Malam itu berlalu dengan tak satu pun pertanyaan yang berhasil kulontar, semua tersimpan hanya di lubuk hati. Tahu si Kulkas pulang dengan Grab membuatku menduga dia tak ingin orang lain tahu keberadaannya di sini. Ya, biarkan saja tanya-tanya itu mengendap, menjadi misteri, tanpa harus memaksa keadaan. Aku dan dia itu jauh berbeda, bagai singkong dengan keju. Eh, kok diumpamakan jadi makanan, sih? Plak!
Waktu yang ditunggu-tunggu. Mengenakan stelan warna terang kumulai hari ini penuh semangat. Pak Madin yang menjemputku, sampai di ruko berlantai dua itu kujumpai keluarga Pak Calvin dalam formasi lengkap, Chacha—calon istrinya juga ada. Sampai di sini aku segera mengerti, kalau diri hanya sebagai pekerja.
Kecewa?
Sedikit. Namun, aku harus tahu diri untuk tak terbang atas segala perhatian si Kulkas, karena bisa saja diri langsung jatuh, remuk tak berbentuk. Itu
“Nah, kaget kan? Kamu pasti belum dengar berita terbaru, itulah juga tujuanku ke sini.” “Tau darimana batal? Bukannya mereka udah sewa gedung? Rancangan undangan itu?” Wajah Lintang tampak santai tuturkan apa yang dia tahu. “Kemarin, aku nggak sengaja nguping. Udah di depan pintu mau antar laporan, eh pas maminya marah perjodohan keempat ini kembali gatot, alias gagal total!” Aku berusaha bersikap biasa, meski rasa terkejut menguasai, tapi kemudian ada lega bersemai di salah satu sudut hati. “Kamu tau apa jawaban Pak Calvin saat maminya marah?” Wajah Lintang super antusias. Aku menggeleng. “Suaranya tegas, Sekar. Bilang gini, ‘Coba Mami bayangkan, kami nikah tapi untuk nyentuhnya aja Calv gak mau, gak ada rasa. Ini gak bisa d
Pak Calvin suka padaku …? Rasanya tak percaya. Sepeninggalnya, perlahan aku duduk. Semua keluhan mendadak tak membekas. Ajaib, berkat pernyataan cinta itu aku langsung segar bugar. “Sudah bangun?” Terkejut aku lihat dia kembali masuk, bawa cangkir yang mengepul asap dari permukaannya. “I-iya, Pak. Pusingnya sudah hilang, kayaknya tadi cuma masuk angin,” ujarku gugup. Dia terlihat ragu duduk. Terdiam. “Masih panas, Pak!” Batal minum, Pak Calvin melirikku, tampak salah tingkah. “Itu asapnya masih banyak, tunggu dingin dulu,” ujarku membuatnya menaruh lagi cangkir di meja. “Kamu sudah lama bangun?” tanyanya kaku tapi terdengar sangat berhati-hati. Belum kujawab seorang karyawati mengetuk.
Ya Tuhan, ingin sekali kutanyakan lagi bagaimana perasaannya. Namun, aku takut semua akan berubah. “Baik. Terima kasih, Pak. Semoga Bapak tidak kecewa.” Lihat, senyumnya langsung terkembang. Kubalas dengan senyum lebar yang sama, meski mata ini berembun. Terasa hangat terus menjalar dalam hati. Senyum Pak Calvin tampak lepas. “Fight! Kamu pasti bisa!” Dikepalnya tangan memberiku semangat. Kubalas ikuti gayanya, sampai kemudian kami tergelak. Ah, akan kuingat, ini pertama kali aku dan si Kulkas yang sudah nggak dingin ini tertawa bersama. * Mobil hitam bergerak mengambil parkir di halaman Distro Calvin’s, aku yang akan keluar mencari obat anti mabok untuk perjalanan besok urung bergerak, merasa kendaraan itu sangat ku
Done! Tujuh desain yang udah aku scanning dengan applikasi Photoshop berhasil dikirim ke email Pak Calvin, di minggu ketiga di sini aku bisa rutin selesaikan sejumlah sama. Di sela adaptasi dengan teman baru dan kegiatan pembelajaran yang mulai padat. Meski tak diminta bos, aku merasa puas saja bisa lakukan ini. Seperti sebuah tanggung jawab yang hatiku tuntut. Kuliah juga bekerja dalam jarak jauh. “Sudah, Dew?” “Sudah, makasih, ya, Kay. Minggu depan aku nebeng lagi.” “Santuy, kita ‘kan temen, jan segan sama gue.” Aku tersenyum melihat ketulusan sahabat baruku ini. Ponselku bunyi. “Bentar, ya, Kay.” “Hem, si Cool gak tahan juga enggak nelpon elo,” goda cewe
“Pak ini nomor baru saya.” “Ganti nomor? Kenapa?” “Nggak apa-apa, Pak. Mau nomor baru aja.” “Oh.” “Bapak … nggak nanya lagi?” “Nanya? Nanya apa?” Aih, ngomong sama kulkas kalau bukan masalah kerjaan nggak bakal nyambung! “Eh, enggak kok, Pak. Kalo aja Bapak mau nanya saya sudah makan apa belum.” Kutahan senyum sambil memegang pipi yang memanas. Biarin, dia juga nggak lihat. “Jam segini kamu belum makan?” Tuh, kan dia kaget. “Menurut Bapak?” Dehaman kecil tandanya tak mau jawab. Aku terdiam sambil membulatkan mata, menunggu. Hening di ujung telepon.
“P-Pak … saya-kami-“ Aku tergagap, kalimat pembelaan diri hanya tertahan di tenggorokkan. “Masuk, Pak. Nggak enak kalau cuma berdiri di depan pintu.” Kupelototi Yandi yang menunjuk sofa di ruang tamu untuk Pak Calvin. “Yan, kenapa kamu jadi nggak pake baju? Sana, cepet!” Gemerutuk gigiku mendesis pada Yandi yang kelewat cuek, mendorong bahunya untuk segera bergerak. “Oh.” Dia malah pasang wajah cengengesan. “Bajuku basah, tadi habis kita-“ Menggeram, kudorong bahunya lebih kuat. Yandi seperti sengaja membuat Pak Calvin mengangkat alis, matanya tampak penuh tanda tanya besar. Gemasku bertambah dengar Yandi bersiul ke kamar. Apa sih maunya anak itu?! Kepala dan seluruh kulit mukaku terasa terbakar.
Setelah mengabarkan sudah keluar kampus aku dijemput taksi pesanan Pak Calvin, mengantar ke tempat dia sudah menunggu. Tempat asing yang belum pernah kudatangi. Gedung bertingkat tinggi, dan aku sedikit ragu masuk. “Sudah sampai?” Kuhubungi Pak Calvin. “Sudah, Pak ini di bawah.” “Tunggu di situ.” Tak sampai menunggu menit Pak Calvin menghampiri, lalu mengajakku naik lift. Aku mau tanya, apa Pak Calvin nginap di gedung ini, tapi akhirnya memilih tutup mulut. Suasana jadi canggung, saat cuma berdua di ruang sempit ini. Angka 21 yang terlihat menunjukkan lantai yang akan kami tuju. Aku menahan napas. Masuk ruangan serba cream, disambut ruang tamu, lalu tempat menonton televisi berlaya
“… dua … satu … buka mata!” Refleks kuikuti. Pandangan langsung jatuh pada satu titik, di depan pintu itu …?! I … Ibu …?! Mulutku sontak terbuka, mata tak berkedip melihat wanita yang empat tahunan ini tak kutemui. Tubuh Ibu juga seperti terpaku. Matanya membulat menatapku saksama. Lalu memindaiku dari atas ke bawah seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seperti tersentak kesadaranku kembali, saat Yandi menyentuh pundak. “Sekar … ibumu tinggal sama aku, sengaja menunggu kabarmu balik, sebenarnya mau kemarin kami ke sini, tapi baru siap sekarang bertemu,” jelasnya tenang. Dia mengarahkanku maju, mendekati perempuan yang tampak jauh lebih kurus dari saat terakhir kutemui. Jarak dekat, aku dan Ibu saling bersitatap.
“Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.
Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar
"Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se
Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y
Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u
“Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G
“Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se
Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan
“Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber