"Mbak Hana, kok, wajahnya keliatan agak tua, ya?" Adik iparku mengomentari keadaanku ketika aku menyediakan minuman dan cemilan di ruang tamu.
"Eh, iyakah?" Aku merasa salah tingkah dan sedikit malu karena ucapannya. Terlebih ketika semua mata beralih kepadaku. Mungkin mereka hendak memastikan perkataan saudara perempuan satu-satunya suamiku itu. Menjadi pusat perhatian membuatku semakin salah tingkah. "Hus, apa, sih, kamu Win?" tegur bapak mertuaku pada putri keempatnya. "Eh, beneran, Pak! Coba, deh, lihat!" Wina menunjuk ke arahku tanpa merasaa bersalah. Seolah tak mengerti atau mungkin tak peduli jika hal itu membuatku malu. "Kamu ini, Win!" Kulihat Bapak melotot ke arah anaknya itu. "Padahal, kan, Mbak Hana sama aku lebih tua aku usianya. Tapi wajahnya kaya lebih tua Mbak Hana." Kembali ia berucap tanpa menghiraukan kode yang diberikan sang ayah. Sementara yang lainnya kulihat juga berusaha menegur Wina dengan menyenggol lengan perempuan yang memakai kaos cokelat muda itu. Namun, ada juga yang memandang rendah, mengiyakan penilaian yang tertuju padaku. "Ya gimana mau kelihatan muda, dandan aja ga pernah," gerutu ibu mertuaku. "Baru juga punya anak satu, kaya repot ngurus anak banyak. Sampe ga sempat ngurus diri sendiri" ucapnya lagi dengan nada ketus. Aku menoleh ke arah ibu, memerhatikan wajahnya yang terlihat seolah meremehkanku. Entahlah, kenapa mertua perempuanku itu selalu saja sinis semenjak kehadiranku di rumahnya. Padahal aku sudah berusaha untuk berbuat baik dan mengikuti segala yang diinginkannya. Lagipula kesibukanku juga karena mengurus rumah ini. Ibu tak bersedia jika ada asisten rumah tangga. Buang buang uang katanya. Jadilah, aku yang mengurus segalanya. Apalagi jika sedang berkumpul seperti ini. Tentu akulah yang paling disibukkan melayani semuanya. Hanya saja, mungkin ibu kurang puas dengan kemampuanku dalam mengurus rumah. Aku memang belum terampil dalam memasak, tetapi setidaknya aku mau berusaha untuk belajar. Belum lagi kebiasaan yang kami lakukan banyak perbedaannya. Tapi, itu tak masalah andai ibu mau mengajarkan. Sayangnya perempuan berusia 60 tahun itu hanya diam saja melihat pekerjaanku, tetapi rupanya di belakang, ia membicarakan ketidakpuasannya terhadap apa yang kulakukan. Aku menatap Wina yang tersenyum miring. Entah apa maksud dari senyumannya itu. Sedangkan kulihat Mas Pras juga ikut tertawa tanpa suara melihatku disudutkan seperti ini. Seolah itu hanya sebuah candaan. Hatiku semakin perih melihat sikap suami yang tak berusaha membelaku. "Han, ada lagi ga yang mau disuguhin. Sini Mbak bantuin," ucap Mbak Ayu yang ternyata sudah berada di sampingku. Sepertinya ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Oh, iya, Mbak. Ada kue lapis legit sama beberapa snack buat anak-anak," aku menjawab sambil menoleh kepadanya. "Ya udah, yuk, sini Mbak bantu bawain. Anak anak pasti seneng ada jajanan." Aku mengangguk dan melangkah ke dapur bersama Mbak Ayu. Setiap sebulan sekali, anak anak ibu yang lain datang menjenguk. Sebelumnya, mereka janjian akan datang pada waktu yang bersamaan. Sehingga setiap bulan, tentu akan selalu ramai dengan berkumpulnya lima anak mertuaku berserta menantu dan keenam cucunya. "Han, jangan diambil hati, ya, ucapan Wina dan ibu!" Mbak Ayu memegang lenganku, memberi kekuatan. Aku yang sedang menata kue lapis, langsung menoleh dan tersenyum padanya sambil mengangguk. "Iya, Mbak Ayu." Memang tidak mudah tinggal satu atap dengan mertua, terlebih sejak awal terlihat jika ibu tidak menyukai hubunganku dengan Mas Prasetyo. Begitupun dengan Wina. Setelah menikah, kami langsung menetap di Bandung selama empat tahun. Setelah itu pindah ke Jakarta karena Mas Prasetyo dipindah tugaskan. Awalnya, aku ingin mengontrak tetapi ibu meminta kami tinggal bersamanya. Aku sempat menolak, demi menjaga kenyamanan. Seperti kata orang dekat bau ta* jauh bau wangi. Namun, aku tak kuasa menolak permintaan suamiku yang ingin merawat ibu dan bapaknya. "Oh, ya, nanti mbak kirimin skincare dari dokter yang adiknya selebgram itu, ya. Mbak cocok, loh, pake itu." "Eh, ga usah, Mbak." "Ga apa apa, kebetulan Mbak beli banyak. Maklum emak-emak, nyari diskonan." Mbak Ayu terkekeh menyebut kebiasaan para ibu ibu dalam berbelanja. Aku turut tersenyum walau dengan hati teriris. Sebenarnya aku sudah menyadari wajahku terlihat kusam dan berkerut. Enam bulan terakhir, jatah keuanganku dipangkas oleh suamiku, dan hanya cukup untuk membeli kebutuhan Sakha. Ia mengatakan jika kami harus berhemat agar bisa memiliki rumah sendiri. Padahal aku juga berencana membeli yang tidak terlalu mahal. Lagipula, pemakaiannya sangat hemat. Untuk satu paket bisa dipakai selama dua bulan dengan harga terjangkau. Namun, selalu saja banyak alasan jika aku meminta lebih untuk membeli skincare. Di akhir, suamiku selalu berkata jika ia menyukaiku apa adanya. Tapi lihatlah! Ketika adiknya menghina, suamiku hanya diam saja. Bahkan, kepergok tengah tertawa. Padahal aku seperti ini karena ulahnya yang mengurangi jatah bulananku. Belum lagi perasaan yang selalu tersakiti dengan sikap mertua, ipar, juga keluarga ibu yang tingggal di sekitar sini. Membuat setiap kerutan di wajahku semakin bertambah karena pikiran. "Makasih, ya, Mbak!" Terlihat Mbak Ayu mengangguk sambil tersenyum. Beruntung masih ada Mbak Ayu yang bersikap baik padaku. Wajah yang cantik juga pekerjaan yang bonafit tak menbuatnya sombong dan merendahkan orang lain. Aku kagum padanya. Suara dering ponsel mengalihkan perhatian kami. Itu milik Mbak ayu yang diletakkan di meja. Mulutku langsung menganga ketika melihat layar yang menyala karena panggilan. Loh, itu, kan .... ***** Terima kasih yang sudah berkenan membaca. đ€ Teman-teman bisa juga baca cerbungku yang lainnya. 1. SUKSES USAI DISELINGKUHI_TAMAT. Istri yang kuanggap lemah dan tidak berpenghasilan, justru semakin sukses setelah aku tinggalkan. Dia terlihat cantik dan bahagia sementara aku ... 2. KESUKSESAN ISTRI BERDASTER_TAMAT. Gajiku 15 juta. Saran ibu, aku cukup memberi istriku dua juta untuk kebutuhan keluarga. Akan tetapi, istriku tak becus mengurus segalanya. Lihat saja! Masa makan sama tahu tempe terus, mana penampilannya selalu kucel pula. Dikemanakan gaji yang kuberikan padanya? Terima kasihđ€đđ» Happy readingđ€Suara dering ponsel mengalihkan perhatian kami. Itu milik Mbak ayu yang diletakkan di meja. Mulutku langsung menganga ketika melihat layar yang menyala karena panggilan. Loh, itu, kan ...."Wah, ada panggilan. Sebentar, ya, Han!" Mbak Ayu menyambar ponselnya lalu melangkah ke arah halaman belakang.Aku yang masih tertegun hanya mengangguk patah-patah. Masih memikirkan gambar yang ada di foto profil kakak iparku tersebut. Aku yakin sekali pernah melihatnya dalam galeri Mas Prasetyo."Apakah hanya kebetulan, ya?" Aku bergumam sendiri, memikirkan kemungkinan yang terjadi. Akan tetapi, kenapa letak dan posisinya juga sama. Seolah itu bukan gambar yang berbeda."Eh, Han, kok, malah ngelamun, sih! Bukannya bawa kue ke depan!" Suara ketus seseorang membuyarkan rasa penasaranku."Eh, iya, Bu." Aku menoleh sambil tersenyum kaku."Bocah wedo, kerjanya ga beres. Kebanyakan bengongnya," sindir ibu ketika aku m
Setelah memastikan Restu pergi, aku melangkah diam diam ke arah halaman belakang. Sayup sayup terdengar suara Mbak Ayu yang masih berbicara di telepon. Aku melangkah lebih mendekat, penasaran dengan siapa orang di seberang telepon. Namun, baru saja hendak mengayunkan kaki, seseorang menepuk pundakku."Ngapain kamu, De, ngendap ngendap gitu. Kaya maling aja!"Aku tersentak dengan jantung berdebar. Lalu refleks menoleh pada suara yang kukenal sambil memberi isyarat telunjuk di bibir. Khawatir Mbak Ayu melihat kami.Gegas aku berbalik, dan menggandeng Mas Prasetyo untuk kembali ke dapur."Kamu ngapain, sih! Lagi nguping, ya?" Suamiku menebak gelagatku yang mungkin terlihat mencurigakan.Aku sedikit gelagapan. Tidak mungkin kukatakan yang sebenarnya, jika aku mencurigai yang menelepon Mbak Ayu adalah Mas Prasetyo. Namun, nyatanya orang di seberang itu bukan suamiku.Terbukti ia ada di sin
Sudah tiga hari aku mendiamkan suamiku. Dan selama itu pula ia berlaku sama. Aneh saja! Kesalahan yang diperbuat tidak membuatnya merasa bersalah.Justru, ia sangat marah ketika aku protes tentang ketidak jujurannya. Dan kini, ia bersikap seolah-olah aku yang membuat kesalahan.Kenyataan bahwa yang membelikan ibu alat kecantikan itu adalah Mas Prasetyo, membuatku lemas seketika. Bukan karena cemburu, melainkan ketidakadilan juga ketidakjujurannya terhadapku."Mas, andai bapak ga bilang, pasti kamu juga ga akan ngasih tahu aku, kan?" Aku bertanya dengan suara bergetar, sementara suamiku terlihat salah tingkah.Saat itu bapak yang bersuara hendak membelikanku alat kecantikan itu juga. Katanya, bergantian. Jika ibu dibelikan Mas Prasetyo, maka bapak yang akan membelikanku. Namun, aku menolaknya dengan halus. Bukan tidak berterima kasih, tapi tatapan tajam ibu juga rengekan Mbak Wina yang mengatakan bapaknya pilih ka
"Han, boleh ummi bertanya?""Tentang apa, Mi?""Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?"Aku yang awalnya antusias ingin mendengar pertanyaan ummi Evi, langsung lemas seketika. Bahuku meluruh dengan wajah menunduk. Senyum sinis tersungging di bibirku.Mendengar satu kata itu, membuat mood-ku semakin buruk. Goresan hati sebab perilaku suamiku belum juga sembuh, kini ditambah luka di masa lalu yang kembali menganga."Jangan sebut orang itu, Ummi!" Aku meminta dengan suara lirih.Sekelebatan bayangan kala itu melintas dalam ingatan, membuatku tubuhku menegang."Jangan sebut orang itu!" Suaraku semakin serak, buliran bening telah menganak sungai. Tak kuasa menampung beban, akhirnya keluar juga airmata yang sejak tadi kutahan."Ia tetap ayahmu, Hana!"Â "Aku membencinya Ummi!""Kamu harus mendengarkan penjelasannya, Nak! Apa yang terjadi tidak seperti yan
"Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku.Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu "Siska!" Suara bariton yang penuh penekanan membuat kami menoleh serempak ke asal suara.Tampak bapak yang baru saja keluar rumah berdiri dengan rahang yang mengeras dan mata yang menatap tajam."Jangan kamu sentuh Hana!" perintah bapak.Demi melihat aura bapak yang terlihat tak bersahabat itu, membuat kami terdiam semua. Sementara Mbak Siska yang sedang dikuasai amarah langsung menguarkan kekesalannya."Hana buat aku kesal, Pak. Masa suamiku disuruh cari ibu baru buat anak anak!" "Ga mungkin ada asap kalau ga ada api!"
"Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang "Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar."Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya."Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi."Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska."Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda."Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas ArgaTerlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya."N
"Bu, bagaimana kalau si Hana sampai tahu?"Suara seorang yang kukenal membuatku menghentikan langkah di depan kamar ibu. Aku tercenung ketika namaku disebut. Dengan gerakan pelan aku lebih mendekat ke arah pintu, sambil mengawasi sekitar, memastikan tidak ada orang melihat."Ga mungkin tahu, lah!""Memang sampai kapan mau disembunyikan? Seharusnya diberitahu aja, Bu!""Ya enggalah. Nanti bisa dikacau sama si Hana itu. Nanti aja kalau udah nikah, baru dikasi tahu?"Kedua alisku tertaut, memikirkan obrolan keduanya. Siapa yang akan menikah? Dan kenapa aku tak boleh tahu?"Kira kira ngamuk ga, ya, Bu?""Mana berani dia? Lihat aja selama ini si Hana itu cuma manggut manggut aja, kan, kalau ibu dah ngomong ini itu?""Iya juga, sih! Untungnya dia polos, ya, Bu? Jadi, lumayan buat disuruh suruh.""Ya mau gimana lagi! Nasi udah jadi bubur! Mau dibuang,
Aku mematut diri di cermin, memperhatikan riasan yang sesuai dengan keinginanku. Ketika dirasa sudah cukup sempurna, aku menyungingkan senyum tipis. Tentu mereka akan tercengang dengan penampilanku ini. "Kini, semuanya tak akan sama!" Aku bergumam sendiri sambil menatap pantulan diri.Kuangkat dagu sedikit, dengan memasang wajah dingin sambil melemparkan tatapan tajam, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar.Penghuni rumah telah berkumpul di ruang tamu, memakai pakaian terbaik yang dimiliki. Semuanya terlihat berbeda. Sepertinya, mereka betul betul berusaha untuk tampil mengesankan."Hana!" pekik Mbak Siska yang pertama kali melihatku.Mendengar suara melengking itu, membuat yang lainnya menoleh ke Mbak siska, lalu beralih padangan mengikuti tatapan perempuan berambut sebahu itu. Dan seperti yang kuharapkan. Semua mata membulat melihat penampilanku."Astahgfirulloh, Hana! Kok, begini, sih!" ucap
Aku mengangguk mendengar permintaan anak berusia empat tahun itu. Ia langsung bersorak gembira dan segera menghampiri ke dua kakak barunya. Rara menanggapi dengan gembira tetapi tidak dengan Ari. Tatapannya terpaku lurus ke depan, aku mengikuti pandangannya. Sepertinya ia melihat foto keluarga yang terpampang di dinding ruang kerjaku."Mas Elang," gumamnya yang langsung membuatku refleks menoleh padanya."A-Ari." Aku memanggil anak lelaki yang masih menatap ke arah foto tersebut. Namun, ia seolah tak mendengar, masih fokus menatap salah satu diantara empat orang yang ada di gambar tersebut."Bang," panggil Ara sambil menyentuh tangan abangnya."Dipanggil Bu Hana," ucapnya ketika Ari menoleh padanya."Eh, iya, Bu. Maaf, saya ....""Ga apa Ari. Apa kamu mengenal orang di foto itu?" Mendengar pertanyaanku, ia menoleh pada adiknya. Ada keraguan untuk menjawab. Tetapi sesudahnya ia menggeleng."Saya tidak
Aku mengembangkan senyum ketika melihat tiga anak tengah bermain bersama. Dalam layar di depanku, semuanya terlihat sangat gembira.Terlebih Sakha yang tampak antusias memperlihatkan segala mainan dan mengajak bermain kedua orang yang baru dikenalnya."Bukan gitu mainnya, Mas. Gini, nih!" ucap anak lelakiku sambil memperagakan cara bermain sebuah mobil remote control.Di depannya, dengan seksama dua orang yang usianya terpaut tiga dan empat tahun dengan Sakha itu melihat dengan takjub. "Keren banget!" celetuk anak lelaki yang baru kuketahui bernama Ari."Iya, mobilnya bisa berubah bentuk juga," sahut adiknya yang bernama Rara."Ini, mas sama kakak coba," pinta Sakha sambil mengangsurkan remote kepada mereka.Tentu saja keduanya langsung semringah, menerima dengan sukacita lalu mulai mempraktekkan yang baru saja diajarkan oleh Sakha. Mereka bertiga tertawa tawa dan terlih
"Tidak usah, Bu. Hanya luka kecil. Mohon ibu memaafkan kami. Kami beneran tidak sengaja. Tolong biarkan kami pergi!" Anak lelaki tersebut mengutarakan permohonan. Wajahnya terlihat tampak cemas.Melihat kondisi keduanya yang memprihatinkan, aku mengangguk lalu tersenyum menyetujui permintaannya. Namun, ketika aku hendak berkata lagi, teriakan seseorang mengalihkan perhatian."Nah, itu mereka. Anak anak sialan!"Terlihat laki laki dewasa yang berjalan menghampiri dengan rahang mengeras dan mata yang melotot tajam. Di belakangnya turut mengikuti dua orang dengan tubuh yang diselimuti tato."Benar-benar mau mati, ya?!" teriaknya kasar dan hendak meraih tubuh kecil yang tadi langsung bersembunyi di belakangku."Ke sini! Dasar ga guna! Lebih baik menyusul ibu kalian ke ner4ka!" ucapnya lagi sambil melangkah menghampiriku. Dua orang pengawalku langsung menghadang dan memberi peringatan unt
Setelah memberi perintah, diiringi enam pengawal lainnya, aku melangkah menuju ke luar rumah sakit untuk beristirahat di hotel terdekat. Namun, langkahku terhenti ketika melihat dua orang tengah keluar dari ruang perawatan lainnya."Ummi." Aku memanggil perempuan yang tengah berbicara dengan oramg yang berada di sebelahnya.Terlihat ia terkejut melihat keberadaanku. Akan tetapi setelah itu ia tersenyum dan segera menyudahi pembicaraan dengan seorang dokter paruh baya."Assalamu'alaikum, Hana, kamu kenapa di sini?" tanyanya ketika aku telah berada di hadapan. Wajah yang dibingkai kekhawatiran itu melihat keadaan tubuhku dari kepala sampai ujung kaki."Wa'alaikummussalam. Hana baik baik saja, Mi. Ini kebetulan sedang menjenguk teman."Ada napas kelegaan yang keluar dari mulutnya. Setelah itu wajah yang tadi tampak tegang berangsur mengendur diiringi senyum yang selalu meneduhkan."Ummi sampai kaget, Na
"I-itu, kan!" ucap Mbak Wina dengan mata membulat sempurna ketika melihat ke arah depan.Melihatnya seperti itu membuatku menyungging senyum tipis, lalu kualihkan pandangan melihat ekspresi setiap orang yang ada di pelaminan.Semuanya tampak melotot dengan mulut terbuka. Terutama ibu yang langsung berdiri, memastikam gambar bergerak yang dilihatnya.Lihatlah, dalam video itu ditampilkan sebuah adegan satu keluarga yang tengah berbicara merencanakan sebuah kelicikkan.Mereka sedang membuat strategi untuk segera mendapatkan apa yang mereka dambakan. Dengan menjadikan seorang perempuan kaya menjadi menantu mereka."Pokoknya Prasetyo harus menikah sama Dania!" ucap ibu antusias."Pastinya, Bu. Lumayan, kan, dua menantu ibu orang kaya semua," sahut Mbak Wina yang berada di hadapan ibu. Mereka bertiga sedang berada di meja makan."Iya, dong! Masa kita mau gini gini aja! Harus a
Aku menatap gedung tinggi yang ada di hadapanku, lalu tersenyum membayangkan wajah wajah yamg awalnya ceria dan bahagia, akan berubah dengan kecemasan bahkan kemarahan."Kalian akan merasakan akibat dari perbuatan kalian sendiri!" Aku bergumam penuh keyakinan. Sebuah pertunjukkan akan segera dimulai.Diiringi beberapa pengawal, aku melangkah menuju lift dengan kepercayaan diri yang tinggi.Dari ekor mata, aku dapat melihat jika semua mata tertuju padaku, mungkin mereka takjub dengan penampilan juga pengawalan yang ada di sekitar."Selamat datang, Bu Ratu. Suatu kehormatan anda bisa hadir di pesta keluarga kami," sapa seorang lelaki paruh baya beserta istrinya dengan ramah ketika aku baru keluar lift. Kami saling berjabat tangan memberikan penghormatan. Beberapa orang tampak turut serta menyambut kehadiranku. Penampilan mereka semua sangat memukau dan setiap orang berusaha memberikan kesan yang baik.
Tujuh tahun lalu."Mas Elang kecelakaan, Non!" ucap Mbok Sumi ketika aku melihat beberapa penjaga bergegas keluar rumah."Apa?!Mendengar berita itu membuatku turut berlari dan mengejar mereka ke halaman depan."Hei, tunggu!"Dua mobil sudah melaju keluar gerbang, sedangkan satu mobil lagi hendak menyusul, tetapi aku masih sempat mengejar dan meminta mereka untuk berhenti."Aku ikut!" Aku berkata tegas ketika mereka menghentikan lajunya."Tapi, Non --.""Buka! Cepat!"Â Dengan sigap aku langsung masuk ketika pintu dibuka dan duduk di belakang. Setelah itu, mobil kembali melaju menyusul dua kendaraan lain yang sudah menjauh."Mau ke rumah sakit mana?""Kita tidak ke rumah sakit, Non! Tapi langsung ke lokasi kecelakaam.""Mas Elang belum dibawa ke rumah sakit? Kenapa bisa? Harusnya langsung dibawa ke rumah sakit!"
"Foto-foto itu diantar oleh tukang paket, Bu Hana. Tanpa ada nama si pengirim dan ditujukan untuk Pak Prasetyo," ucap seorang lelaki yang duduk di hadapanku melaporkan hasil penyelidikannya."Untuk Mas Pras!" Aku berguman pelan.Sepertinya memang ada yang sengaja ingin merusak rumah tanggaku. Dan misinya telah berhasil."Bagaimana Om Leo? Apa dia pelakunya?""Bukan, Bu. Pak Leo tidak tahu apa-apa. Ada seseorang yang menyusup dalam ruangan dan mengambil gambar secara diam diam."Aku menatap heran bawahanku yang selalu memasang wajah datar itu."Bagaimana bisa Om Leo sampai tidak tahu ada penyusup di sekitarnya?""Ini masih kami selidiki, Bu."Aku menghela napas, tak habis pikir dengan kelalaian lelaki yang kutahu sangat teliti dalam segala hal. Atau mungkin memang orang itu sangat hebat hingga berhasil mengelabui adik ibuku itu.Jika diperhatikan, foto foto it
Aku menepuk pelan punggung Sakha yang hendak terpejam sambil menyanyikan lagu pengantar tidur. Melihat tubuh kecil yang terdiam, membuat rasa bersalah menggelayut di hati. Semenjak pulang dari restoran siang tadi, aku langsung berdiam diri di kamar sambil meringkuk di atas kasur. Bayangan tentang peristiwa lalu membuat sendi di tubuhku terasa lunglai. Perasaan dan pikiran menjadi sangat tertekan."Maafkan, Bunda, Sakha!" Aku menghentikan nyanyian, lalu mengungkapkan sebuah permintaan maaf.Anak kecil berusia empat tahun itu sejak tadi bermain sendiri, tidak rewel memintaku untuk menemaninya. Seolah tahu jika hati ibunya sedang dilanda kegelisahan. Bahkan, melihatku yang hanya berbaring, Sakha sesekali memegang keningku.Tubuhku terasa panas. Ketakutan juga kekhawatiran membuat imunku semakin melemah, sebab memikirkan jika orang yang berada di malam itu adalah Om Leo. Tapi, apakah mungkin? "Jika memang itu adalah