Pak Calvin …?
Sepeninggal Nenek langkahku perlahan mendekati meja itu.
Tidak salah lagi. Kututup mulut dengan telapak tangan, menahan rasa terkejut yang masih kuat. Memandang lekat kertas posisi tersandar pada kotak tisu, tanpa berani menyentuhnya.
Itu benar aku …!
Tadi memang dari jauh sudah tampak itu aku, dan … memang benar adanya. Perempuan berJilbab mengenakan outfit warna kuning pisang tengah tertawa lebar, kepalanya menengadah ke langit, tangan terentang melebar di sisi badan, seperti tengah euforia sebuah keberhasilan. Berhadapan dengan lelaki berkemeja putih yang tatapannya lekat pada wajah si gadis, bibir lelaki itu menyunggingkan senyum tulus.
Itu aku dan Pak Calvin ….
Potret yang tampak hidup, seperti foto diambil
Cepat kutarik badan. “Aduh … Nek. Maaf, Nek. Sekar sampai nangis gini.” Segera kuusap muka dengan telapak tangan. “Sudah lega?” tanyanya penuh kelembutan memberiku sekotak tisu milik Pak Calvin. Hati terharu, hampir menangis lagi lihat kebaikan Nenek. Di pundaknya tadi memang kulepas semua beban yang terkumpul lama. “Sudah, Nek,” ujarku sambil menarik lengkung senyum. “Mau lanjut nangis masih boleh,” godanya dengan bibir ikut tersenyum lebar. Aku cepat menggeleng. Seperti memiliki hubungan darah, kami terasa sangat akrab. Nenek lanjut ceritakan semua tentang sifat Pak Calvin, masa kecilnya, kebiasaan buruk, dan keistimewaan cucu lelaki satu-satunya itu. Aku larut mendengarkan saksama. Kagum akan ketegaran keluarga ini dalam menghad
“Semua undangan sudah dikirim semua ‘kan?” “Sudah, Bu.” “Dicek sekali lagi, ya.” “Iya, Bu, ini saya coba cek ulang.” Pengecekkan persiapan harus matang, aku beralih pada karyawan lain yang masing-masing diberi tanggung jawab sesuai bagiannya. Gaun, jas, aksesori, kondisi kesehatan para model dari managemen yang bekerjasama, sampai persiapan dekorasi panggung di hari ini sudah siap semua. Kutarik napas lega. Lusa hari yang ditunggu, hatiku makin riuh bergemuruh. Demam panggung bercampur cemas acara tak sesuai harapan membuatku tak berselera makan. Bagun tadi pagi tubuh sedikit meriang, aku minta terpaksa suntik vitamin ke dokter langganan. Hari H acara Calvin’s aku harus sehat. “Sibuk bangaet. Nggak
Hari terlalui semakin tegar. Senyumku bisa terkulas lepas tanpa siapa pun di sisi. Aku merasa merdeka. Bisa menentukan langkah tanpa terbebani. Perbaiki hubungan dengan Ibu belum berhasil. Nomor kontak Ibu sudah tidak aktif, Yandi pun katanya sudah hilang kontak semingguan ini. Kucoba berpikir positif saja. Hati ini masih katakan Ibu tidak sepenuhnya membenciku. Tetap rutin melaporkan semua kegiatan perusahaan Calvin’s. Foto kegiatan, foto ruangannya, sampai selfie-ku di garmen papinya—saat menghadiri undangan melihat proses pembuatan massal desain terbaruku, dress muslim, ini atas kepercayaan mereka yang membebaskan aku mendesain. Aku juga tengah merencanakan perbanyak desain Coat Blazer untuk pesanan ekspor. Ini awalnya gara-gara kerjakan pesanan Kay. Dia sekarang di London, setelah menikah ikut suaminya yang bekerja di negara Britania Raya. Berhubung si Kay
“Aku nggak yakin kalau Pak Calvin pergi lama buat liburan aja, menurut kamu gimana, Sekar? Masa ninggalin kantor sebegini lama, aneh, ya kan?” Lintang melanjutkan bahas Pak Calvin yang lama menghilang dengan alasan liburan. Dia sudah kuajak duduk di ruangan orang yang tengah kami bahas itu. Dia bicara, sementara otakku masih terbayang cantiknya wanita dalam status Bu Rachel. Sebagai orang dari kalangan atas tak akan sulit untuk Pak Calvin mendapat perempuan sempurna. Tinggal pilih saja mana hati suka. Sedangkan aku siapa? Bod*h sekali ingin menyimpan harap! “Sekar?” Lintang heran melihatku menepuk dahi sendiri. “Eh, kenapa?” Tergagap, cepat coba kusambung apa yang tengah dibahasnya tadi. “Ng, iya sih, aku juga mikir gitu.” Beranjak, kuambilkan air minum kemasan un
Gerak jariku jadi cepat, terbawa perasaan kuat. Terselesaikan cepat, sampai ternganga sendiri kulihat hasilnya. Sketsa blouse A line dengan bawahan rok span panjang. Ini desain tercepat yang kubuat. Kekuatan tiba-tiba rindu Ibu ajaib menggerakkannya. Kembali jari mengarsir motif batik pada bagian rok, sementara atasan akan tetap putih polos. Selesai. Ah, pasti Ibu terlihat beda pakai ini. Pernah kembali menghubunginya, tapi tak berbalas. Kuputuskan kali ini kirim pesan, lagi. ‘Ibu jaga kesehatan. Sekar rindu Ibu.’ Pesan singkat yang kukirim dari kata hati terdalam. Hangat dan lega menjalar di dada sesudah menyampaikannya. Meski tak dibalas, paling tidak perasaanku sudah sampai pada
“Matamu, sikapmu menunjukkan itu sejak awal. Apa karena dia lebih kaya? Aku pun bisa lebih kaya, kasih aja waktu berapa lama?” Kali ini kalimatnya terasa tajam menyinggung. “Yan, aku sibuk. Nggak ada waktu bahas itu.” Kuambil map dari dalam laci. Berpura sibuk membaca tulisan yang hanya selewat mata. “Hebat. Setelah punya semua kamu lupa aku, Sekar. Kamu mudah berpaling cuma karena-“ “Cukup, Yan. Tolong jangan buat aku makin kecewa sama kamu.” “Kecewa? Kecewa apa? Berhak apa orang yang dicintai kecewa? Bukannya kamu harus bersyukur ada orang yang mau terima kamu apa adanya!” Menggigil kembali seluruh tubuh. Ujung map kupegang kuat. “Aku nggak peduli itu. Yang kukecewakan adalah apa yang kamu lakuin ke Salma. Kamu sangat kekanakkan!”
“Bu Sekar, ada tamu sudah nunggu di ruangan.” “Tamu? Siapa?” “Keluarga Pak Calvin, Bu.” “Ohya, makasih.” Kupercepat langkah ke ruangan. Mengetuk sekali, kudorong pintu seraya melihat siapa tamu yang dimaksud. Seorang perempuan berambut sepinggang, mengenakan kemeja hijau stabilo dan bawahan skirt hitam di atas lutut. Dia langsung berdiri, senyumnya lebar semringah menyambutku. “Hi, kamhu pasthi Sekhar. Calvin told me a lot about you.” Logatnya kental bahasa asing, kalimatnya terdengar unik. Dengan ramah juga dia sedikit membungkuk untuk menempelkan pipi kiri kanan ke pipiku. “Hai, iya, saya Sekar.” Tak bisa bohong. Aku terpana melihat penampilan gadis tinggi langsing yang membua
Ibu … Sekar pasti pulang! Sesampai di distro aku mau langsung ke atas menyimpan belanjaan, bermaksud akan telepon Pak Calvin, minta izin cuti. “Bu Sekar ditunggu Bapak di ruangan.” Seorang karyawan menghadang langkahku. “Iya, sebentar mau taruh ini-“ Kalimatku terputus sendiri. Bapak? Dia bilang Bapak …? Belanjaan kugantung di paku dinding di sisi tangga, melangkah cepat ke ruangan. Di dekat pintu sedikit kuperlambat langkah. Apa Pak Surya? Iya, mereka memanggilnya Bapak. Kutarik napas sebelum mendorong pintu. Lelaki berambut tipis dengan kulit seputih Pak Calvin itu berkarakter mirip anaknya, irit bicara, d