Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal.
“Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?”
Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji.
“Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi.
Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku.
“Terima kasih, Pak Haji. Sekar akan coba cari kabar Bapak.” Aku menggendong ransel, bersiap pergi.
“Benar ini tidak diantar?”
“Tidak usah, Pak Haji, Bu Haji. Terima kasih sudah bantu saya.”
Pamit, kutempelkan dua punggung tangan keriput itu bergantian ke kening. Saat yang sama di dalam hati kugumamkan maaf atas kebohongan ini. Aku bilang akan ke rumah Paman, tapi setelah keluar pelataran masjid aku melambai tukang becak, lalu berhenti di tempat travel untuk segera menuju kota madya.
Begitu tahu aku lari ke masjid tadi Yandi segera membelikan tiket via online. Penerbangan nanti malam, sengaja pilih dari kota karena dari kabupaten ini hanya sekali keberangkatan, tadi pagi. Yandi memang teman terbaik yang aku punya, pahlawan yang bisa diandalkan saat ini. Aku banyak berhutang budi padanya.
Empat jam perjalanan, membawaku meninggalkan semua yang aku punya di kota kecil ini. Termasuk nasib dua baju orang yang dipermak terbawa ke rumah Paman. Yah, mau bagaimana lagi, aku ‘kan terpaksa lari dari tanggung jawab.
Sampai di bandara aku mulai grogi, memikirkan rasa naik pesawat, sebab ini pengalaman pertama.
Saat check-in aku mengikuti apa yang calon penumpang lain lakukan, meski mungkin terbaca kaku. Aku juga banyak tanya dengan petugas, takut salah. Kalau sampai nyasar, ‘kan nggak lucu, hehe.
Setelah salat Magrib di mushala bandara, aku duduk di ruang tunggu sambil menerima telepon Yandi.
“Gimana, Sayang? Masih kuat?” tanyanya penuh perhatian. Tadi aku mabuk darat, setelah minum obat anti mabuk lumayan sudah berkurang peningnya.
“Mendingan, tapi masih panas dingin …,” gumamku sambil lihat di sana ada dua pesawat di landasan. Membayangkan benda itu akan terbang dengan ketinggian puluhan ribu meter dari tanah membuat napasku menyesak.
“Takut naik pesawat?” tanyanya, kurasa Yandi bicara sambil tersenyum lebar.
“Iya, Yan. Aku sampai bolak-balik ke kamar mandi."
“Grogi naik pesawat apa nggak sabar lihat aku?”
“Ya, grogi naik pesawat, Yan. Ini aku mulas campur takut ….”
“Trus, kalau ketemu aku gimana rasanya?”
Dasar. Ada-ada aja pertanyaannya.
“Itu beda kali, Yan, mulasnya kayak …” Aku menggantung kalimat, memikirkan. “kayak mau ujian dadakan … kayak mau tampil di panggung.”
“Ciee, berarti cinta banget sama aku.” Di sana dia terdengar senang. Sementara aku senyum-senyum, kalau lewat telepon aku berani ngomong begitu, dia kan nggak lihat juga.
“Mm, emang kamu nggak grogi mau ketemu aku?” Lumayan juga efek ngobrol bucin begini, aku sedikit lupa takut terbang.
“Biasa aja.”
“Biasa? Maksudnya?”
“Biasa … kayak ada banyak hewan kecil beterbangan di dalam perut, bikin sedikit susah napas, dan … nggak bisa nahan diri mau …” Kubulatkan mata mendengar arah bicaranya. Yandi sengaja menggantung kalimat beberapa detik.
“Mau apa?” Refleks kututup mulut yang keceplosan tanya.
“Mau … mau halalin kamu, Sayang!”
Hahaa. Aku menahan perut yang geli saat spontan tertawa lepas. Terhenti seketika saat ingat ini tempat umum. Menoleh ke kiri sepertinya ada satu dua orang melirik tapi kemudian cuek lagi. Pas noleh ke kanan, tertumbuk pada seseorang di sana, berjaket coklat tengah menelepon.
Kak Evan?!
Lekas kupaling wajah, untung duduk agak jauh jadi mungkin Kak Evan belum menyadari keberadaanku.
Sebelum pesawat berangkat aku masih teleponan dengan Yandi, bicara dengan suara kecil.
*
Bagai terkurung dalam ruang sempit, tanpa ada ventilasi udara lalu diputar di dalamnya. Ough! Seperti itulah rasaku saat pesawat mulai naik. Susah mengambil napas, dan yang menambahku tersiksa kak Evan duduknya di deretan sama, aku harus pakai ujung kerudung untuk dijadikan masker wajah, hanya menyisakan mata.
Jangan sampai Kak Evan mengenaliku.
Begitu pesawat melandas, aku sengaja menunggu Kak Evan sudah jauh, baru bergerak. Kakak ipar pertamaku itu pasti sedang ada tugas. Berarti dia masih kerja di perusahaan leasing, yang kadang memang ditugaskan ke cabang lain.
Kak Evan sudah pergi, aku melangkah tenang. Sempat kaget melihat yang menjemputnya wanita berambut panjang ber-blazer abu. Menepis fikiran negatif, aku menerka itu mungkin rekan kerjanya.
“Sekar!” Tampaklah cowok tinggi dengan tawa semringah melambai dan mendekat ke sini.
“Yandi!” Setengah berlari aku menghampirinya.
“Kasian, mabuk, ya? Kok muka sampe berantakan gini?”
“Berantakan? Emang mulutku pindah tempat?” sahutku berpura sewot.
Diacaknya pucuk kerudungku.
“Kangen lihat kamu ngambek. Ayo,” ujarnya seraya mengambil alih ranselku, digendongnya, dan aku jalan mengekor di sisi.
Ada rasa tenang melihat sosok ini di sampingku.
Kami naik taksi sampai melintasi lalu lintas padat khas kota besar. Aku cukup terpana melihat apa yang tersaji di depan mata, sampai Yandi bicara apa aku kurang nyambung menjawab.
Mobil berhenti aku mengikutinya turun.
“Ciee, yang bawa istri.” Mengerut dahi aku mendengar beberapa cowok menggoda Yandi, saat kami masuk ke rumah berlantai dua.
“Ciee, yang ngiri,” balas Yandi disahuti riuh.
“Woww, Lesti Kejora itu, ya, Yan?”
“Wah, calon istrinya artis, euy!”
Kucubit lengan Yandi yang sibuk balas memanasi mereka dengan merangkul bahuku, dia sontak mengaduh merasakan kejamnya jariku. Tau rasa!
Rumah luas ini ternyata kos, dengan kamar saling berhadap-hadapan, seperti lorong … penginapan. Tiap kamar ada papan nama, mungkin menunjukkan siapa penghuninya.
“Masuk.” Kami terhenti di pintu bertuliskan nama Novri Yanditrias.
“Yan … memangnya aku tinggal di sini?” tanyaku ragu, sambil mengekorinya masuk.
“Istirahat aja dulu, aku udah izin Bu Kos, kok.”
“Diizinin?”
Dia mengangguk.
“Pasti kamu bilang aku istri?”
“Iya, kan benar istri.” Kupelototi dia yang cengengesan. “Iya, iya … calon istri.”
Diletakkan ranselku ke atas meja. Mengambil handuk, dikalungkan ke leherku.
“Mandi gih, kasian kusut banget. Aku mau carikan makan malam dulu. Habis makan kuantar kamu ke kos cewek.”
Aku mau protes Yandi keburu keluar kamar.
Bengong sesaat, kuedar pandang pada ruang ini. Ukuran sekitar 4x4. Bersih. Rapi.
Ada kasur nomor tiga dengan seprai motif bola, kaku. Buku tertata, ada gitar di pojok, dan juga lemari sorong plastik lima tingkat.
Setelah mengambil pakaian ganti dari ransel, aku masuk kamar mandi. Entah kenapa dada ini tiba-tiba sesak teramat sangat, dan air mata minta ditumpahkan segera. Aku menangis sambil menyiram kepala. Sampai air mata itu hilang dengan sendirinya. Sedikit sensitif merasa hidup ini terombang-ambing.
Sampo Men Care milik Yandi menyebarkan rasa dingin di kulit kepala, sengaja kubiarkan sesaat sambil pijat ringan kepala, biar dingin ini meresap sampai ke otakku. Alhamdulillah, setelah mandi malam badan terasa segar.
Mulai sekarang aku janji akan lebih kuat memulai hidupku dari sini.
Keluar kamar mandi aku sudah berpakaian rapi.
Ternyata Yandi sudah datang, mata kami bertemu saat dia menoleh pintu kamar mandi.
“Kenapa? Kok, heran gitu?” tanyaku melihatnya memandangku tanpa kedip.
“… masih pake kerudung juga?” tanyanya setengah menggumam.
Aku tertawa geli. “Iyalah, Yan.” Aku mengusap muka dengan handuk sebelum menaruh di tempatnya.
“Kamu keramas, ‘kan? Rambut masih basah ditutupin?”
“Nggak papa, nanti juga kering sendiri. Waah, nasi padang.” Mataku langsung membelalak melihat makanan enak sudah di piring.
Aku langsung duduk di lantai keramik, bersiap makan.
“Sekar?”
“Hmm.”
“Makasih ya kamu mau melawan ibumu demi aku.”
Kuangkat wajah, melihat mata Yandi.
“Aku memang belum mau nikah, Yan.”
“Ohh, jadi aku geer ya, kirain kamu nolak dinikahin karena aku.”
Gemas. Kucubit dadanya. “Karena kamu juga,” ujarku mengoreksi jawaban.
“Alhamdulillah. Makasih, Sayang. Ayo makan. Habisin. Nanti aku antar ke kos teman, tadi udah bilang dan mereka mau nampung kamu.”
“Makasih ya, Yan. Kamu jaga aku kayak saudara.”
“Nggak juga. Aslinya aku nggak bisa nahan diri.” Sambil ngunyah dia senyam-senyum.
“Tadi sedikit kecewa lihat kamu keluar kamar mandi pake kerudung. Padahal ngarap, mau lihat … rambutmu," ujar lagi.
“Dasar, Omes!” Kutowel sambal ijo ke ujung hidungnya seraya tergelak.
Cepat disambarnya tisu. “Benar, Sekar. Aku sudah nggak sabar. Pokoknya aku akan usahain cepat lulus. Kita berjuang bersama, ya ….”
Dia memandangku penuh rasa sayang. Sorot mata yang melindungi.
Terharu, ada rasa teriris di hati atas kebaikan Yandi. Kuharap kami benar berjodoh.
Kubalas kalimatnya dengan senyum, sambil melanjutkan makan. Sebenarnya mau bilang, aku makin sayang atas semua yang sudah dia lakukan, tapi bersabar tunggu halal ajalah. Saat itu akan kuhujani dia dengan yang terbaik.
Bunga-bunga di hati terasa berhenti menari saat handphone Yandi berbunyi, sebab mata ini langsung melihat layar benda yang tergeletak di dekat piringnya.
Kami kemudian saling pandang sesaat dengan wajah kaku.
Itu … Video call dari mamanya …!
“Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.
Tidak sulit mencari. Setelah mampir sarapan soto, dan mengabarkan Yandi tadi langkah sudah membawaku di depan ruko berpintu kaca lebar. Menarik napas panjang diiringi doa aku mendorong pintu kaca. Wajah langsung disergap angin dingin, kuatur napas, adaptasi sejenak dengan hawa baru sebelum menutup pintu. “Pagiii, ada yang bisa dibantu, Mbak?” Salam super ramah dari seorang wanita cantik, yang berdiri dari balik meja panjang. Sedikit tergeragap kuanggukkan kepala. “Pa-pagi, Mbak.” Tadi kukira langsung dihadapkan pada peralatan jahit, baju-baju pajangan, bukan diterima secara resmi begini. Ini seperti ruang kantoran, dinding kaca lebar itu dihiasi tirai lipat mewah warna putih. Aduhh, mendadak badan terasa mengambang tak jelas. Degup jantung mulai tak beraturan.
Hari pertama di tempat kerja, terasa berat karena kulewati tanpa bisa berbagi cerita dengan Yandi. Dia melarangku mengontak sampai dihubungi lebih dulu. Tak ingin membuat masalah aku dengan orang tuanya kupilih fokus pada pekerjaan. Di sini aku sekarang, ruang jahit, letaknya belakang ruko yang terbagi dua lorong. Belok ke sisi kanan adalah ruang khusus pelanggan dan pajangan jas mewah, dengan sewing room minimalis, tampak mewah. Sebelum ke ruang ini aku diajak melihat di sana. Kata Pak Calvin kalau kerjaku bagus akan ada saatnya aku jadi bagian di ruang itu. Semacam motivasi untukku berjuang dari awal ini. Ya, karena kalimatnya itu aku jadi sangat ingin bergabung di tempat kerja yang persis kantor begitu. Jauh beda dengan di sini, hanya ruang luas tanpa sekat, tempat 20 pekerja yang melewatiku malam tadi. Mereka semua adalah penjahit produk merk Calvin juga, tapi berupa cardigan dan blazer. H
“Sekar masih belum selesai?” Tatapan prihatin teman sebelah, melihatku yang masih tegang di belakang mesin jahit. Aku merasa lamban dibanding mereka. “Belum, Mbak,” jawabku lemah. “Maaf kita nggak bisa nunggu, ya.” “Iya, nggak apa, Mbak.” Aku mendongak sambil tersenyum, lalu kembali menggerakkan jari yang terasa mulai kebas. Mereka satu persatu pulang, aku cuma bisa melirik, menahan perasaan cemas akan tertinggal lagi sendiri. Tugas wajib selesai, kalau tidak mungkin aku gagal, dan siap-siap ditendang keluar oleh si Kulkas. Harus tetap fokus. “Belum selesai juga?” Kuangkat wajah, baru menyadari ada lelaki berkemeja putih berdiri tak jauh dariku. Dia ini yang kusebut Kulkas itu. “Belum, Pak." A
“Yandi kah?” tanyaku lagi. Salma menggeleng. "Nggak kenal." Selain Yandi di sini aku nggak punya teman lain. … jangan-jangan Tante Mel ngikutin aku ke sini?! Lekas kutarik kerudung dari rak bawah lemari, bagian yang sukarela dibagi Salma untuk menyimpan pakaianku. Belum juga aku keluar, pintu sontak terbuka lebar tanpa diketuk, dan siapa yang muncul itu membuat jantungku melompat. Tante Mel, dan di belakangnya ada dua anak kos yang melihatku dengan wajah tegang. “Buat apa kamu masih pakai kerudung? Topeng!” “Tante?” “Tutup mulutmu. Siapa sudi dipanggil Tante dengan mulut busuk itu. Kamu pikir bisa nipu banyak orang lagi, hah?! Pakai pura-pura sok
Terulang lagi, sampai di tengah malam pekerjaanku baru selesai. Terdengar ketukan sepatu berhenti membuat napas sedikit tertahan. “Apa kamu sengaja lambat biar nggak pulang?” “I-ini sebentar lagi selesai, Pak.” Aku tak mengangkat kepala. Namun, tangan ini berhenti bekerja, bermaksud menghargai kehadirannya. “Benarkah? Lalu itu apa?” Terpaksa aku mendongak, melihatnya memandangi ranselku yang gemuk di sisi meja. “M-maaf, Pak. Saya dikeluarkan dari kos. Bu Kos mengira saya liar sampai pulang malam selama kerja di sini.” “Pulang pagi,” ralatnya. Aku meringis, menahan wajah panas. “I-iya, Pak. Pulang pagi, jadi mereka kira saya-” “Siapa yang tanya? Kemarin sudah diberitahu, bukan? Kalau lambat lagi kamu tahu konsekuensinya.”
“Ini ke mana, Pak?” Lagi, lelaki kulkas itu tak menjawab pertanyaanku. Tak lama mobil berhenti di halaman bangunan berlantai dua. “Turun.” “Pak ini kos?” tanyaku saat turun sambil memandangi deretan rumah yang sama persis bentuknya. Bukan kos, tapi ini ruko apa rumah? Masih bengong sendiri aku kaget merasa ada yang menarik ransel di tanganku. “Masuk, Mbak.” Kupandangi wanita berseragam hitam putih mengajakku masuk. “Sebentar, Mbak. Ini rumah siapa, ya?” tanyaku sembari memegang lengannya. Menahan langkah, wanita ini tersenyum melihatku yang takut masuk. “Ini rumah Pak Calvin.” “Hah?! Kenapa aku dibawa ke rumahnya?”
Kuambil beberapa lagi buntalan kertas, membukanya lalu memilih mana yang akan kuambil. Garis sketsanya sangat bagus. Aku mau bisa buat begini. “Sekar!” Panggilan salah satu pekerja di pintu dapur membuatku menoleh. “Ya, Mbak!” Aku segera memisahkan sampah yang berantakan. “Kamu cepat ke atas, dipanggil Pak Calvin!” “I-iya, Mbak, sebentar.” Lekas kuselesaikan pekerjaan. Tak lupa membawa puluhan lembar yang sudah kupilih, kertas ini kutaruh di kamar sebelum mencuci tangan dan bersiap ke atas. . . Woww, ruang di atas sini sejuk, banyak embusan angin dari jendela lebar yang dibuka penuh. Ruangan lega dan terang. “Di sana, Mbak.” Aku mengangguk pada perempuan berpenampila
“Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.
Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar
"Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se
Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y
Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u
“Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G
“Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se
Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan
“Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber