Setelah mengabarkan sudah keluar kampus aku dijemput taksi pesanan Pak Calvin, mengantar ke tempat dia sudah menunggu. Tempat asing yang belum pernah kudatangi.
Gedung bertingkat tinggi, dan aku sedikit ragu masuk.
“Sudah sampai?”
Kuhubungi Pak Calvin.
“Sudah, Pak ini di bawah.”
“Tunggu di situ.”
Tak sampai menunggu menit Pak Calvin menghampiri, lalu mengajakku naik lift. Aku mau tanya, apa Pak Calvin nginap di gedung ini, tapi akhirnya memilih tutup mulut.
Suasana jadi canggung, saat cuma berdua di ruang sempit ini. Angka 21 yang terlihat menunjukkan lantai yang akan kami tuju. Aku menahan napas.
Masuk ruangan serba cream, disambut ruang tamu, lalu tempat menonton televisi berlaya
“… dua … satu … buka mata!” Refleks kuikuti. Pandangan langsung jatuh pada satu titik, di depan pintu itu …?! I … Ibu …?! Mulutku sontak terbuka, mata tak berkedip melihat wanita yang empat tahunan ini tak kutemui. Tubuh Ibu juga seperti terpaku. Matanya membulat menatapku saksama. Lalu memindaiku dari atas ke bawah seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seperti tersentak kesadaranku kembali, saat Yandi menyentuh pundak. “Sekar … ibumu tinggal sama aku, sengaja menunggu kabarmu balik, sebenarnya mau kemarin kami ke sini, tapi baru siap sekarang bertemu,” jelasnya tenang. Dia mengarahkanku maju, mendekati perempuan yang tampak jauh lebih kurus dari saat terakhir kutemui. Jarak dekat, aku dan Ibu saling bersitatap.
“Kenapa harus Ibu tahan? Katakan saja, Bu. Sudah lama aku mau tahu alasannya.” Tak sabar melihatnya diam, apalagi mata itu kemudian nyalang melihat ke sini. “Kamu benar mau tahu?” Ibu menggeram. Tubuhku makin gemetar, ini terlalu mendadak. Aku takut tak siap mendengar. Namun, mungkin ini juga kesempatan mengetahui semua. Aku mengangguk. Dari ekor mata tampak Yandi pun terpaku, seakan dia juga ingin tahu. “Menikahlah dengan Yandi. Kamu akan segera tahu jawabannya!” Dadaku menyesak, dengan lidah kelu. Kembali memberi teka-teki, ibu pergi tanpa menoleh lagi. Melihat Ibu meninggalkan ruangan, Yandi mau mengejar, tapi menahan diri sejenak. Dia mundur mendekati mejaku. “Sekar. Jangan biarkan kesombongan m
“Yan, ini-“ “Nanti kujelaskan,” desisnya sembari merangkul pundakku. “Hei, Sekar. Pa kabar?” Riri setengah berlari menghampiri kami, menempelkan pipi kiri kanan. “Ih, tambah cantik aja, kalau kita ketemu di jalan bisa-bisa nggak kenal nih.” Tersenyum kecil kujawab kaku. “Masih sama aja, kok, Kak.” Perempuan berdagu lancip ini melihatku saksama. “Kak Riri juga tambah cantik ‘kan, Sekar?” Melihatku terdiam, Yandi sedikit menepuk punggungku. “Kita sudah punya ponakan cakep,” katanya di dekat telingaku. “Oh, oya …?” Meski tenggorokkan masih kering efek terkejut ini, segera ku kuasai keadaan. Aku nggak boleh bersikap kekanakkan, walaupun sangat ingin histeris memukul Yandi, protes kenapa dia lakukan ini. “Aku sudah jad
Kuusap air mata dengan jari gemetar. Hidupku sudah terlalu rumit, mungkin dengan melihat lelaki yang sudah lama kurindukan itu ada lega yang kudapat. Yandi membuka pintu. Beberapa orang masuk membuat suasana kamar jadi ribut. “Sekar kenapa?” “Sekar ….” “Apa Sekar terlalu kaget sampe begini, Yan?” Suara-suara tanya di antara mereka. Ada yang memberiku minum, mengusap punggung, juga telapak tangan sambil memintaku tenang. “Kenapa Sekar belum ganti baju juga? Penghulu sudah nunggu.” “Tapi bapaknya Sekar belum datang,” sahut yang lain. “Lanjutkan saja. Yandi bisa langsung ijab. Sekar biar tetap di kamar.” Ada suara Ibu di ruangan ini. “Tetap nunggu bapaknya sebagai wali,
Pak Calvin …? Sepeninggal Nenek langkahku perlahan mendekati meja itu. Tidak salah lagi. Kututup mulut dengan telapak tangan, menahan rasa terkejut yang masih kuat.Memandang lekat kertas posisi tersandar pada kotak tisu, tanpa berani menyentuhnya. Itu benar aku …! Tadi memang dari jauh sudah tampak itu aku, dan … memang benar adanya. Perempuan berJilbab mengenakan outfit warna kuning pisang tengah tertawa lebar, kepalanya menengadah ke langit, tangan terentang melebar di sisi badan, seperti tengah euforia sebuah keberhasilan. Berhadapan dengan lelaki berkemeja putih yang tatapannya lekat pada wajah si gadis, bibir lelaki itu menyunggingkan senyum tulus. Itu aku dan Pak Calvin …. Potret yang tampak hidup, seperti foto diambil
Cepat kutarik badan. “Aduh … Nek. Maaf, Nek. Sekar sampai nangis gini.” Segera kuusap muka dengan telapak tangan. “Sudah lega?” tanyanya penuh kelembutan memberiku sekotak tisu milik Pak Calvin. Hati terharu, hampir menangis lagi lihat kebaikan Nenek. Di pundaknya tadi memang kulepas semua beban yang terkumpul lama. “Sudah, Nek,” ujarku sambil menarik lengkung senyum. “Mau lanjut nangis masih boleh,” godanya dengan bibir ikut tersenyum lebar. Aku cepat menggeleng. Seperti memiliki hubungan darah, kami terasa sangat akrab. Nenek lanjut ceritakan semua tentang sifat Pak Calvin, masa kecilnya, kebiasaan buruk, dan keistimewaan cucu lelaki satu-satunya itu. Aku larut mendengarkan saksama. Kagum akan ketegaran keluarga ini dalam menghad
“Semua undangan sudah dikirim semua ‘kan?” “Sudah, Bu.” “Dicek sekali lagi, ya.” “Iya, Bu, ini saya coba cek ulang.” Pengecekkan persiapan harus matang, aku beralih pada karyawan lain yang masing-masing diberi tanggung jawab sesuai bagiannya. Gaun, jas, aksesori, kondisi kesehatan para model dari managemen yang bekerjasama, sampai persiapan dekorasi panggung di hari ini sudah siap semua. Kutarik napas lega. Lusa hari yang ditunggu, hatiku makin riuh bergemuruh. Demam panggung bercampur cemas acara tak sesuai harapan membuatku tak berselera makan. Bagun tadi pagi tubuh sedikit meriang, aku minta terpaksa suntik vitamin ke dokter langganan. Hari H acara Calvin’s aku harus sehat. “Sibuk bangaet. Nggak
Hari terlalui semakin tegar. Senyumku bisa terkulas lepas tanpa siapa pun di sisi. Aku merasa merdeka. Bisa menentukan langkah tanpa terbebani. Perbaiki hubungan dengan Ibu belum berhasil. Nomor kontak Ibu sudah tidak aktif, Yandi pun katanya sudah hilang kontak semingguan ini. Kucoba berpikir positif saja. Hati ini masih katakan Ibu tidak sepenuhnya membenciku. Tetap rutin melaporkan semua kegiatan perusahaan Calvin’s. Foto kegiatan, foto ruangannya, sampai selfie-ku di garmen papinya—saat menghadiri undangan melihat proses pembuatan massal desain terbaruku, dress muslim, ini atas kepercayaan mereka yang membebaskan aku mendesain. Aku juga tengah merencanakan perbanyak desain Coat Blazer untuk pesanan ekspor. Ini awalnya gara-gara kerjakan pesanan Kay. Dia sekarang di London, setelah menikah ikut suaminya yang bekerja di negara Britania Raya. Berhubung si Kay