“Ini ke mana, Pak?” Lagi, lelaki kulkas itu tak menjawab pertanyaanku.
Tak lama mobil berhenti di halaman bangunan berlantai dua.
“Turun.”
“Pak ini kos?” tanyaku saat turun sambil memandangi deretan rumah yang sama persis bentuknya.
Bukan kos, tapi ini ruko apa rumah?
Masih bengong sendiri aku kaget merasa ada yang menarik ransel di tanganku.
“Masuk, Mbak.”
Kupandangi wanita berseragam hitam putih mengajakku masuk.
“Sebentar, Mbak. Ini rumah siapa, ya?” tanyaku sembari memegang lengannya. Menahan langkah, wanita ini tersenyum melihatku yang takut masuk.
“Ini rumah Pak Calvin.”
“Hah?! Kenapa aku dibawa ke rumahnya?”
Kuambil beberapa lagi buntalan kertas, membukanya lalu memilih mana yang akan kuambil. Garis sketsanya sangat bagus. Aku mau bisa buat begini. “Sekar!” Panggilan salah satu pekerja di pintu dapur membuatku menoleh. “Ya, Mbak!” Aku segera memisahkan sampah yang berantakan. “Kamu cepat ke atas, dipanggil Pak Calvin!” “I-iya, Mbak, sebentar.” Lekas kuselesaikan pekerjaan. Tak lupa membawa puluhan lembar yang sudah kupilih, kertas ini kutaruh di kamar sebelum mencuci tangan dan bersiap ke atas. . . Woww, ruang di atas sini sejuk, banyak embusan angin dari jendela lebar yang dibuka penuh. Ruangan lega dan terang. “Di sana, Mbak.” Aku mengangguk pada perempuan berpenampila
Sampai di kamar, kubuka amplop, puluhan lembar uang merah lengkap dengan kertas rincian gajiku hampir dua minggu kerja. Mengejutkan lagi saat lihat tulisan uang lembur. Padahal itu kan karena aku kerja lemot. Baiklah, aku terima aja, ini kesempatan belanja pakaian pantas pakai saat kerja besok. Selepas Ashar, aku langsung mengganti pakaian, memakai sweater dan rok lebar, tak lupa kerudung instan. Uang kumasukkan dalam kantung rok yang lumayan besar, terbiasa tak pakai dompet, karena memang aku belum punya benda itu, hee. “Mbak Atun, di mana ya tempat beli pakaian kantoran gitu, tapi yang harga sedang.” Aku menemui Mbak Atun yang lagi menyiram tanaman di sisi kolam renang. “Baju kantor? Buat siapa, Mbak Sekar?” Wanita berwajah bulat ini bertanya tapi tampak matanya membulat, menggodaku. “Buatku, Mbak. Pak Calvin minta aku kerja d
Kutepuk punggung lelaki berjaket hijau ini. “Pak! Kok, beda jalannya?” “Lho, Bapaknya Calvin yang penjahit, ‘kan, Mbak?” Bapaknya Calvin? Penjahit?! “Bukan, Pak. Calvin itu nama yang punya. Rumahnya besar, nggak sampai di sini, tempatnya masih di dalam kota, Pak.” Aku melihat sekitar, tempat ini agak sepi, di depan sana ada rumah padat sedikit kumuh, sepinya kayak di kota asalku. “Di depan rukonya ada gambar jas besar, tolong Bapak antar aku ke sana aja.” Ingat di tempat kerja sebelumnya yang pinggir jalan besar, mungkin area mudah dicari. Aku minta diantar ke sana saja. “Alamatnya jalan apa, Mbak?” Waduhh, aku juga nggak tau di sana alamatnya!
Kepala terasa memberat seperti dibebani batu besar di bagian belakangnya. Kucoba buka mata, meringis sambil menyentuh kepala yang berdenyut. “Sekar?” Ringisanku terhenti mendengar suara seseorang di dekat telinga. Kupaksa lagi membuka mata. Melihat bayang samar mirip orang yang kukenal di depan muka. Kulebarkan mata melihatnya lebih jelas. “Sekar?” “Yan …?” “Kamu sudah sadar?” Ditepuknya pelan pipiku. Kupandangi matanya yang lelah, dengan wajah sangat khawatir melihatku. “Aku kenapa, Yan?” “Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu sampai ada di sini?” Yandi mengambilkan air teh, membantuku duduk untuk minum. “Mana kerudungku?!” Aku kaget menyadari kepalaku tanpa penutup
Yandi sudah pulang, sementara aku tidur duduk di selasar masjid menunggu waktu salat Subuh. Usai itu juga masih di sini menunggu jam ruko buka. Uang 50 ribu tadi Yandi berikan untukku membeli sarapan.Pemberian Yandi tak bisa ditolak, karena aku membutuhkan biaya untuk ojol nanti, ini cuma mau tanya alamat kantor Pak Calvin sama Mbak Dwi.Pukul 08.00 aku jalan ke ruko. Bagai orang hilang, aku melangkah di kota asing ini sambil menenteng belanjaan yang kujadikan dalam satu tas plastik.Putus dari Yandi aku akan benar-benar sendiri sekarang. Semoga saja Pak Calvin masih mau pekerjakan aku.“Ya ampun, Sekar kamu itu ke mana aja. Aku hubungi balik kok gak bisa-bisa?”Mbak Dwi bilang semalam ada acara, hapenya silent di dalam tas sampai lowbatt.“T
Sepanjang jalan Pak Calvin diam, aku juga menutup mulut rapat, takut nanti kalau salah ucap akan bahaya. Dia bisa saja tiba-tiba mengubah keputusannya lagi. “Mandi, segera ke atas!” perintahnya lagi saat kami sudah sampai. “I-iya, Pak.” Aku akan turun tapi sebuah wadah makan didorongnya ke lenganku. Terpaku, sebelum mengambilnya kutatap kotak persegi warna biru laut itu dengan napas tertahan. “Nanti sarapan dulu, jangan sampai kamu pingsan. Bikin repot saja!” Mulutnya merepet sambil keluar mobil, menyisakanku menganga menatap punggungnya yang kaku, sampai dia masuk lewat pintu depan. Si Kulkas ini ternyata perhatian juga … tapi sayang sifatnya judes. Aku keluar mobil, berikan senyum kecil pada lelaki berbaju safari yang sekarang masuk ke belakang ke
Alhamdulillah, berjalannya waktu pekerjaan kuselesaikan sebaik mungkin. Mulai berlatih menggunakan digital. Di hari kelima aku merasa makin mencintai pekerjaan sekarang. Para pekerja di sini juga terbuka mau menerimaku apa adanya. Selain Lintang aku juga sudah akrab dengan karyawan lain. Makin aku tahu kalau kantor ini khusus tempat perencanaan, pembuatan pola, dan cutting, ada gudang bahan juga. Setelah proses di sini baru dikirim ke ruko tempat kerjaku sebelumnya untuk dijahit. Dari mereka aku tahu, orang tua Pak Calvin adalah pemilik perusahaan garmen besar, tapi lelaki lajang meski sering dijodohkan ibunya itu lebih memilih usaha sendiri, dibanding menggantikan posisi bapaknya. Usaha ini yang dirintis sejak dia masih kuliah. Hebat. Sukses mandiri dalam usia masih terbilang muda. Aku bermimpi bisa sepertinya. Mungkin sa
Denting bunyi pesan dari Pak Calvin membangunkanku. Kalimat pendek. ‘Bangun! Bangun!’ Lucu, kenapa si Kulkas sempatnya membangunkanku. Beranjak, ke belakang kuambil wudu. Setelahnya dipanggil yang lain untuk bergabung ke dapur, di mana kami ramai ngobrol ceria mengisi pagi. Di sela keseruan kami, Bik Yati tampak senyum-senyum, sesekali melirikku dengan mata menggoda, tapi tak mengungkit titipan Pak Calvin semalam. Sepertinya memang harus dirahasiakan. Aku juga takut dianggap buruk kalau yang lain tahu. Kemudian kami masing-masing bersiap kerja, aku pun langsung ke atas usai bersih-bersih kamar. Di ruangan, aku baru baru ingat lupa balas pesan Pak Calvin, tapi enggan lagi turun. Benda yang tak terlalu kubutuhkan itu terting