Beranda / Romansa / SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar) / 13. Apa yang Keluargaku Sembunyikan?

Share

13. Apa yang Keluargaku Sembunyikan?

Penulis: Li Na
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-03 15:52:08

 “Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling.

 “Terima kasih, Pak.”

Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya.

“Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.”

Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak.

“Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu aku pegangin sepeda yang mau rubuh, sampai gesit juga parkirkan,” timpal istri Pak Haji sambil terkekeh, beliau sekarang ikut duduk di tikar ini setelah membuatkan teh.

Hatiku menghangat. Jika ada yang memuji diri rasanya sulit dipercaya. Hampir semua anggota keluarga menganggapku anak nakal, bodoh, dan banyak kata lain yang membuatku merasa kecil. Sudah lama diam saja, saat kepala ini sering jadi sasaran tempelengan, dorongan, dan sekaranglah aku harus berani melawan.

“Bapak mau tau, Sekar, kamu itu sebenarnya tinggal di mana? Apa benar lari dari rumah?”

Setelah isi mulut kosong kusebut nama lengkap plus binti, nama Bapak di belakangnya. Menjelaskan sedikit kalau aku memang tinggal sendiri.

Pasangan berhati baik ini terlihat terkejut. Pak Haji terdiam sebentar, menyeruput tehnya.

Kami ini ada di rumah kecil di sisi belakang, dekat tempat wudhu masjid, Pak Haji tinggal bersama istri dan dua cucunya usia remaja.

 “Berarti … kamu ini anaknya Saodah yang jual kain di pasar itu?” ujar Bu Haji setengah bertanya.

“Iya, Bu Haji kenal Ibu?”

Ditatap pemilik mata kecil itu aku lekat-lekat.

“Dulu pernah tetangga, kami tinggal di rumah ujung jalan, dekat warung, sebelum pindah ke sini.” Pak Haji yang menjawab.

“Berarti adiknya Winda ini, ya, Bu?” tanya lelaki itu kemudian pada istrinya.

“Itu Rana, Pak. Ini kayaknya yang bungsu, ya?”

Aku mengangguk, menyelesaikan suapan terakhir, lalu minum. Mendengar mereka mulai membahas keluargaku tanpa mengungkit aib kami, rasanya bertambah lega. Entah mereka benar tidak tahu ataukah pura-pura saja, yang pasti aku nyaman ada di sini, merasa jadi manusia yang tetap dihargai privasi-nya.

Namun, kemudian terbit lagi rasa penasaran lama, apalagi melihat Pak Haji dan istrinya saling tatap penuh arti.

Apa mereka tahu cerita masa kecilku …?

 Kecurigaan makin kuat saat mereka mengalihkan pembicaraan, jadi bahas tentang Ummi yang memang dikenal sangat baik oleh hampir semua orang di kota ini.

“Sekar, masih sering ziarah? Masih suka doakan Ummi Nur, ‘kan?” Bu Haji bertanya dengan nada lemah lembut.

 “Iya, Bu Haji. Tiap bulan pasti ada ke makam.” Senyum mudah kukembangkan kalau membahas Ummi. Sosok yang sangat sederhana. Sampai sekarang makamnya terawat, dan selalu harum dari taburan bunga para peziarah.

 “Kalau doakan pasti hari-hari, sering kangen. Semua ceramah Ummi juga kayak masih ada di kepala,” ujarku lagi sambil memandangi kedua orang tua itu mengangguk-angguk, seperti menyetujui kalimatku.

“Alhamdulillah, kamu beruntung pernah merasakan hidup bersama Ummi Nur. Itu bekal yang sangat berharga buat hidup kamu ke depannya.”

Bu Haji kemudian seru menuturkan saat aku TK dan SD sering diikutkan Ummi dalam lomba Dacil (Dai Cilik). Kata beliau aku sangat percaya diri di panggung, meniru ceramah-ceramah Ummi, bicara bak orang dewasa.

Tersipu, sebagian aku ingat masa itu, saat diri belum malu-malu. Kalau tak salah sampai kelas 3 SD masih berani tampil. “Iya, itu gara-gara Ummi kadang ceramah sambil mangku saya, Bu Haji.”

“Masyaallah, jadi ini si Sekar Dewi, yang pernah kita juluki ustazah cilik itu, Bu?” tanya Pak Haji setengah kaget, ternyata beliau tadi diam-diam untuk mengingat siapa aku.

“Itu dulu, Pak Haji. Sekarang Sekar sudah banyak jeleknya,” tanggapku.

“Ah, jangan bicara begitu. Tetaplah berprasangka baik, Nak. Semua pasti ada hikmahnya.”

Masa bersama Ummi sempat sangat menyenangkan, tapi berubah saat aku tahu siapa Ibu dan siapa bapakku. Bukanlah Ummi ataupun Abi yang kusayang. Kelas 3 SD masa berat, yang membuatku bingung dan lebih banyak diam saat Bapak mencariku, lalu terbukalah semua.

Sejak itu diam-diam aku mendengarkan apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan, takut menanyakan pada siapa pun apa sebenarnya yang terjadi. Sampai setahun kemudian Ummi menawarkanku kembali ke Ibu. Aku cuma bisa menangis, menolak, tapi tidak bisa apa-apa.

Pernah juga aku ‘dilempar’ ke rumah Bapak yang hidup di hutan trans dengan keluarga lain dan juga anak kecil yang harus kupanggil adik.

“Bu Haji …” Aku menelan saliva yang terasa perih.

Ragu.

Ini mungkin saatnya aku bertanya … ataukah memilih diam saja dan hanya menatap ke depan?

Ibu juga seolah tak menganggapku lagi … lalu buat apa …?

Minum lagi, lalu kutarik napas panjang.

“… apa boleh saya nanya?”

Tampak serius kedua pasangan itu melihatku.

“Bu Saodah itu … ibu kandung saya, apa bukan?”

Pertanyaanku membuat Pak Haji tersedak. Terbatuk-batuk tanpa henti, beliau segera bangun sambil angkat dua tangan ke atas, seakan melegakan napasnya. Istrinya juga ikut sibuk menepuk-nepuk punggung Pak Haji.

Aku masih terdiam melihat dua orang tua ini bersikap sedikit aneh, sampai mereka kembali duduk. Seperti sengaja menghindar jawab pertanyaanku.

“Bu Haji, dulu katanya sempat tetangga dengan Ibu, pasti Bu Haji, dan Pak Haji tau. Saya kayak anak ayam hilang induk ... kenapa Ibu sampai saudara-saudaranya kelihatan nggak suka Sekar? Ummi nggak pernah cerita apa-apa dulu.”

Tidak ada nada sedih dalam suaraku, seolah ini tentang orang lain. Ya, mungkin aku memang tak punya ikatan hati dengan Ibu. Dulu saat bersama saja aku berusaha menyayanginya, tapi itu sebatas hanya patuh pada pesan Ummi untuk menghargai Ibu. Padahal di dalam hati, posisi Ummi belum bergeser meski raganya sudah tidak ada.

Beberapa saat kemudian, setelah tercenung lelaki tua itu membuka suara, mengatakan aku memang anak Ibu, tapi seakan mengindar dengan menanyakan Bapak.

"Apa sampai sekarang kamu belum pernah dengar kabar lagi dari Pak Sugi?”

Pak Haji menyebut nama Bapak, aku menggeleng.

“Terakhir ketemu waktu Bapak ke rumah, sebelum Sekar lulus SD tapi dilempar Ibu pakai ember .…”

Tiba-tiba panas dan perih lagi mata ini bila ingat kejadian itu. Bapak diusir saat menemuiku. Duit yang digenggamkannya ke tanganku jadi berhamburan, telapak tangan ini dipukul Ibu berkali-kali. Ibu menolak Bapak, mengusirnya dengan sumpah serapah, kalimat buruk yang sama saat marah padaku. Sejak itu Bapak tak pernah terlihat lagi.

“Ya, ya … kita juga sudah lama tidak ketemu lagi. Bapakmu sempat tinggal di trans. Kenal dekat ya pas kecilnya Winda sama Rana.”

Bulir air mata kuusap dengan ujung kerudung. Keluarga Ibu dan Bapak banyak menyimpan misteri bagiku, ternyata bagi yang lain juga, tapi akulah yang nyata menjadi korbannya.

“Pak Haji, kalau Sekar nikah apa Bapak wajib jadi wali? Kalau tidak ketemu Bapak, apa pernikahan Sekar tidak sah?” Teringat Yandi, maka timbullah pertanyaan ini.

“Tentu, Nak Sekar. Bapakmu adalah walimu yang utama, kecuali ada pemberian wewenang untuk diwakilkan.”

Aku menyimak. Teringat saat Kak Rana dan Kak Winda menikah, wali mereka kakek saat masih hidup. Bapak kandung kedua kakakku itu suami pertama Ibu, meninggal saat Kak Rana kecil. Bapak adalah suami kedua Ibu.

Dari Pak Haji ini kutahu, setahun setelah kehilangan suami Ibu menikah dengan Bapak, lelaki perantauan yang bekerja serabutan, tapi sangat bertanggung jawab pada anak-anak Ibu. Keributan mulai ternyata sebelum Ibu hamil aku.

“Kita tidak ada yang tau masalahnya apa, ibumu sering ribut dengan bapakmu ya sejak itu. Tetangga cuma bisa melerai. Bapakmu pergi, tak lama pulang lalu ya ribut lagi. Sampai kamu lahir. Kami tidak bisa ikut campur banyak, Sekar.”

Nyeri.

Kata itu saja tak mampu menggambarkan sakitnya dalam hati. Perpisahan orang tua menjadi misteri yang menyimpan banyak ranjau untuk hidupku, tiap ku melangkah ada saja yang melukai, amarah Ibu yang bertubi-tubi. Sumpah serapahnya menganggap aku bukan anak, padahal nyata aku anaknya.

Apa sebenarnya yang Ibu sembunyikan ...?

Kenapa seorang anak hanya diminta diam dan menurut, tanpa penjelasan?

Aku juga anak yang diciptakan punya akal, bisa menanyakan ini kenapa, itu kenapa. Meski aku tak pernah berani menanyakan langsung.

Bab terkait

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   14. Teman Terbaikku

    Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   15. Teman Baru

    “Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   16. Melamar Kerja

    Tidak sulit mencari. Setelah mampir sarapan soto, dan mengabarkan Yandi tadi langkah sudah membawaku di depan ruko berpintu kaca lebar. Menarik napas panjang diiringi doa aku mendorong pintu kaca. Wajah langsung disergap angin dingin, kuatur napas, adaptasi sejenak dengan hawa baru sebelum menutup pintu. “Pagiii, ada yang bisa dibantu, Mbak?” Salam super ramah dari seorang wanita cantik, yang berdiri dari balik meja panjang. Sedikit tergeragap kuanggukkan kepala. “Pa-pagi, Mbak.” Tadi kukira langsung dihadapkan pada peralatan jahit, baju-baju pajangan, bukan diterima secara resmi begini. Ini seperti ruang kantoran, dinding kaca lebar itu dihiasi tirai lipat mewah warna putih. Aduhh, mendadak badan terasa mengambang tak jelas. Degup jantung mulai tak beraturan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   17. Hari Pertama

    Hari pertama di tempat kerja, terasa berat karena kulewati tanpa bisa berbagi cerita dengan Yandi. Dia melarangku mengontak sampai dihubungi lebih dulu. Tak ingin membuat masalah aku dengan orang tuanya kupilih fokus pada pekerjaan. Di sini aku sekarang, ruang jahit, letaknya belakang ruko yang terbagi dua lorong. Belok ke sisi kanan adalah ruang khusus pelanggan dan pajangan jas mewah, dengan sewing room minimalis, tampak mewah. Sebelum ke ruang ini aku diajak melihat di sana. Kata Pak Calvin kalau kerjaku bagus akan ada saatnya aku jadi bagian di ruang itu. Semacam motivasi untukku berjuang dari awal ini. Ya, karena kalimatnya itu aku jadi sangat ingin bergabung di tempat kerja yang persis kantor begitu. Jauh beda dengan di sini, hanya ruang luas tanpa sekat, tempat 20 pekerja yang melewatiku malam tadi. Mereka semua adalah penjahit produk merk Calvin juga, tapi berupa cardigan dan blazer. H

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   18. Berjuang

    “Sekar masih belum selesai?” Tatapan prihatin teman sebelah, melihatku yang masih tegang di belakang mesin jahit. Aku merasa lamban dibanding mereka. “Belum, Mbak,” jawabku lemah. “Maaf kita nggak bisa nunggu, ya.” “Iya, nggak apa, Mbak.” Aku mendongak sambil tersenyum, lalu kembali menggerakkan jari yang terasa mulai kebas. Mereka satu persatu pulang, aku cuma bisa melirik, menahan perasaan cemas akan tertinggal lagi sendiri. Tugas wajib selesai, kalau tidak mungkin aku gagal, dan siap-siap ditendang keluar oleh si Kulkas. Harus tetap fokus. “Belum selesai juga?” Kuangkat wajah, baru menyadari ada lelaki berkemeja putih berdiri tak jauh dariku. Dia ini yang kusebut Kulkas itu. “Belum, Pak." A

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   19. Yandi?!

    “Yandi kah?” tanyaku lagi. Salma menggeleng. "Nggak kenal." Selain Yandi di sini aku nggak punya teman lain. … jangan-jangan Tante Mel ngikutin aku ke sini?! Lekas kutarik kerudung dari rak bawah lemari, bagian yang sukarela dibagi Salma untuk menyimpan pakaianku. Belum juga aku keluar, pintu sontak terbuka lebar tanpa diketuk, dan siapa yang muncul itu membuat jantungku melompat. Tante Mel, dan di belakangnya ada dua anak kos yang melihatku dengan wajah tegang. “Buat apa kamu masih pakai kerudung? Topeng!” “Tante?” “Tutup mulutmu. Siapa sudi dipanggil Tante dengan mulut busuk itu. Kamu pikir bisa nipu banyak orang lagi, hah?! Pakai pura-pura sok

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   20. Si Bos Kulkas

    Terulang lagi, sampai di tengah malam pekerjaanku baru selesai. Terdengar ketukan sepatu berhenti membuat napas sedikit tertahan. “Apa kamu sengaja lambat biar nggak pulang?” “I-ini sebentar lagi selesai, Pak.” Aku tak mengangkat kepala. Namun, tangan ini berhenti bekerja, bermaksud menghargai kehadirannya. “Benarkah? Lalu itu apa?” Terpaksa aku mendongak, melihatnya memandangi ranselku yang gemuk di sisi meja. “M-maaf, Pak. Saya dikeluarkan dari kos. Bu Kos mengira saya liar sampai pulang malam selama kerja di sini.” “Pulang pagi,” ralatnya. Aku meringis, menahan wajah panas. “I-iya, Pak. Pulang pagi, jadi mereka kira saya-” “Siapa yang tanya? Kemarin sudah diberitahu, bukan? Kalau lambat lagi kamu tahu konsekuensinya.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   21. Tempat Baru

    “Ini ke mana, Pak?” Lagi, lelaki kulkas itu tak menjawab pertanyaanku. Tak lama mobil berhenti di halaman bangunan berlantai dua. “Turun.” “Pak ini kos?” tanyaku saat turun sambil memandangi deretan rumah yang sama persis bentuknya. Bukan kos, tapi ini ruko apa rumah? Masih bengong sendiri aku kaget merasa ada yang menarik ransel di tanganku. “Masuk, Mbak.” Kupandangi wanita berseragam hitam putih mengajakku masuk. “Sebentar, Mbak. Ini rumah siapa, ya?” tanyaku sembari memegang lengannya. Menahan langkah, wanita ini tersenyum melihatku yang takut masuk. “Ini rumah Pak Calvin.” “Hah?! Kenapa aku dibawa ke rumahnya?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04

Bab terbaru

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   65. Ingin Menua Bersama

    “Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   64. PoV Yandi 2

    Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   63. PoV Yandi 1

    "Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   62. Cappadocia

    Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   61. Umroh dan Honeymoon

    Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   60. Persiapan Honeymoon

    “Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   59. Keluarga Baruku

    “Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   58. Kamu Istimewa, Sayang

    Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan

  • SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)   57. Pria-ku

    “Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber

DMCA.com Protection Status