa ratusan tahun harus kulewati. Andai kurang dukungan dari Bu Fris, guru-guru, dan orang-orang asing itu, bisa dipastikan aku sudah gil*.

Tatapan orang-orang di luar sana terasa menghakimi, seolah aku penyebab awalnya.

Bahkan ada yang terang-terangan katakan aku penggoda, sok ‘alim, copot aja kerudungnya, atau jadi orang yang mengundang kejadian itu_kerudungan di sekolah, pakaian pendek di rumah.

Aku merasa makin menciut mendengarnya. Mereka tidak tahu apa-apa. Meski kata Bu Fris itu teriakan dari keluarga lelaki bej** yang menyalahkanku, tetap saja batin ini hancur dibuatnya.

“Maafkan ibu, Sekar, ini sulit dikendalikan karena foto itu sempat terlanjur tersebar. Kamu harus kuat. Sekolah membolehkan kamu belajar dan praktek di rumah saja. Namamu tetap akan jadi alumni SMK3 nantinya.”

“Alhamdulillah ….” Kupeluk Bu Friskelly erat. Beliau mau mengusahakan yang terbaik untuk kelanjutan pendidikanku. Biaya juga digratiskan, untuk bahan uji kompetensi aku diberi bantuan. Kuanggap ini hikmah, meski tanpa dukungan Ibu dan keluarga aku diberi kesempatan tetap sekolah.

Kasus cepat selesai, bej*t itu sudah dijatuhi vonis, juga teman yang pertama menyebarkan fotoku. Walaupun begitu, tetap masih saja ada yang mengungkitnya saat aku mulai keluar rumah.

“Jangan dipedulikan. Tegakkan wajahmu, kita tau kamu tidak salah, Sekar.” Semangat dari Bu Fris coba kulakukan, meski masih memakai masker saat ke tempat keramaian. Cara itu cukup membuatku tak dikenali. Walau kadang gagal, karena teman terdekat tetap masih bisa mengenalku.

“Sekar!”

Langkah kupercepat, tanpa mengindahkan pemilik suara yang kukenal di belakang itu. Terdengar motor dimatikan.

Pundakku ditahan. “Jangan ganggu aku, Yan!”

“Sekar?!” Diputarnya badanku sampai menghadap ke arahnya.

Kami bertatapan dalam dua detik, aku langsung membuang pandang. Malas lihat Yandi menyimpan banyak tanya dari sorot matanya.

“Kenapa sih nggak cerita sama aku, Sekar? Kenapa?! Kamu juga menghindar tiap lihat aku.”

Ini yang aku benci. Semua orang sangat ingin penjelasan!

Kulepas tangannya dengan kasar, setengah berlari masuk gang menuju rumah Bu Fris. Tadi bosan di rumah aku keluar belanja bahan jahit di depan jalan raya.

“Sekar! Aku temanmu. Kenapa kamu nggak bilang masalah sebesar ini?!”

Bola mata ini kembali perih. Bertambah panas dan berair saat lihat di situ tetangga Bu Fris langsung berbisik-bisik melihatku dikejar Yandi.

“Tolong, Yan. Jangan ganggu aku!”

Lekas membuka kunci rumah aku langsung menutup dan mengunci dari dalam. Ke kamar kujatuhkan badan di tempat tidur.

Aku merasa kembali sendiri … Bu Fris masih di sekolah sampai menjelang sore, hanya beliau teman juga pengganti orang tuaku sekarang. Tanpanya mungkin aku memilih menghilang saja.

Cukup. Tolong. Siapa pun … jangan ingatkan aku pada masalah itu lagi.

Sungguh, aku mau melupakan peristiwa ini!

"Sekar!"

Panggilan Yandi di luar terasa mengobrak-abrik hati yang memang sudah hancur. Meski suaranya sudah merendah, tetap saja aku tak mau menjelaskan apa-apa padanya. Mengertilah.

Lupakan ini ....

Atau … beri aku waktu, sampai siap berdamai dengan diriku sendiri.

Related chapters

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   5. Aib!

    “Bagaimana pun kita tetap harus bersyukur. Kejadian ini tidak sampai membuahkan janin.” Penuh kelembutan Bu Friskelly menaikkan lagi semangatku.“Masih banyak perempuan di luar sana yang menanggung ujian lebih berat darimu, Sekar … tetaplah kuat.”Aku kembali terpuruk, merasa tidak ingin berbuat apa-apa.Malamnya, berkunjung wanita paruh baya yang kemarin ikut mendampingiku dari KPAI, beliau mungkin dihubungi Bu Fris, datang karena kasihan padaku.Aku memang pantas dikasihani … mungkin begitulah hidupku seharusnya. Entah, jangankan berpikir, menggerakkan jari melanjutkan menjahit saja aku enggan.Tanpa mengeluhkan sikapku, wanita tak kalah lembut dengan Bu Fris itu mulai bercerita, kalau di pekerjaannya dia temukan banyak perempuan_korban sepertiku juga yang

    Last Updated : 2021-08-29
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   6. Janjinya

    Tubuhku gemetar sampai tiba di rumah. Langsung ke dapur, aku duduk di kursi setelah mengambil air dingin. Napas terasa masih tersendat, kugenggam gelas kuat walau dua telapak tangan ini menggigil seakan tak bertenaga. Usai menghabiskan dua gelas air, baru kurasa cukup tenang. Bu Fris mendekat, tatapannya seperti curiga melihat gerikku. Beliau duduk di kursi depanku, posisi kami terhalang meja makan bundar. Bersitatap sejenak dalam diam, kuatur napas tenang melihat Bu Fris menungguku ceritakan apa yang terjadi. Ringan kalimat meluncur dari bibirku, mulai ceritakan kejadian barusan. Sudah tanpa emosi, aku malah sedikit geli saat cerita bagian cewek itu terjungkang akibat kudorong tadi, rok pendeknya terangkat membuat mukanya yang putih langsung semerah cabe rawit. Bu Fris kemudian menanggapi. Belia

    Last Updated : 2021-08-30
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   7. Aku Nggak Pantas Untukmu

    Motor bebek Yandi sudah berhenti di halaman rumahnya. Tadi sempat kulirik di sana, pada bekas rumahku yang tulisan ‘dijual’ dalam huruf besar masih terpasang di depan pagar. Rumah Ibu belum laku …. Aku tahu Ibu dan Kak Rana pindah ke kabupaten lain, tinggal di sebuah kecamatan kecil, jarak tempuh hampir enam jam dari sini. Kami belum pernah bertemu dan kontak lagi. Tahu kabar itu dari kak Winda saat kami tak sengaja bertemu, dan kakak sulungku itu juga ikutan pindah kerja gara-gara kasusku. “Urus dirimu sebisanya. Jangan paksa dekati Ibu yang masih kecewa. Kamu tau Ibu gimana orangnya, kasih waktu sampai melunak sendiri,” pesannya sebelum kami pisah. Setelah itu aku belum tahu Kak Winda pindah ke mana. “Ayo.” Buyar lamunan ini saat Yandi menarik tanganku, tapi terpegang ujung telunjukku yang kemudian tak mau dilepaskannya. Aku b

    Last Updated : 2021-08-31
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   8. Tak Direstui

    “Heh, kok ada kamu?” suara sinis perempuan paruh baya. Mendongak refleks, aku yang tengah menjahit, dengan otak terngiang ucapan Tante Mel tadi sampai tak sadari ada orang di depanku. Bengong. Aku lihat ke arah teman-teman lain, mereka tampak sama terkejut. “Siapa suruh kamu kerja di sini?” Dia mengulang pertanyaan dengan mata memelototiku. Tenggorokkan ini tercekat. “A-ada apa ya, Bu?” “Ada apa, ada apa? Sok polos kamu!” Wanita berambut keriting sebatas bahu itu kemudian menanyakan di mana Pak Kung. “Lagi keluar, Bu.” Seorang teman senior di meja jahit belakang menjawab. Wanita yang belum pernah kulihat ini keluarkan handphone besar dari tas tangan, menghubungi Pak Kung dengan suara nyaring, mengundang perhatian. Apa yang keluar dari mulutnya itu membuatku terhen

    Last Updated : 2021-09-02
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   9. Dia

    “Lagi ngapain?” Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai. “Hee, kerjaan iseng, Bu.” “Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku. “Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit. “Kreatif.” “Daripada bengong, Bu.” “Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS. Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan. “Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.” “Mudah kok, Bu.” Aku sudah dudu

    Last Updated : 2021-09-02
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   10. Kita

    Ucapan Yandi terakhir itu benar-benar membuatku resah.Apa dia akan nekat ke sini …?Hari ini pun perut jadi terasa mulas-mulas dibuatnya, makan sesuap pun sulit masuk, padahal tadi rendang kuminta Uda sirami kuah banyak, tetap saja tak selera. Kalau Yandi tiba-tiba muncul … waduhh, bakal perang dunia kedua dia sama orang tuanya.Pintu kututup rapat. Duduk di kursi jahit coba fokus selesaikan miniatur wedding yang kubuat untuk kado nikahannya Bu Fris. Tinggal membuat jas pria, boneka si pangeran pasangan Barbie sudah dapat kemarin di toko.Ini akan kukemas dengan mika, bagus buat pajangan. Saat akan menyelesaikan sedikit lagi, suara ketukan disertai panggilan dari luar membuatku terlonjak. Kutekan dada, merasa degup jantung meloncat-loncat.Refleks menebak, apa itu Yandi …?

    Last Updated : 2021-09-02
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   11. Ayo, Bilang Cinta

    Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak. “Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?” Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya. “Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“ “Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.” Terdiam, kupandangi kelingkingnya. “Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?” Kudengarkan dia bicara.

    Last Updated : 2021-09-02
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   12. Aku Manusia Merdeka

    “Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”

    Last Updated : 2021-09-02

Latest chapter

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   65. Ingin Menua Bersama

    “Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   64. PoV Yandi 2

    Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   63. PoV Yandi 1

    "Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   62. Cappadocia

    Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   61. Umroh dan Honeymoon

    Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   60. Persiapan Honeymoon

    “Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   59. Keluarga Baruku

    “Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   58. Kamu Istimewa, Sayang

    Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   57. Pria-ku

    “Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status