“Lagi ngapain?”
Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai.
“Hee, kerjaan iseng, Bu.”
“Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku.
“Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit.
“Kreatif.”
“Daripada bengong, Bu.”
“Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS.
Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan.
“Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.”
“Mudah kok, Bu.” Aku sudah duduk di belakang mesin, satukan kain di bawah jarum yang bergerak cepat.
“Iya, kelihatannya.” Bu Fris tergelak, beliau memang tampak sedang ceria. “Kalau bisa jahit ibu mau buat pakaian bayi,” ujarnya sedikit ragu.
Senyam-senyum aku menangkap maksudnya. Guru cantik ini pasti tak sabar punya momongan. Semoga saja setelah nikah nanti cepat diberikan.
“Ibu jangan takut, sebelum Ibu bisa jahit, kalau udah ‘isi’ nanti pesan sama Sekar aja. Insya Allah Sekar akan buat.”
“Boleh, boleh banget. Jadi kita akan kerjasama, ya. Ibu pesan, kalau bagus ibu akan bantu promoin.”
Membelalak mata, terasa ada lampu berpijar terang di atas kepala.
“Beneran, Bu? Apa lebih baik usaha mandiri aja, ya. Tapi bukan terima jahitan, Sekar belum pede bikin pesanan orang, ilmunya masih kuasai dasar. Salah-salah bisa rusakin kain orang.”
“Bikin yang gampang aja dulu, trus jual. Ibu bisa usahakan dukung modal awalnya, gimana?”
“Aaaa!” Gegas berdiri, langsung kupeluk erat Bu Fris.
“Bu, ini ide hebat. Makasiih, Bu. Bu Fris memang terbaik sedunia,” pujiku masih memeluknya erat-erat.
Suara ponsel Bu Fris menghentikanku.
“Sebentar, Sekar.” Handphone ber-casing silver itu ada di meja ruang tengah, Bu Fris ke depan lalu kembali, menyodorkan ponsel ke tanganku.
“Yandi.”
Ragu kuterima, sembari permisi menjauh.
Salamku dibalas Yandi cepat.
“Kenapa nomornya nggak aktif?” Sudah kuduga pasti langsung tanya itu.
“Ng, maaf, Yan. Hapenya … hilang.” Menggigit bibir bawah, aku meringis. Lupa siapkan jawaban untuk ini.
Di sana dia diam sesaat.
“Yan?”
“Apa kamu bilang tadi?” Ternyata dia nggak dengar. Terpaksalah bohong lagi.
“Hapenya hilang ….” Kali ini ternyata kalimatku lancar.
“Mau bohong, ya?”
“Enggak. Memang hilang!”
“Hilang di mana? Ceritain.” Dia kembali diam, dan aku mulai gugup.
Ya ampun, aku belum siap mengarang cerita ….
“Sekar?”
“I-itu hilang dari tas.”
Argh!
“Trus?”
“Ya, hilang gitu aja, Yan.”
“Kamu nggak tanya siapa yang ambil?” Ampun … dia masih mengejarku untuk melanjutkan kebohongan ini. Telapak tangan terasa makin dingin.
“Tanya juga, tapi nggak ada yang ngaku ….” Aih, dustaku terasa ngambang.
“Oh ya? Emang di mana hilangnya?” Nada suaranya terdengar sedikit mengejek. Apa Yandi curiga?
“Di tempat kerja.”
“Ohh. Ya sudah tutup dulu, biar aku telpon Pak Kung-“
“Jangan!”
Upss!
Menepuk jidat, aku lupa sebelum berangkat Yandi ini minta simpan nomor Pak Kung, alasannya waktu itu kalau aku sakit, atau lagi nggak bisa masuk kerja dia yang izinkan aku ke bos. Dia anggap dirinya itu wali aku.
Agh! Gimana ini?!
“Kenapa …?”
Kugaruk-garuk kepala yang tak gatal.
“Kamu bohong, ‘kan? Haa, aku udah nebak dari awal.” Tawa lepas dan renyah.
“Jadi maksudnya ini ngerjain?”
“Siapa? Kamu kali yang ngerjain, Sayang. Seharian aku nelpon, nge-chat sampe puluhan, ternyata nggak aktif-aktif juga.”
“Ya sudah kita udahan aja.”
“Sekar? Kok, dikit-dikit ngomong udahan gitu. Sakit tahu dengarnya. Aku lagi berjuang buat kita.”
Arg! Yan, kamu nggak tau aku juga sakit kalau kamu berharap gini ...!
“Besok aku kirim yang baru-“
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Aku bisa beli sendiri!”
“Oh, aku transfer, ya.”
“Yandi!” Suaraku menaik, jadi setengah teriak.
Dia terdiam. Dada ini perih, merasa ada sesal sudah meneriakinya.
Aku sulit menolak kamu, Yan. Aku suka semua yang kamu lakuin, tapi … hubungan kita hanya akan nyakitin orang tuamu. Berhenti. Jangan buat rasa ini membesar lagi.
“Yan, udahan, ya. Hape Bu Fris sudah panas. Ass-“
Belum selesai kuucap salam Yandi memutuskan panggilan sepihak. Seketika hati ini terasa terlepas dari tempatnya.
Perih!
*
Hari ini aku putuskan akan pindah, berusaha melepaskan ketergantungan pada Bu Fris yang akan segera berkeluarga.
“Kamu yakin pindah sekarang? Kenapa nggak nunggu ibu selesai acara aja?”
“Yakin kok, Bu. Biar belajar mandiri.” Bu Fris membantuku berkemas, meski cuma punya sedikit pakaian, dan peralatan jahit lumayan repot juga mengumpulkan untuk diangkut.
Aku sudah sewa barak alias kos di jalan S. Parman. Letaknya di pinggir jalan, hanya empat pintu kamar, aku di kamar keempat ujung. Harga sewanya terjangkau, cuma 400 ribu sebulan. Listrik, air bayar ke Bu Kos nambah 50 ribu, kecuali punya barang elektronik baru nambah lagi.
“Ibu dukung keinginan kamu mandiri, kita tetap akan sering ketemu. Kan kita punya bisnis,” hibur Bu Fris. Kami sama-sama berat nerpisah. Kebersamaan sudah seperti teman dan saudara, rasa sayang ini tulus tumbuh.
Terima kasihku tak terhingga untuk Bu Fris atas semua kebaikannya dari awal. Sampai aku bilang berhenti cari kerja, berniat dikos ini akan terima permak. Beliau malah memodaliku 1,5 juta, bantuan yang sempat kutolak, tapi kemudian dikatakan itu sebagai pinjaman, boleh kubayar kapan saja, tanpa bunga.
*
Besok Bu Fris dan rombongan keluarga Pak Irwan akan ke berangkat menemui orang tuanya. Sore ini aku kembali datang, membantu bersih-bersih atau apa yang bisa kulakukan.
“Sekar, ada yang mau ibu sampaikan.”
Aku lagi nyapu sisa sampah di ruang tengah. Bu Fris mengajakku ngobrol tentang Yandi. Sebelum pindah aku sudah minta Bu Fris jangan kasih nomor rekening, atau menerima kiriman Yandi ke sini, sebab hubungan kami mau kuakhiri.
“Coba diselesaikan, kamu hindari tanpa kejelasan begini makin buat Yandi mengejar. Kasihan, Sekar. Ibu susah jelaskan apa, bagaimana isi hati kamu ibu nggak tau.” Disodorkan ponsel padaku.
“Itu sudah pakai paket nelpon, bicarakan sampai selesai.”
“Terima kasih, Bu.”
Rasa bersalah menyusup, aku terus saja merepotkan Bu Fris. Pasti panggilan dari Yandi sudah mengganggunya.
“Sama-sama. Sana, ngobrol di kamarmu,” ujar Bu Fris sebelum menemui dua saudaranya yang besok juga akan ikut berangkat.
Aku duduk di bibir ranjang, akan menghubunginya setelah mengirim chat. Rupanya Yandi langsung telepon lebih dulu.
Kaku. Mulut ini terasa sulit menjawab banyak pertanyaannya, sampai kalimat yang sudah kupikirkan terucap.
“Kita kembali berteman aja, Yan.”
“Kenapa? Jelaskan alasannya sampai aku paham, Sekar!” suaranya terdengar frustrasi, terus mengejarku dengan banyak tanya.
“Sekar, kalau kamu katakan tidak pantas, aku akan memantaskan diri buatmu. Berhenti kuliah, pulang, merusak diri, baru kita pantas. Begitu ‘kan?”
Astagfirullah, sama cowok satu ini bahaya kalau salah bicara.
“Bukan gitu, Yan. Kita pantas. Cuma aku sudah ketemu cowok lain.” Arg! Kenapa sulit katakana jujur!
“Ah, kamu bohong lagi! Cuma alasan!” emosinya sangat kentara.
“Ya, oke. Aku memang bohong. Aku pembohong, Yan.”
“Sekar?”
“Aku bohong pernah bilang suka kamu. Padahal perasaanku cuma anggap kamu teman, nggak lebih! Assalamualaikum.”
Kuusap wajah dengan ujung kerudung. Ada lega bercampur perih membersamai keputusanku.
Sudah berakhir, ya, semua sudah berakhir.
Biarkan kita menjalani hidup masing-masing, Yan.
Bunyi dari applikasi hijau tiga kali, kembali mataku tertuju pada layar. Kugeser dengan ujung jempol. Pesan dari Yandi.
Apa yang terbaca sungguh membuat mata membelalak.
‘Besok aku pulang!’
‘Kita lihat saja kamu bisa bohong nggak kalau di depanku.’
‘Aku sayang kamu, Sekar.’
Yandi?!
Ucapan Yandi terakhir itu benar-benar membuatku resah.Apa dia akan nekat ke sini …?Hari ini pun perut jadi terasa mulas-mulas dibuatnya, makan sesuap pun sulit masuk, padahal tadi rendang kuminta Uda sirami kuah banyak, tetap saja tak selera. Kalau Yandi tiba-tiba muncul … waduhh, bakal perang dunia kedua dia sama orang tuanya.Pintu kututup rapat. Duduk di kursi jahit coba fokus selesaikan miniatur wedding yang kubuat untuk kado nikahannya Bu Fris. Tinggal membuat jas pria, boneka si pangeran pasangan Barbie sudah dapat kemarin di toko.Ini akan kukemas dengan mika, bagus buat pajangan. Saat akan menyelesaikan sedikit lagi, suara ketukan disertai panggilan dari luar membuatku terlonjak. Kutekan dada, merasa degup jantung meloncat-loncat.Refleks menebak, apa itu Yandi …?
Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak. “Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?” Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya. “Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“ “Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.” Terdiam, kupandangi kelingkingnya. “Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?” Kudengarkan dia bicara.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima
“Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.
Tidak sulit mencari. Setelah mampir sarapan soto, dan mengabarkan Yandi tadi langkah sudah membawaku di depan ruko berpintu kaca lebar. Menarik napas panjang diiringi doa aku mendorong pintu kaca. Wajah langsung disergap angin dingin, kuatur napas, adaptasi sejenak dengan hawa baru sebelum menutup pintu. “Pagiii, ada yang bisa dibantu, Mbak?” Salam super ramah dari seorang wanita cantik, yang berdiri dari balik meja panjang. Sedikit tergeragap kuanggukkan kepala. “Pa-pagi, Mbak.” Tadi kukira langsung dihadapkan pada peralatan jahit, baju-baju pajangan, bukan diterima secara resmi begini. Ini seperti ruang kantoran, dinding kaca lebar itu dihiasi tirai lipat mewah warna putih. Aduhh, mendadak badan terasa mengambang tak jelas. Degup jantung mulai tak beraturan.
Hari pertama di tempat kerja, terasa berat karena kulewati tanpa bisa berbagi cerita dengan Yandi. Dia melarangku mengontak sampai dihubungi lebih dulu. Tak ingin membuat masalah aku dengan orang tuanya kupilih fokus pada pekerjaan. Di sini aku sekarang, ruang jahit, letaknya belakang ruko yang terbagi dua lorong. Belok ke sisi kanan adalah ruang khusus pelanggan dan pajangan jas mewah, dengan sewing room minimalis, tampak mewah. Sebelum ke ruang ini aku diajak melihat di sana. Kata Pak Calvin kalau kerjaku bagus akan ada saatnya aku jadi bagian di ruang itu. Semacam motivasi untukku berjuang dari awal ini. Ya, karena kalimatnya itu aku jadi sangat ingin bergabung di tempat kerja yang persis kantor begitu. Jauh beda dengan di sini, hanya ruang luas tanpa sekat, tempat 20 pekerja yang melewatiku malam tadi. Mereka semua adalah penjahit produk merk Calvin juga, tapi berupa cardigan dan blazer. H
“Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.
Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar
"Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se
Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y
Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u
“Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G
“Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se
Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan
“Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber