Ya Tuhan, ingin sekali kutanyakan lagi bagaimana perasaannya. Namun, aku takut semua akan berubah.
“Baik. Terima kasih, Pak. Semoga Bapak tidak kecewa.”
Lihat, senyumnya langsung terkembang. Kubalas dengan senyum lebar yang sama, meski mata ini berembun. Terasa hangat terus menjalar dalam hati.
Senyum Pak Calvin tampak lepas.
“Fight! Kamu pasti bisa!” Dikepalnya tangan memberiku semangat. Kubalas ikuti gayanya, sampai kemudian kami tergelak.
Ah, akan kuingat, ini pertama kali aku dan si Kulkas yang sudah nggak dingin ini tertawa bersama.
*
Mobil hitam bergerak mengambil parkir di halaman Distro Calvin’s, aku yang akan keluar mencari obat anti mabok untuk perjalanan besok urung bergerak, merasa kendaraan itu sangat ku
Done! Tujuh desain yang udah aku scanning dengan applikasi Photoshop berhasil dikirim ke email Pak Calvin, di minggu ketiga di sini aku bisa rutin selesaikan sejumlah sama. Di sela adaptasi dengan teman baru dan kegiatan pembelajaran yang mulai padat. Meski tak diminta bos, aku merasa puas saja bisa lakukan ini. Seperti sebuah tanggung jawab yang hatiku tuntut. Kuliah juga bekerja dalam jarak jauh. “Sudah, Dew?” “Sudah, makasih, ya, Kay. Minggu depan aku nebeng lagi.” “Santuy, kita ‘kan temen, jan segan sama gue.” Aku tersenyum melihat ketulusan sahabat baruku ini. Ponselku bunyi. “Bentar, ya, Kay.” “Hem, si Cool gak tahan juga enggak nelpon elo,” goda cewe
“Pak ini nomor baru saya.” “Ganti nomor? Kenapa?” “Nggak apa-apa, Pak. Mau nomor baru aja.” “Oh.” “Bapak … nggak nanya lagi?” “Nanya? Nanya apa?” Aih, ngomong sama kulkas kalau bukan masalah kerjaan nggak bakal nyambung! “Eh, enggak kok, Pak. Kalo aja Bapak mau nanya saya sudah makan apa belum.” Kutahan senyum sambil memegang pipi yang memanas. Biarin, dia juga nggak lihat. “Jam segini kamu belum makan?” Tuh, kan dia kaget. “Menurut Bapak?” Dehaman kecil tandanya tak mau jawab. Aku terdiam sambil membulatkan mata, menunggu. Hening di ujung telepon.
“P-Pak … saya-kami-“ Aku tergagap, kalimat pembelaan diri hanya tertahan di tenggorokkan. “Masuk, Pak. Nggak enak kalau cuma berdiri di depan pintu.” Kupelototi Yandi yang menunjuk sofa di ruang tamu untuk Pak Calvin. “Yan, kenapa kamu jadi nggak pake baju? Sana, cepet!” Gemerutuk gigiku mendesis pada Yandi yang kelewat cuek, mendorong bahunya untuk segera bergerak. “Oh.” Dia malah pasang wajah cengengesan. “Bajuku basah, tadi habis kita-“ Menggeram, kudorong bahunya lebih kuat. Yandi seperti sengaja membuat Pak Calvin mengangkat alis, matanya tampak penuh tanda tanya besar. Gemasku bertambah dengar Yandi bersiul ke kamar. Apa sih maunya anak itu?! Kepala dan seluruh kulit mukaku terasa terbakar.
Setelah mengabarkan sudah keluar kampus aku dijemput taksi pesanan Pak Calvin, mengantar ke tempat dia sudah menunggu. Tempat asing yang belum pernah kudatangi. Gedung bertingkat tinggi, dan aku sedikit ragu masuk. “Sudah sampai?” Kuhubungi Pak Calvin. “Sudah, Pak ini di bawah.” “Tunggu di situ.” Tak sampai menunggu menit Pak Calvin menghampiri, lalu mengajakku naik lift. Aku mau tanya, apa Pak Calvin nginap di gedung ini, tapi akhirnya memilih tutup mulut. Suasana jadi canggung, saat cuma berdua di ruang sempit ini. Angka 21 yang terlihat menunjukkan lantai yang akan kami tuju. Aku menahan napas. Masuk ruangan serba cream, disambut ruang tamu, lalu tempat menonton televisi berlaya
“… dua … satu … buka mata!” Refleks kuikuti. Pandangan langsung jatuh pada satu titik, di depan pintu itu …?! I … Ibu …?! Mulutku sontak terbuka, mata tak berkedip melihat wanita yang empat tahunan ini tak kutemui. Tubuh Ibu juga seperti terpaku. Matanya membulat menatapku saksama. Lalu memindaiku dari atas ke bawah seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seperti tersentak kesadaranku kembali, saat Yandi menyentuh pundak. “Sekar … ibumu tinggal sama aku, sengaja menunggu kabarmu balik, sebenarnya mau kemarin kami ke sini, tapi baru siap sekarang bertemu,” jelasnya tenang. Dia mengarahkanku maju, mendekati perempuan yang tampak jauh lebih kurus dari saat terakhir kutemui. Jarak dekat, aku dan Ibu saling bersitatap.
“Kenapa harus Ibu tahan? Katakan saja, Bu. Sudah lama aku mau tahu alasannya.” Tak sabar melihatnya diam, apalagi mata itu kemudian nyalang melihat ke sini. “Kamu benar mau tahu?” Ibu menggeram. Tubuhku makin gemetar, ini terlalu mendadak. Aku takut tak siap mendengar. Namun, mungkin ini juga kesempatan mengetahui semua. Aku mengangguk. Dari ekor mata tampak Yandi pun terpaku, seakan dia juga ingin tahu. “Menikahlah dengan Yandi. Kamu akan segera tahu jawabannya!” Dadaku menyesak, dengan lidah kelu. Kembali memberi teka-teki, ibu pergi tanpa menoleh lagi. Melihat Ibu meninggalkan ruangan, Yandi mau mengejar, tapi menahan diri sejenak. Dia mundur mendekati mejaku. “Sekar. Jangan biarkan kesombongan m
“Yan, ini-“ “Nanti kujelaskan,” desisnya sembari merangkul pundakku. “Hei, Sekar. Pa kabar?” Riri setengah berlari menghampiri kami, menempelkan pipi kiri kanan. “Ih, tambah cantik aja, kalau kita ketemu di jalan bisa-bisa nggak kenal nih.” Tersenyum kecil kujawab kaku. “Masih sama aja, kok, Kak.” Perempuan berdagu lancip ini melihatku saksama. “Kak Riri juga tambah cantik ‘kan, Sekar?” Melihatku terdiam, Yandi sedikit menepuk punggungku. “Kita sudah punya ponakan cakep,” katanya di dekat telingaku. “Oh, oya …?” Meski tenggorokkan masih kering efek terkejut ini, segera ku kuasai keadaan. Aku nggak boleh bersikap kekanakkan, walaupun sangat ingin histeris memukul Yandi, protes kenapa dia lakukan ini. “Aku sudah jad
Kuusap air mata dengan jari gemetar. Hidupku sudah terlalu rumit, mungkin dengan melihat lelaki yang sudah lama kurindukan itu ada lega yang kudapat. Yandi membuka pintu. Beberapa orang masuk membuat suasana kamar jadi ribut. “Sekar kenapa?” “Sekar ….” “Apa Sekar terlalu kaget sampe begini, Yan?” Suara-suara tanya di antara mereka. Ada yang memberiku minum, mengusap punggung, juga telapak tangan sambil memintaku tenang. “Kenapa Sekar belum ganti baju juga? Penghulu sudah nunggu.” “Tapi bapaknya Sekar belum datang,” sahut yang lain. “Lanjutkan saja. Yandi bisa langsung ijab. Sekar biar tetap di kamar.” Ada suara Ibu di ruangan ini. “Tetap nunggu bapaknya sebagai wali,