“Heh, kok ada kamu?” suara sinis perempuan paruh baya. Mendongak refleks, aku yang tengah menjahit, dengan otak terngiang ucapan Tante Mel tadi sampai tak sadari ada orang di depanku.
Bengong. Aku lihat ke arah teman-teman lain, mereka tampak sama terkejut.
“Siapa suruh kamu kerja di sini?” Dia mengulang pertanyaan dengan mata memelototiku.
Tenggorokkan ini tercekat. “A-ada apa ya, Bu?”
“Ada apa, ada apa? Sok polos kamu!” Wanita berambut keriting sebatas bahu itu kemudian menanyakan di mana Pak Kung.
“Lagi keluar, Bu.” Seorang teman senior di meja jahit belakang menjawab.
Wanita yang belum pernah kulihat ini keluarkan handphone besar dari tas tangan, menghubungi Pak Kung dengan suara nyaring, mengundang perhatian. Apa yang keluar dari mulutnya itu membuatku terhenyak di tempat.
Ternyata dia ini saudara keluarga lelaki jahat itu. Suara teleponnya di-speaker.
“Mau apa nampungin kerja orang yang buat Jordi mau gil*, Bang?! Aku kenal keluarga itu baik, anaknya ya rusak gara-gara orang ini. Orang sok suci!”
Aku berdiri, seluruh tubuh terasa menegang. Mata ini bertatap langsung dengannya yang menampakkan raut bengis.
Dia menutup telepon setelah menyarankan Pak Kung memecatku. Lelaki yang kukenal baik sebelumnya terdengar tak bisa apa-apa.
“Kamu keluar sukarela sekarang, daripada dipecat.”
“Maaf, Bu. Bos saya Pak Kung, bukan Ibu.”
“Kurang aj** kamu!” Tangan kanannya terayun, aku mengelak mundur refleks gunting pemotong benang kusambar untuk berjaga-jaga.
“Saya keluar dari sini nunggu keputusan Pak Kung, Bu.” Suara ini gemetar. Aku sudah kerja empat hari, akan terima bayaran per minggu, sesuai hasil kerjaku. Sudah terkumpul lumayan. Aku pikir akan keluar kalau sudah terima gaji.
“Melawan, ya.” Wanita berbaju kuning terang ini keluarkan lagi hapenya, mengarahkan kamera ke sini.
Apa … dia merekamku?!
“Ini orang yang sudah buat ponakanku mau bunuh diri di penjara. Jordi yang awalnya baik-baik jadi seperti berandalan, Jordi penurut jadi pemarah sekarang, ya, gara-gara anak ini!” Dia sepertinya membuat video.
Muka ini terasa terbakar.
“Lihat, semua. Dia gaya ngancam pakai gunting, tuh lihat di tangannya.” Hapenya diarahkan ke tanganku, segera kulepas gunting itu ke lantai.
“Orang gini, ni, memang layak diviral. Nah, nah, lihat saja mukanya itu.” Kamera makin mendekat ke wajahku, muka yang terasa sudah mati rasa, tubuh ini pun menggigil menahan emosi.
“Bohong! Ibu ini yang mau pukul saya tadi.” Aku gemetar membela diri, kutunjuk teman sekerja. “Itu teman-temanku saksinya! Mereka lihat siapa yang benar!”
“Eh, eh, coba kalian jawab. Dia itu bohong, ‘kan?” tanpa rasa bersalah diarahkan kamera ke teman-temanku. Membuat mereka yang rata-rata anak muda itu berdiri, lalu menjauh, seakan-akan takut takut ikut terekam.
Makin ciut nyaliku.
“Lihat, mereka semua tau dia yang salah,” ledeknya sembari tergelak tanpa suara, terus menyoroti mukaku.
Orang ini sengaja cari masalah. Andai tak ingat Bu Fris sudah kubanting hapenya itu.
Kusambar tas di sebelah bangku kerja, lebih baik pergi daripada meladeninya.
Sepeda yang kupakai kerja—pinjaman Bu Fris—kugowes cepat, meninggalkan suara cempreng yang meneriakiku bagai penjahat.
Tulikan telinga, kuanggap itu tertuju untuk orang lain, bukan padaku.
Di belakang punggung ini mungkin dia puas, merasa menang atasku. Entahlah, aku hanya belajar tak ingin memedulikan.
Dengan ujung kerudung, kuhapus air mata yang tak tertahankan mengalir.
Ayolah, Sekar. Biarkan. Lepaskan. Biarkan saja mereka … belajarlah lepaskan rasa ….
*
Menghibur diri, sepeda kugowes perlahan, menikmati belaian angin menerpa wajah. Dingin. Kuresapi belaiannya sampai ke hati.
Sampai di depan jalan Pelita, sebelum masuk gang ke rumah Bu Fris aku mampir ke Rumah Makan Uda. Beli rendang, gulai nangka, daun singkong, dan sambal ijo. Dua porsi, tanpa nasi. Hmm, air liurku langsung terbit cium bau sambal khas ini.
Aku biasa beli lauk matang begini tanpa nasi, lebih seringnya ya di rumah makan Padang ini, karena kebetulan seleraku dengan Bu Fris sama.
Di halaman ada Avanz* terparkir, kuseret sepeda ke sisi tembok halaman. Ternyata tamu itu Pak Irwan dan kedua orang tuanya. Aku menyalami mereka sebelum ke belakang. Lelaki tinggi dengan kulit sedikit legam, guru olahraga di sebuah SD, aku tahu mereka berteman sejak awal tinggal di sini.
Setelah menyimpan plastik belanja di meja makan, aku ke kamar, ingin meluruskan pinggang. Berbaring nyaman sambil meredam sisa emosi atas semua kejadian hari tadi.
Samar terdengar dari sini kalau Pak Irwan dan keluarga akan melamar Bu Fris. Rencana akan ke kotamadya minggu depan. Ternyata selama ini hubungan mereka lebih dari teman, ah, aku sangat terlambat tahu itu. Bu Fris bahkan tak pernah cerita.
Terasa ada sesuatu nyeri di dalam dada. Aku akan sendiri. Kalau Bu Fris menikah sudah pasti aku harus pindah ….
Membekap mulut dengan selimut, kutahan suara melepaskan tangis. Hanya untuk mengurai sesak di dada ini. Beberapa saat bisa kukendalikan diri. Beranjak duduk, kutekan-tekan permukaan wajah dengan telapak tangan.
Tak boleh mengasihani diri sendiri. Kebahagiaan Bu Fris akan jadi sendu kalau aku malah berkeluh kesah. Cukuplah dua kejadian tadi kuanggap drama, mereka hanya berperan sebagai antagonis sementara, aku pun berperan sebagai objek penderita juga sementara. Semua yang sementara rugi terlalu ditangisi.
Kembali ke dapur, kucuci wajah biar segar.
Ternyata tamu Bu Fris pas mau pulang juga, mereka di luar, lalu tak lama suara mobil menyala.
Kupindahkan makanan dari plastik ke mangkuk.
“Tumben cepat pulang, Sekar? Gak bawa tugas lembur juga?”
Biasanya aku bawa kain yang belum selesai untuk lanjut dikerjakan malam, lalu bawa lagi besok pagi ke tempat kerja. Dengan begitu upahku lumayan banyak, karena dihitung per pekerjaan selesai.
“Sekar berhenti, Bu.” Mata ini kembali panas saat mengatakannya. Lekas aku menuju keran, membasuh muka lagi.
“Kenapa?” Bu Fris sudah duduk di kursi makan, memerhatikanku.
Kuterbitkan senyum kecil seraya mengusapkan handuk di wajah. “Ternyata Pak Kung saudaraan sama penjahat itu Bu.”
Diam sejenak Bu Fris seperti mencerna maksudku.
“Apa mereka mengungkitnya?”
Sedikit menggeleng, aku terpaksa bohong. “Nggak nyaman aja, Bu,” jawabku sekenanya.
“Ah ya. Selamat ya, Bu. Dengar-dengar Pak Irwan mau ngelamar.”
Pipi Bu Fris langsung merona, beliau bertanya darimana aku tahu.
Kusatukan ujung jempol dan telunjuk. “Suaranya tadi sedikit masuk kamar,” ujarku tertawa menggoda.
“Iya, Sekar. Doakan lancar, ya.”
“Aamiin. Akhirnya ketemu jodoh juga ya, Bu.”
“Begitulah, ibu juga nggak sangka kalau Pak Irwan itu menyelam sambil minum air.”
“Hah, maksudnya, Bu?”
Tergelak sejenak. Rona bahagia di wajah Bu Friskelly amat kentara. “Kayak Yandi itu, Sekar. Berteman sambil mengenal, trus tiba-tiba ngelamar.”
Aku tersenyum getir. Teringat lagi kalimat mamanya Yandi tadi.
Ya, mereka sama. Tapi akhirnya yang beda. Aku tak direstui, sementara Bu Fris ….
Agh! Harusnya aku nggak membandingkan diri, tapi … kenapa tetap saja aku merasa berbeda ….!
“Lagi ngapain?” Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai. “Hee, kerjaan iseng, Bu.” “Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku. “Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit. “Kreatif.” “Daripada bengong, Bu.” “Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS. Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan. “Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.” “Mudah kok, Bu.” Aku sudah dudu
Ucapan Yandi terakhir itu benar-benar membuatku resah.Apa dia akan nekat ke sini …?Hari ini pun perut jadi terasa mulas-mulas dibuatnya, makan sesuap pun sulit masuk, padahal tadi rendang kuminta Uda sirami kuah banyak, tetap saja tak selera. Kalau Yandi tiba-tiba muncul … waduhh, bakal perang dunia kedua dia sama orang tuanya.Pintu kututup rapat. Duduk di kursi jahit coba fokus selesaikan miniatur wedding yang kubuat untuk kado nikahannya Bu Fris. Tinggal membuat jas pria, boneka si pangeran pasangan Barbie sudah dapat kemarin di toko.Ini akan kukemas dengan mika, bagus buat pajangan. Saat akan menyelesaikan sedikit lagi, suara ketukan disertai panggilan dari luar membuatku terlonjak. Kutekan dada, merasa degup jantung meloncat-loncat.Refleks menebak, apa itu Yandi …?
Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak. “Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?” Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya. “Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“ “Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.” Terdiam, kupandangi kelingkingnya. “Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?” Kudengarkan dia bicara.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima
“Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.
Tidak sulit mencari. Setelah mampir sarapan soto, dan mengabarkan Yandi tadi langkah sudah membawaku di depan ruko berpintu kaca lebar. Menarik napas panjang diiringi doa aku mendorong pintu kaca. Wajah langsung disergap angin dingin, kuatur napas, adaptasi sejenak dengan hawa baru sebelum menutup pintu. “Pagiii, ada yang bisa dibantu, Mbak?” Salam super ramah dari seorang wanita cantik, yang berdiri dari balik meja panjang. Sedikit tergeragap kuanggukkan kepala. “Pa-pagi, Mbak.” Tadi kukira langsung dihadapkan pada peralatan jahit, baju-baju pajangan, bukan diterima secara resmi begini. Ini seperti ruang kantoran, dinding kaca lebar itu dihiasi tirai lipat mewah warna putih. Aduhh, mendadak badan terasa mengambang tak jelas. Degup jantung mulai tak beraturan.
“Janji…jangan pindah. Buatlah rumah nenek ramai. Canda kalian, tawa anak-anakmu kelak, Sekar. Keluarga yang hangat satu sama lain … ah, nenek tua ini ingin melihatnya, ingin ikut bahagia, tapi sepertinya itu ndak mungkin ….” Kalimat panjang diiringi senyuman itu terlontar dari Nenek. Sangat kuingat saat itu, ketika hari kedua beliau dirawat, dalam kondisi membaik, dan besoknya sudah diperbolehkan pulang. Beliau berbicara sambil menggenggam tangan dan Calvin, yang baru beberapa hari pulang bulan madu.
Mama tanya, dan aku langsung menoleh pada Najwa, sepertinya dia juga akan tanyakan hal sama. “Ada sih, tapi kangen-“ Ugh! Keceplosan. “Kangen suasana waktu kuliah, Ma.” Sial*n! Lupa! Sebut Surabaya di rumah ini seakan menyebut nama Sekar di mata mereka. Memangnya Surabaya milik Sekar? Ah, tapi mereka ada benarnya juga, aku penasaran mau lihat anak kembar Sekar. Kata Lintang makin besar cakepnya makin kelihatan. Kutahu Sekar lebih banyak mengurus usaha yang makin terkenal bran-nya, sementara Calvin masih dirahasiakan Lintang bagaimana kondisinya. Alasan tengah berobat di luar negeri. Agh! Kalau pikir itu aku memang menggebu mau bertemu. Biasalah, terkadang laki-laki move on lebih sulit. Itu terjadi padaku, walau tidak sekuat dulu menginginkannya lagi. Sekadar
"Ayo bangun. Makanan sudah siap masih molor.” “Hmm, jam berapa?” Kukucek mata yang malas membuka. “Setengah enam.” Kutarik tangannya yang tengah melipat selimut, sampai badannya jatuh menimpaku. “Aww, Yan?!” “Diam bentar aja.” Kudekap erat, mencari getar yang kuharap ada. “Udah, yuk, kita siap-siap kerja.” “Bentar lagi, masih kepagian.” “Ya, kalau kamu belum mandi, belum juga sarapan nanti lambat. Awh, geli!” Najwa menggeliat, makin kurapatkan badan. Naluri sebagai lelaki muncul. Kasihan juga sudah seminggu jadi pengantin aku belum menyentuhnya. Alasan kami adaptasi dulu. Ya, perasaan harus ada untuk memulai. Aku suka Najwa, sifatnya periang, tapi hati belum se
Puas banget jalan di wisata sekitaran Istanbul. Selama di sini kami sudah kunjungi Istana Topkapi, jalan kaki menikmati suasana pasar malam,ke Taman Miniaturk juga lihat lebih dari ratusan miniatur wisata terkenal di wilayah Turki. Puas? Banget! Karena kita berdua ini menjalaninya santai. Kita juga sambil kerja dari kejauhan. Aku masih sempat buat desain gaun muslim cantik, terinspirasi dari apa yang terlihat selama jalan-jalan. “Siap terbang lagi?” Calvin selalu menanyakanku lebih dulu. “Siap dong, Sayang. O, ya kenapa Cappadocia harus pake pesawat lagi, memang jauh ke sana?” “Kamu bisa capek duduk berjam-jam di bus.” “Ohya? Kalau naik pesawat berapa lama?” “Satu jam setengah sudah sampai.” “Oh, gitu? Yasudah mana y
Masyaallah, tak henti syukur atas aliran nikmat-Nya. “Labbaikallahumma umratan.” (Ya Allah aku penuhi panggilanmu untuk berumroh) Kami langsung bersiap tawaf, kami berkumpul di lobi. Suami dan jamaah umroh laki-laki sudah mengenakan pakaian ihram, aku mengenakan gamis putih, jilbab panjang seperti mukena warna sama. Sesekali kulirik suami, kadar ketampanannya bertambah dua kali lipat dengan penampilan ini. Dia hanya membalas menatapku teduh, sepertinya wajah itu tengah serius menyiapkan diri untuk khusyuk ibadah. Agh! Aku saja yang kadang berlebihan mengaguminya. Segera kualihkan perhatian pada panduan Ustaz yang akan memimpin rombongan, kami kemudian dibagikan earphone u
“Ke rumah Mami? Kapan?” “Tadi, habis kita makan siang.” Makan siang kami tadi di ruang kantor, aku bawa hasil masakanku dan Nenek sebelum berangkat. Dia menatap wajahku serius. “Mami bilang apa?” Senyumku melebar. “Mmm, boleh nanya, gak?” Alisnya terangkat. “Tanya aja.” Aku tengkurap, dia membaringkan wajah tepat di depan mukaku. Kebiasaan kami sebelum tidur ngobrol ringan tentang apa yang terjadi seharian. Kumainkan pucuk hidungnya. “Sejak kapan suka sama aku?” Mata kami bertatapan lekat. “Mungkin … waktu kamu melamar kerja malam itu.” “Pas aku baru ngelamar kerja?” Mataku membulat penuh. “Kok bisa?” “Mungkin.” Dia bilang aku lucu. G
“Kenapa nyimpan bola dunia? Kayak di sekolahan aja.” “Jangan salah. Ini untuk menumbuhkan mimpi.” Kami sama-sama menggerakkan perlahan bola itu. melihat semua bagiannya. “Iya ya, makin dilihat jadi mau ke keliling dunia.” “Hem, itu awalnya.” “Kok bisa? Bukannya dari kecil orangtua sudah mampu? Kamu kan bisa minta ke mana aja. Tinggal urus ini itu berangkat.” Calvin menarikku ke dekapan. “Beda rasa dengan kita merencanakan dan membayar sendiri.” “Oh ….” Aku mengangguk-angguk. “Setelah umroh, mau ke Turki nggak? Aku penasaran sama kotanya.” “Boleh, Sayang. Hadiah dari Mami Papi kita pilih Turki. Umroh hadiah dari aku.” “Makasih, Sayang.” Kubalas dekapannya seerat mungkin. Ini hadiah luarbiasa se
Ini hari kedua kembali ngantor. Suasana sudah biasa, beda dengan hari pertama yang disambut meriah, karena kabar pernikahan kami memang sudah menyebar ke mereka.Lintang kutelepon sebelum hari akad waktu itu, dia girang dan minta traktiran lagi. Aku menjanjikannya setelah kembali. Sekarang kami sempatkan ke sebuah pusat perbelanjaan saat jam istirahat, kebetulan suami sedang ke garmen, jadi juga sudah izin tadi.“Aku sebenarnya jadi segan manggil nama, Sekar. Manggil Ibu nggak apa, ya?”“Nggak. Kita itu teman. Pokoknya panggil Sekar aja!”Habis belanja tas pilihan Lintang kami duduk berhadapan menikmati es krim.“Ih, kayak mimpi deh. Aku ikut senang. Nggak habis-habis senangnya dari waktu kamu ngabarin itu.”“Aku juga nggak nyan
“Apa … menurutmu aku … sudah laki-laki?” Mataku sontak membuka, tadi tengah terpejam, menghayati hangat rangkulannya dari belakang. Kami berdiri melihat view kota dari atas di sore ini. Mengerjap-ngerjap, aku masih kaget atas pertanyaannya barusan di dekat telinga. Nada yang terdengar meragukan dirinya sendiri. “Tentu. Kamu laki-laki, Calv,” sahutku kemudian. Dipereratnya lingkaran kedua tangan membuatku sedikit sesak. Terdiam, kutunggu apa yang akan dikatakan, dari berat tarikan napasnya seperti ada sesuatu terpendam. Dagunya menempel penuh pada pipiku, sesekali menghirup dalam aroma bunga sisa sampo yang kupakai tadi. “… aku takut kamu kecewa.” Kalimatnya lemah terasa mengiris hati. Aku bisa merasakan ada luka yang tersimpan. Perlahan kulonggarkan tangannya, ber