Kepala terasa memberat seperti dibebani batu besar di bagian belakangnya. Kucoba buka mata, meringis sambil menyentuh kepala yang berdenyut.
“Sekar?”
Ringisanku terhenti mendengar suara seseorang di dekat telinga. Kupaksa lagi membuka mata. Melihat bayang samar mirip orang yang kukenal di depan muka.
Kulebarkan mata melihatnya lebih jelas.
“Sekar?”
“Yan …?”
“Kamu sudah sadar?” Ditepuknya pelan pipiku.
Kupandangi matanya yang lelah, dengan wajah sangat khawatir melihatku. “Aku kenapa, Yan?”
“Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu sampai ada di sini?” Yandi mengambilkan air teh, membantuku duduk untuk minum.
“Mana kerudungku?!” Aku kaget menyadari kepalaku tanpa penutup<
Yandi sudah pulang, sementara aku tidur duduk di selasar masjid menunggu waktu salat Subuh. Usai itu juga masih di sini menunggu jam ruko buka. Uang 50 ribu tadi Yandi berikan untukku membeli sarapan.Pemberian Yandi tak bisa ditolak, karena aku membutuhkan biaya untuk ojol nanti, ini cuma mau tanya alamat kantor Pak Calvin sama Mbak Dwi.Pukul 08.00 aku jalan ke ruko. Bagai orang hilang, aku melangkah di kota asing ini sambil menenteng belanjaan yang kujadikan dalam satu tas plastik.Putus dari Yandi aku akan benar-benar sendiri sekarang. Semoga saja Pak Calvin masih mau pekerjakan aku.“Ya ampun, Sekar kamu itu ke mana aja. Aku hubungi balik kok gak bisa-bisa?”Mbak Dwi bilang semalam ada acara, hapenya silent di dalam tas sampai lowbatt.“T
Sepanjang jalan Pak Calvin diam, aku juga menutup mulut rapat, takut nanti kalau salah ucap akan bahaya. Dia bisa saja tiba-tiba mengubah keputusannya lagi. “Mandi, segera ke atas!” perintahnya lagi saat kami sudah sampai. “I-iya, Pak.” Aku akan turun tapi sebuah wadah makan didorongnya ke lenganku. Terpaku, sebelum mengambilnya kutatap kotak persegi warna biru laut itu dengan napas tertahan. “Nanti sarapan dulu, jangan sampai kamu pingsan. Bikin repot saja!” Mulutnya merepet sambil keluar mobil, menyisakanku menganga menatap punggungnya yang kaku, sampai dia masuk lewat pintu depan. Si Kulkas ini ternyata perhatian juga … tapi sayang sifatnya judes. Aku keluar mobil, berikan senyum kecil pada lelaki berbaju safari yang sekarang masuk ke belakang ke
Alhamdulillah, berjalannya waktu pekerjaan kuselesaikan sebaik mungkin. Mulai berlatih menggunakan digital. Di hari kelima aku merasa makin mencintai pekerjaan sekarang. Para pekerja di sini juga terbuka mau menerimaku apa adanya. Selain Lintang aku juga sudah akrab dengan karyawan lain. Makin aku tahu kalau kantor ini khusus tempat perencanaan, pembuatan pola, dan cutting, ada gudang bahan juga. Setelah proses di sini baru dikirim ke ruko tempat kerjaku sebelumnya untuk dijahit. Dari mereka aku tahu, orang tua Pak Calvin adalah pemilik perusahaan garmen besar, tapi lelaki lajang meski sering dijodohkan ibunya itu lebih memilih usaha sendiri, dibanding menggantikan posisi bapaknya. Usaha ini yang dirintis sejak dia masih kuliah. Hebat. Sukses mandiri dalam usia masih terbilang muda. Aku bermimpi bisa sepertinya. Mungkin sa
Denting bunyi pesan dari Pak Calvin membangunkanku. Kalimat pendek. ‘Bangun! Bangun!’ Lucu, kenapa si Kulkas sempatnya membangunkanku. Beranjak, ke belakang kuambil wudu. Setelahnya dipanggil yang lain untuk bergabung ke dapur, di mana kami ramai ngobrol ceria mengisi pagi. Di sela keseruan kami, Bik Yati tampak senyum-senyum, sesekali melirikku dengan mata menggoda, tapi tak mengungkit titipan Pak Calvin semalam. Sepertinya memang harus dirahasiakan. Aku juga takut dianggap buruk kalau yang lain tahu. Kemudian kami masing-masing bersiap kerja, aku pun langsung ke atas usai bersih-bersih kamar. Di ruangan, aku baru baru ingat lupa balas pesan Pak Calvin, tapi enggan lagi turun. Benda yang tak terlalu kubutuhkan itu terting
Waktu makin cepat bergulir. Sejak makan bersama malam itu sikap Pak Calvin kembali dingin, maksudku lebih dingin. Ya, memang sifatnya begitu, tapi kurasa ada yang beda. Seperti menghindar melihatku, bicara seperlunya, dan … kotak makan tak pernah diingatkan untuk ambil di mejanya, tapi dia taruh di dekat monitor. Saat ini, aku berdiri di dekat dinding kaca ruanganku, menatap kolam renang di bawah, tampak bayangan lampu pada air di dalam kolam. Sengaja kuhabiskan waktu berkutat dengan pekerjaan saja, daripada bengong di kamar sebelum ngantuk. Aku akan turun saat mata mulai berat, dan Pak Calvin tak melarang lembur selama aku masih mau kerja. Entahlah, beberapa lama ini terasa ada sesak menggumpal di dalam dada, aku tak tahu apa tapi ini terasa sakit. Nyeri menyayat. Aku tahu bukan karena mendapat tatapan sinis dari dua saudara bos yang baru kukenal, tapi ada hal lain yang belum kutemukan jawabn
Berdeham, kutarik tangan, minum sedikit coba menguasai keadaan. Yandi tampak tak memaksa, dia menggigit burger’nya, aku pun melakukan sama. Kami menghabiskan makanan asing di lidahku itu dalam suasana mendadak kaku. Minum, aku mulai membuka suara menanyakan keadaan mamanya. Yandi bilang Tante Mel sudah operasi dan sekarang keadaannya membaik. “Mama kurusan, tapi ada yang bikin aku senang.” “Apa itu?” “Karena dilarang banyak berpikir ato tegang gitu, sekarang Mama lebih tenang. Kalau negur tuh lembut banget. Kayak Mama terlahir baru, beda jauh sama yang kemarin-kemarin.” Mata Yandi berbinar. “Alhamdulillah kalo gitu, aku ikut senang, Yan.” “Mama sudah pulang, Papa bilang bisa kerja tenang kalau ada M
“Oh, ya? Belum tau.” Kuseruput tanpa henti susu soya dingin sampai bunyi, karena isinya langsung kosong. Aku kembali ke lemari pendingin kaca, memngambil sebotol lagi. “Habis apa? Kok kehausan gitu?” Lintang menatapku curiga. “Tadi, naik-turun tangga, lumayan ‘kan?” dustaku sembari memaksakan senyum. “Sekar ...?” “Humm.” “Jadi kalian, maksudku kamu sama Pak Calvin beneran nggak ada apa-apa, ya?” Lintang mengaduk-aduk es teh di gelasnya dengan mulut manyun. “Kalau gitu aku dong yang kalah. Hari libur depan kita belanja? Aku traktir, tapi limit 300 ribu aja, ya. Aku lagi nabung buat married juga.” Aku menggeleng sambil tertawa. “Nggak usah, Lin. Kan aku nggak ada bilang setuju pake taruhan gitu.” “Aku udah janji, Sekar. Janj
Malam itu berlalu dengan tak satu pun pertanyaan yang berhasil kulontar, semua tersimpan hanya di lubuk hati. Tahu si Kulkas pulang dengan Grab membuatku menduga dia tak ingin orang lain tahu keberadaannya di sini. Ya, biarkan saja tanya-tanya itu mengendap, menjadi misteri, tanpa harus memaksa keadaan. Aku dan dia itu jauh berbeda, bagai singkong dengan keju. Eh, kok diumpamakan jadi makanan, sih? Plak! Waktu yang ditunggu-tunggu. Mengenakan stelan warna terang kumulai hari ini penuh semangat. Pak Madin yang menjemputku, sampai di ruko berlantai dua itu kujumpai keluarga Pak Calvin dalam formasi lengkap, Chacha—calon istrinya juga ada. Sampai di sini aku segera mengerti, kalau diri hanya sebagai pekerja. Kecewa? Sedikit. Namun, aku harus tahu diri untuk tak terbang atas segala perhatian si Kulkas, karena bisa saja diri langsung jatuh, remuk tak berbentuk. Itu
“Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.
Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar
"Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se
Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y
Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u
“Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G
“Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se
Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan
“Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber