“Aku nggak yakin kalau Pak Calvin pergi lama buat liburan aja, menurut kamu gimana, Sekar? Masa ninggalin kantor sebegini lama, aneh, ya kan?”
Lintang melanjutkan bahas Pak Calvin yang lama menghilang dengan alasan liburan. Dia sudah kuajak duduk di ruangan orang yang tengah kami bahas itu.
Dia bicara, sementara otakku masih terbayang cantiknya wanita dalam status Bu Rachel. Sebagai orang dari kalangan atas tak akan sulit untuk Pak Calvin mendapat perempuan sempurna. Tinggal pilih saja mana hati suka. Sedangkan aku siapa?
Bod*h sekali ingin menyimpan harap!
“Sekar?” Lintang heran melihatku menepuk dahi sendiri.
“Eh, kenapa?” Tergagap, cepat coba kusambung apa yang tengah dibahasnya tadi. “Ng, iya sih, aku juga mikir gitu.”
Beranjak, kuambilkan air minum kemasan un
Gerak jariku jadi cepat, terbawa perasaan kuat. Terselesaikan cepat, sampai ternganga sendiri kulihat hasilnya. Sketsa blouse A line dengan bawahan rok span panjang. Ini desain tercepat yang kubuat. Kekuatan tiba-tiba rindu Ibu ajaib menggerakkannya. Kembali jari mengarsir motif batik pada bagian rok, sementara atasan akan tetap putih polos. Selesai. Ah, pasti Ibu terlihat beda pakai ini. Pernah kembali menghubunginya, tapi tak berbalas. Kuputuskan kali ini kirim pesan, lagi. ‘Ibu jaga kesehatan. Sekar rindu Ibu.’ Pesan singkat yang kukirim dari kata hati terdalam. Hangat dan lega menjalar di dada sesudah menyampaikannya. Meski tak dibalas, paling tidak perasaanku sudah sampai pada
“Matamu, sikapmu menunjukkan itu sejak awal. Apa karena dia lebih kaya? Aku pun bisa lebih kaya, kasih aja waktu berapa lama?” Kali ini kalimatnya terasa tajam menyinggung. “Yan, aku sibuk. Nggak ada waktu bahas itu.” Kuambil map dari dalam laci. Berpura sibuk membaca tulisan yang hanya selewat mata. “Hebat. Setelah punya semua kamu lupa aku, Sekar. Kamu mudah berpaling cuma karena-“ “Cukup, Yan. Tolong jangan buat aku makin kecewa sama kamu.” “Kecewa? Kecewa apa? Berhak apa orang yang dicintai kecewa? Bukannya kamu harus bersyukur ada orang yang mau terima kamu apa adanya!” Menggigil kembali seluruh tubuh. Ujung map kupegang kuat. “Aku nggak peduli itu. Yang kukecewakan adalah apa yang kamu lakuin ke Salma. Kamu sangat kekanakkan!”
“Bu Sekar, ada tamu sudah nunggu di ruangan.” “Tamu? Siapa?” “Keluarga Pak Calvin, Bu.” “Ohya, makasih.” Kupercepat langkah ke ruangan. Mengetuk sekali, kudorong pintu seraya melihat siapa tamu yang dimaksud. Seorang perempuan berambut sepinggang, mengenakan kemeja hijau stabilo dan bawahan skirt hitam di atas lutut. Dia langsung berdiri, senyumnya lebar semringah menyambutku. “Hi, kamhu pasthi Sekhar. Calvin told me a lot about you.” Logatnya kental bahasa asing, kalimatnya terdengar unik. Dengan ramah juga dia sedikit membungkuk untuk menempelkan pipi kiri kanan ke pipiku. “Hai, iya, saya Sekar.” Tak bisa bohong. Aku terpana melihat penampilan gadis tinggi langsing yang membua
Ibu … Sekar pasti pulang! Sesampai di distro aku mau langsung ke atas menyimpan belanjaan, bermaksud akan telepon Pak Calvin, minta izin cuti. “Bu Sekar ditunggu Bapak di ruangan.” Seorang karyawan menghadang langkahku. “Iya, sebentar mau taruh ini-“ Kalimatku terputus sendiri. Bapak? Dia bilang Bapak …? Belanjaan kugantung di paku dinding di sisi tangga, melangkah cepat ke ruangan. Di dekat pintu sedikit kuperlambat langkah. Apa Pak Surya? Iya, mereka memanggilnya Bapak. Kutarik napas sebelum mendorong pintu. Lelaki berambut tipis dengan kulit seputih Pak Calvin itu berkarakter mirip anaknya, irit bicara, d
Kata Kak Winda penjahat itu kembali lagi sama Kak Rana, mereka bahkan sudah punya anak. Meski dia bilang aku aman dan akan tinggal di rumahnya tetap saja harus bertemu orang itu hatiku ngilu. Sudah terlanjur janji pulang, sudah terlanjur cuti, aku rasanya tak bisa mundur lagi. “Ih! Apaan, sih, Yan?!” Kupukul tangan Yandi yang menarik lagi semua kabel earphone dari telingaku. “Ngelamun? Aku mau ngomong.” Mukanya mendekat, menatapku lekat, lekas kubuang pandang ke arah lain. “Aku sudah punya calon … jadi nggak akan ngejar kamu lagi.” Pernyataan Yandi membuatku kembali menoleh padanya. “Serius?” Mata itu sendu mengiringi anggukannya. “Aku dijodohkan dengan anak kawan Papa.” Yandi tersenyum
“Kita nginap di hotel saja.” Kami berdiri, akan beranjak dari Patung Jelawat. “Sekarang, Pak?” “Iya. Aku mau kamu nyaman selama persiapan.” “Apa Bapak juga tau kalau di rumah Ibu ada …?” Diusapnya pucuk kepalaku. “Jangan panggil Bapak, nanti orang kira aku bapakmu.” Meringis, aku tersenyum geli. “Baik. Akan saya coba. Mas atau Bang …?” “Calvin saja. Anggap kita seumuran.” Telapak tangan cepat menutup mulut. Aku hampir menyemburkan tawa. “Apa aku kelihatan tua?” Langkahnya terhenti, menoleh padaku minta dilihat. “Oh, enggak. Bapak, eh Calvin masih kayak umur 25-an, kok.” Aku membulatkan jari telunjuk dan jempol. Ini jujur, bukan sekadar memuji.
Akad dilaksanakan pagi ini. Di kamar aku sudah didandani natural, tanpa cukur alis atau bulu mata palsu. Kata periasnya bulu mataku memang sudah tebal dan panjang, hanya diberi mascara setelah dilentikkan sudah seperti pakai bulu mata palsu juga. “Eh, manglingin banget cucu nenek.” Nenek masuk, mendekatiku lalu menempelkan pipi kami sambil melihat kaca rias. “Tangan kak Rose tuh ajaib, Nek,” pujiku pada perias pengantin yang tengah mengecek bagian yang kurang dari makeup di wajahku. “Sudah cantik dari sananya ya, Nek. Tinggal poles dikit kinclong, deh.” “Piring kali Kak kinclong,” timpalku membuat kami tertawa. “Memang kulit aslinya masih bagus, Dek. Pasti nggak pernah diapa-apain?” “Hum, jarang dandan, Kak. Sekar sukanya pake pelembab trus bedak M*rks, pake compa
“Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber