Setelah memastikan Restu pergi, aku melangkah diam diam ke arah halaman belakang. Sayup sayup terdengar suara Mbak Ayu yang masih berbicara di telepon.
Aku melangkah lebih mendekat, penasaran dengan siapa orang di seberang telepon. Namun, baru saja hendak mengayunkan kaki, seseorang menepuk pundakku. "Ngapain kamu, De, ngendap ngendap gitu. Kaya maling aja!" Aku tersentak dengan jantung berdebar. Lalu refleks menoleh pada suara yang kukenal sambil memberi isyarat telunjuk di bibir. Khawatir Mbak Ayu melihat kami. Gegas aku berbalik, dan menggandeng Mas Prasetyo untuk kembali ke dapur. "Kamu ngapain, sih! Lagi nguping, ya?" Suamiku menebak gelagatku yang mungkin terlihat mencurigakan. Aku sedikit gelagapan. Tidak mungkin kukatakan yang sebenarnya, jika aku mencurigai yang menelepon Mbak Ayu adalah Mas Prasetyo. Namun, nyatanya orang di seberang itu bukan suamiku. Terbukti ia ada di sini, sementara Mbak Ayu masih menelepon. Syukurlah kecurigaanku salah. Aku beristighfar dalam hati telah menduga yang tidak tidak pada kakak iparku yang sangat baik padaku itu. Juga suamiku sendiri. "Eh, en-egga. Tadi aku lagi mau lihat tikus. Kaya sembunyi di balik pohon." Kulihat Mas Prasetyo mengerutkan kening. "Sejak kapan ada tikus di sini?" ucapnya tak percaya. Betul juga, sih. Rumah ibu selalu bersih dan terawat. Karena mertuaku itu sangat apik. Ibu akan sangat marah jika ada satu saja sampah yang diletakkan sembarangan. Jangankan tikus, cicak juga mungkin enggan untuk mampir ke rumah. Karena tak akan mendapatkan apa apa. Ibu akan murka jika ada makanan yang berceceran atau sisa makanan yang tidak langsung dibersihkan. "Ya bisa aja, Mas, namanya juga dia lagi nyoba nyoba, kali aja dapat peruntungan." Aku menjawab asal, menggedikkan bahu, lalu langsung mengalihkan pembicaraan. "Oh, ya, Mas. Nanti tolong suapin Sakha, ya. Habis anter snack ini, aku mau mandi dulu." "Kok, aku, sih! Kamu ajalah. Mandinya entar aja!" "Aku udah gerah, nih! Lagian sekalian makan sama yang lain." "Kenapa ga suruh Sakha makan sendiri aja, sih! Biasanya juga gitu!" "Janganlah, Mas. Lagi banyak orang, ga enak nanti berantakan. Nanti dimarahin ibu juga." "Ya udahlah, Sakha makannya habis kamu mandi aja. Justru karena banyak orang, masa aku yang disuruh nyuapin. Malu dong!" "Ih, kamu ini!" Aku mencebik mendengar jawaban lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Selalu saja beralasan jika diminta bantuan. Entahlah, sejak tinggal di rumah ibu, sikapnya semakin hari kian berubah. "Udah, Han. Biar Mbak aja yang nyuapin Sakha," ucap Mbak Ayu yang baru muncul dari pintu belakang. Kami berdua menoleh ke arahnya. "Eh, ga usah, Mbak. Ga apa apa nanti biar saya aja." Aku langsung menolak permintaannya. Tak enak jika harus disuapi kakak iparku tersebut. Terlebih bukan rahasia lagi jika Mbak Ayu memutuskan childfree salah satu penyebabnya karena tak mau direpotkan dengan urusan anak. "Iya, Mbak Ayu. Ga usah. Biar Hana aja!" sahut suamiku menimpali. Aku menengok ke arah Mas Prasetyo yang terlihat tanpa dosa menjawab seperti itu. Benar benar suami kurang peka dan tak perhatian. Sebenarnya, aku meminta tolong seperti itu hanya untuk bisa bersantai sejenak. Kesibukan yang dimulai dari pagi buta membuatku agak kelelahan. Apalagi Mbak siska juga tidak membantu. Hanya berdiam diri di kamar. Sementara ibu hanya bisa memerintah ini dan itu. Kondisinya sedang kurang fit, sehingga urusan memasak juga dilimpahkan padaku. Hanya saja dengan pengarahan dari ibu. Ingin berkata sejujurnya jika aku lelah, tetapi lelaki yang menikahiku hampir lima tahun itu selalu menganggap enteng masalah. Bahkan, kerapkali aku yang dianggap terlalu banyak mengeluh dan membandingkan dengan ibunya yaang pandai mengurus keluarga tanpa pembantu. "Udah ga apa, santai aja!" Mbak Sinta melangkah mendekati rak susun beroda di samping meja, berisi beberapa snack yang hendak kubawa ke ruang depan. "Ini yang mau dibawa ke depan, Han?" tunjuk Mbak Sinta ke samping meja. Aku mengangguk. "Iya, Mbak." "Ya udah, kamu mandi aja. Biar ini Mbak yang bawa. Nanti sekalian juga Mbak bilang ke yang lainnya kalau makanan sudah siap." "Makasih, Mbak." "Jangan sungkan! Kalau ada apa-apa ngomong aja, ya. Nanti Mbak bantu." "Iya, Mbak." "Ya udah kamu mandi sana! Ga usah terburu buru. Nanti anakmu Mbak yang suapin," ucap Mbak Ayu lalu melangkah ke depan sambil membawa rak susun beroda kecil berisi snack tersebut. Aku tak bisa mengelak lagi. Tak enak juga jika terus menolak. Aku menengok ke arah suamiku. Aku tertegun dengan tatapan suami yang tengah melihat kepergian Mbak Ayu. Terlihat sebuah kekaguman dari pandangannya. Baru saja, aku mengesampingkan kecurigaanku terhadap Mbak Ayu dan mas Prasetyo. Namun, melihat tingkah lelakiku seperti itu, membuatku menjadi resah. Apakah suamiku mengagumi Mbak Ayu yang memang terlihat sangat cantik dan fashionable? *** "Nih, Mbak Hana. Alat setrika wajah. Biar lebih awet muda," ucap Wina, adik ipar yang usianya di atasku enam tahun itu sambil menunjukkan sebuah alat kecantikan yang katanya dapat menghilangkan tanda tanda penuaan. "Beli ini, Mbak. Cuma lima juta aja. Tapi khasiatnya luar biasa. Biar Mas Pras makin cinta. Pasti suami seneng, kan, kalau istrinya tampak cantik dan terlihat muda," ucapnya lagi sambil menengok ke arah suamiku. "Bener, kan, Mas?" tanyanya meminta pendapat. Mas Prasetyo hanya tersenyum kikuk. Tak berani menjawab. Mungkin dia agak khawatir dengan harganya. "Wah, aku tahu, nih! Temanku ada yang pake juga. Dan emang wajahnya kelihatan lebih muda. Garis senyumnya hilang, terus pipinya agak naik, ga kendor gitu," timpal Mbak Siska antusias. "Emang sebagus itu alatnya, Mbak Siska. Aku juga pake ini, makanya wajahku keliatan awet muda," ucap Wina sambil melirik ke arahku. Apa maksudnya ia seperti itu? Ingin menyindirku lagi? "Ini kamu jualan, ya, Win?" tanya Mbak Siska sambil memegang dan melihat lihat alat tersebut. "Iya, Mbak. Tapi sistem PO. Kalau Mbak mau, nanti aku list, ya. Ibu juga udah pesan, loh!" Kulihat ibu mengangguk tersenyum. "Ya udah aku ambil deh, Win!" sahut Mbak Siska. "Mbak Ayu gimana? Mau pesan juga!" "Oke, boleh!" "Mbak Hana?" "Eh, aku ga usah dulu!" ucapku setelah mendapat kode dari Mas Prasetyo untuk menolak. Terlihat Mbak Wina bermasam muka. Perempuan yang sedang menjalankan bisnis kecantikan itu memang paling tak suka jika ditolak. "Ah, Mbak Hana. Jangan pelit pelitlah buat kecantikan. Ntar, Mas Pras naksir yang lain baru nyesel, loh," ucapnya menakuti. Dan aku paling tidak suka jika didesak dengam ancaman seperti itu. Bukannya aku tak mau membeli. Akan tetapi, Mas Prasetyo tidak mengizinkan. Jangakan yang jutaan, ratusan ribu pun memintanya penuh perjuangan. Apa ia bilang. Aku pelit? Padahal mereka juga tahu keuangan dipegang oleh suamiku. "Biar aku saja yang belikan buat Hana!" Suara seseorang dari pintu utama membuat kami semua menoleh.Sudah tiga hari aku mendiamkan suamiku. Dan selama itu pula ia berlaku sama. Aneh saja! Kesalahan yang diperbuat tidak membuatnya merasa bersalah.Justru, ia sangat marah ketika aku protes tentang ketidak jujurannya. Dan kini, ia bersikap seolah-olah aku yang membuat kesalahan.Kenyataan bahwa yang membelikan ibu alat kecantikan itu adalah Mas Prasetyo, membuatku lemas seketika. Bukan karena cemburu, melainkan ketidakadilan juga ketidakjujurannya terhadapku."Mas, andai bapak ga bilang, pasti kamu juga ga akan ngasih tahu aku, kan?" Aku bertanya dengan suara bergetar, sementara suamiku terlihat salah tingkah.Saat itu bapak yang bersuara hendak membelikanku alat kecantikan itu juga. Katanya, bergantian. Jika ibu dibelikan Mas Prasetyo, maka bapak yang akan membelikanku. Namun, aku menolaknya dengan halus. Bukan tidak berterima kasih, tapi tatapan tajam ibu juga rengekan Mbak Wina yang mengatakan bapaknya pilih ka
"Han, boleh ummi bertanya?""Tentang apa, Mi?""Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?"Aku yang awalnya antusias ingin mendengar pertanyaan ummi Evi, langsung lemas seketika. Bahuku meluruh dengan wajah menunduk. Senyum sinis tersungging di bibirku.Mendengar satu kata itu, membuat mood-ku semakin buruk. Goresan hati sebab perilaku suamiku belum juga sembuh, kini ditambah luka di masa lalu yang kembali menganga."Jangan sebut orang itu, Ummi!" Aku meminta dengan suara lirih.Sekelebatan bayangan kala itu melintas dalam ingatan, membuatku tubuhku menegang."Jangan sebut orang itu!" Suaraku semakin serak, buliran bening telah menganak sungai. Tak kuasa menampung beban, akhirnya keluar juga airmata yang sejak tadi kutahan."Ia tetap ayahmu, Hana!" "Aku membencinya Ummi!""Kamu harus mendengarkan penjelasannya, Nak! Apa yang terjadi tidak seperti yan
"Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku.Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu "Siska!" Suara bariton yang penuh penekanan membuat kami menoleh serempak ke asal suara.Tampak bapak yang baru saja keluar rumah berdiri dengan rahang yang mengeras dan mata yang menatap tajam."Jangan kamu sentuh Hana!" perintah bapak.Demi melihat aura bapak yang terlihat tak bersahabat itu, membuat kami terdiam semua. Sementara Mbak Siska yang sedang dikuasai amarah langsung menguarkan kekesalannya."Hana buat aku kesal, Pak. Masa suamiku disuruh cari ibu baru buat anak anak!" "Ga mungkin ada asap kalau ga ada api!"
"Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang "Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar."Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya."Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi."Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska."Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda."Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas ArgaTerlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya."N
"Bu, bagaimana kalau si Hana sampai tahu?"Suara seorang yang kukenal membuatku menghentikan langkah di depan kamar ibu. Aku tercenung ketika namaku disebut. Dengan gerakan pelan aku lebih mendekat ke arah pintu, sambil mengawasi sekitar, memastikan tidak ada orang melihat."Ga mungkin tahu, lah!""Memang sampai kapan mau disembunyikan? Seharusnya diberitahu aja, Bu!""Ya enggalah. Nanti bisa dikacau sama si Hana itu. Nanti aja kalau udah nikah, baru dikasi tahu?"Kedua alisku tertaut, memikirkan obrolan keduanya. Siapa yang akan menikah? Dan kenapa aku tak boleh tahu?"Kira kira ngamuk ga, ya, Bu?""Mana berani dia? Lihat aja selama ini si Hana itu cuma manggut manggut aja, kan, kalau ibu dah ngomong ini itu?""Iya juga, sih! Untungnya dia polos, ya, Bu? Jadi, lumayan buat disuruh suruh.""Ya mau gimana lagi! Nasi udah jadi bubur! Mau dibuang,
Aku mematut diri di cermin, memperhatikan riasan yang sesuai dengan keinginanku. Ketika dirasa sudah cukup sempurna, aku menyungingkan senyum tipis. Tentu mereka akan tercengang dengan penampilanku ini. "Kini, semuanya tak akan sama!" Aku bergumam sendiri sambil menatap pantulan diri.Kuangkat dagu sedikit, dengan memasang wajah dingin sambil melemparkan tatapan tajam, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar.Penghuni rumah telah berkumpul di ruang tamu, memakai pakaian terbaik yang dimiliki. Semuanya terlihat berbeda. Sepertinya, mereka betul betul berusaha untuk tampil mengesankan."Hana!" pekik Mbak Siska yang pertama kali melihatku.Mendengar suara melengking itu, membuat yang lainnya menoleh ke Mbak siska, lalu beralih padangan mengikuti tatapan perempuan berambut sebahu itu. Dan seperti yang kuharapkan. Semua mata membulat melihat penampilanku."Astahgfirulloh, Hana! Kok, begini, sih!" ucap
"Apa yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan, Han." Ummi berkata sambil menatap gemericik air pancuran yang berada di kolam ikan. Kami sedang duduk berdampingan di halaman belakang rumah.Aku menoleh pada perempuan yang sebaya dengan almarhum ibuku itu. "Kamu tahu, kan, kisah yang lagi viral di medsos itu?" tanyanya masih menatap ke depan.Aku memgangguk. Potongan video itu sering lewat di beranda media sosialku. Seorang menantu tengah berteriak kepada ibu mertua dan kakak iparnya. Lalu, si perempuan muda itu pergi tanpa mempedulikan panggilan perempuan yang melahirkan suaminya."Karena melihat sesuatu yang sepotong, banyak orang langsung menghujat bahkan menghina si perempuan muda."Aku menyimak dengan seksama."Sebenarnya ga salah juga, karena cuplikan video itu memang membuat geram orang yang menontonnya. Namun, ...."Ummi Evi menjeda ucapannya
Saat hendak berbelok, mengikuti si penunjuk arah. Terdengar suara seseorang yang sangat kukenal."Bu, itu bukannya Mbak Hana?""Ngaco kamu, mana mungkin itu dia! Kaya bumi sama langit," ucapnya kasak kusuk, tetapi masih terdengar olehku."Iya juga ya, Bu, ga mungkin Mbak Hana bisa secantik dan lebih muda seperti itu."Tanpa menoleh, pun, aku tahu siapa yang berbicara. Tentu saja mereka tak akan mengira jika aku adalah si menantu yang tak mereka harapkan. Apalagi aku menggunakan make up terbaik yang membuat wajahku semakin sempurna. Tidak terlihat tua seperti yang selalu dikatakan adik iparku itu. Seiring langkah yang menjauh, suara kedua orang tersebut tidak terdengar lagi. Aku disambut hangat oleh keluarga Diantoro ketika si pengantar memberitahukan identitasku."Selamat datang, Bu Ratu," sambut lelaki bertumbuh gempal sambil mengulurkan tangan kanannya. Wajahnya terlihat sangat ram
Aku mengangguk mendengar permintaan anak berusia empat tahun itu. Ia langsung bersorak gembira dan segera menghampiri ke dua kakak barunya. Rara menanggapi dengan gembira tetapi tidak dengan Ari. Tatapannya terpaku lurus ke depan, aku mengikuti pandangannya. Sepertinya ia melihat foto keluarga yang terpampang di dinding ruang kerjaku."Mas Elang," gumamnya yang langsung membuatku refleks menoleh padanya."A-Ari." Aku memanggil anak lelaki yang masih menatap ke arah foto tersebut. Namun, ia seolah tak mendengar, masih fokus menatap salah satu diantara empat orang yang ada di gambar tersebut."Bang," panggil Ara sambil menyentuh tangan abangnya."Dipanggil Bu Hana," ucapnya ketika Ari menoleh padanya."Eh, iya, Bu. Maaf, saya ....""Ga apa Ari. Apa kamu mengenal orang di foto itu?" Mendengar pertanyaanku, ia menoleh pada adiknya. Ada keraguan untuk menjawab. Tetapi sesudahnya ia menggeleng."Saya tidak
Aku mengembangkan senyum ketika melihat tiga anak tengah bermain bersama. Dalam layar di depanku, semuanya terlihat sangat gembira.Terlebih Sakha yang tampak antusias memperlihatkan segala mainan dan mengajak bermain kedua orang yang baru dikenalnya."Bukan gitu mainnya, Mas. Gini, nih!" ucap anak lelakiku sambil memperagakan cara bermain sebuah mobil remote control.Di depannya, dengan seksama dua orang yang usianya terpaut tiga dan empat tahun dengan Sakha itu melihat dengan takjub. "Keren banget!" celetuk anak lelaki yang baru kuketahui bernama Ari."Iya, mobilnya bisa berubah bentuk juga," sahut adiknya yang bernama Rara."Ini, mas sama kakak coba," pinta Sakha sambil mengangsurkan remote kepada mereka.Tentu saja keduanya langsung semringah, menerima dengan sukacita lalu mulai mempraktekkan yang baru saja diajarkan oleh Sakha. Mereka bertiga tertawa tawa dan terlih
"Tidak usah, Bu. Hanya luka kecil. Mohon ibu memaafkan kami. Kami beneran tidak sengaja. Tolong biarkan kami pergi!" Anak lelaki tersebut mengutarakan permohonan. Wajahnya terlihat tampak cemas.Melihat kondisi keduanya yang memprihatinkan, aku mengangguk lalu tersenyum menyetujui permintaannya. Namun, ketika aku hendak berkata lagi, teriakan seseorang mengalihkan perhatian."Nah, itu mereka. Anak anak sialan!"Terlihat laki laki dewasa yang berjalan menghampiri dengan rahang mengeras dan mata yang melotot tajam. Di belakangnya turut mengikuti dua orang dengan tubuh yang diselimuti tato."Benar-benar mau mati, ya?!" teriaknya kasar dan hendak meraih tubuh kecil yang tadi langsung bersembunyi di belakangku."Ke sini! Dasar ga guna! Lebih baik menyusul ibu kalian ke ner4ka!" ucapnya lagi sambil melangkah menghampiriku. Dua orang pengawalku langsung menghadang dan memberi peringatan unt
Setelah memberi perintah, diiringi enam pengawal lainnya, aku melangkah menuju ke luar rumah sakit untuk beristirahat di hotel terdekat. Namun, langkahku terhenti ketika melihat dua orang tengah keluar dari ruang perawatan lainnya."Ummi." Aku memanggil perempuan yang tengah berbicara dengan oramg yang berada di sebelahnya.Terlihat ia terkejut melihat keberadaanku. Akan tetapi setelah itu ia tersenyum dan segera menyudahi pembicaraan dengan seorang dokter paruh baya."Assalamu'alaikum, Hana, kamu kenapa di sini?" tanyanya ketika aku telah berada di hadapan. Wajah yang dibingkai kekhawatiran itu melihat keadaan tubuhku dari kepala sampai ujung kaki."Wa'alaikummussalam. Hana baik baik saja, Mi. Ini kebetulan sedang menjenguk teman."Ada napas kelegaan yang keluar dari mulutnya. Setelah itu wajah yang tadi tampak tegang berangsur mengendur diiringi senyum yang selalu meneduhkan."Ummi sampai kaget, Na
"I-itu, kan!" ucap Mbak Wina dengan mata membulat sempurna ketika melihat ke arah depan.Melihatnya seperti itu membuatku menyungging senyum tipis, lalu kualihkan pandangan melihat ekspresi setiap orang yang ada di pelaminan.Semuanya tampak melotot dengan mulut terbuka. Terutama ibu yang langsung berdiri, memastikam gambar bergerak yang dilihatnya.Lihatlah, dalam video itu ditampilkan sebuah adegan satu keluarga yang tengah berbicara merencanakan sebuah kelicikkan.Mereka sedang membuat strategi untuk segera mendapatkan apa yang mereka dambakan. Dengan menjadikan seorang perempuan kaya menjadi menantu mereka."Pokoknya Prasetyo harus menikah sama Dania!" ucap ibu antusias."Pastinya, Bu. Lumayan, kan, dua menantu ibu orang kaya semua," sahut Mbak Wina yang berada di hadapan ibu. Mereka bertiga sedang berada di meja makan."Iya, dong! Masa kita mau gini gini aja! Harus a
Aku menatap gedung tinggi yang ada di hadapanku, lalu tersenyum membayangkan wajah wajah yamg awalnya ceria dan bahagia, akan berubah dengan kecemasan bahkan kemarahan."Kalian akan merasakan akibat dari perbuatan kalian sendiri!" Aku bergumam penuh keyakinan. Sebuah pertunjukkan akan segera dimulai.Diiringi beberapa pengawal, aku melangkah menuju lift dengan kepercayaan diri yang tinggi.Dari ekor mata, aku dapat melihat jika semua mata tertuju padaku, mungkin mereka takjub dengan penampilan juga pengawalan yang ada di sekitar."Selamat datang, Bu Ratu. Suatu kehormatan anda bisa hadir di pesta keluarga kami," sapa seorang lelaki paruh baya beserta istrinya dengan ramah ketika aku baru keluar lift. Kami saling berjabat tangan memberikan penghormatan. Beberapa orang tampak turut serta menyambut kehadiranku. Penampilan mereka semua sangat memukau dan setiap orang berusaha memberikan kesan yang baik.
Tujuh tahun lalu."Mas Elang kecelakaan, Non!" ucap Mbok Sumi ketika aku melihat beberapa penjaga bergegas keluar rumah."Apa?!Mendengar berita itu membuatku turut berlari dan mengejar mereka ke halaman depan."Hei, tunggu!"Dua mobil sudah melaju keluar gerbang, sedangkan satu mobil lagi hendak menyusul, tetapi aku masih sempat mengejar dan meminta mereka untuk berhenti."Aku ikut!" Aku berkata tegas ketika mereka menghentikan lajunya."Tapi, Non --.""Buka! Cepat!" Dengan sigap aku langsung masuk ketika pintu dibuka dan duduk di belakang. Setelah itu, mobil kembali melaju menyusul dua kendaraan lain yang sudah menjauh."Mau ke rumah sakit mana?""Kita tidak ke rumah sakit, Non! Tapi langsung ke lokasi kecelakaam.""Mas Elang belum dibawa ke rumah sakit? Kenapa bisa? Harusnya langsung dibawa ke rumah sakit!"
"Foto-foto itu diantar oleh tukang paket, Bu Hana. Tanpa ada nama si pengirim dan ditujukan untuk Pak Prasetyo," ucap seorang lelaki yang duduk di hadapanku melaporkan hasil penyelidikannya."Untuk Mas Pras!" Aku berguman pelan.Sepertinya memang ada yang sengaja ingin merusak rumah tanggaku. Dan misinya telah berhasil."Bagaimana Om Leo? Apa dia pelakunya?""Bukan, Bu. Pak Leo tidak tahu apa-apa. Ada seseorang yang menyusup dalam ruangan dan mengambil gambar secara diam diam."Aku menatap heran bawahanku yang selalu memasang wajah datar itu."Bagaimana bisa Om Leo sampai tidak tahu ada penyusup di sekitarnya?""Ini masih kami selidiki, Bu."Aku menghela napas, tak habis pikir dengan kelalaian lelaki yang kutahu sangat teliti dalam segala hal. Atau mungkin memang orang itu sangat hebat hingga berhasil mengelabui adik ibuku itu.Jika diperhatikan, foto foto it
Aku menepuk pelan punggung Sakha yang hendak terpejam sambil menyanyikan lagu pengantar tidur. Melihat tubuh kecil yang terdiam, membuat rasa bersalah menggelayut di hati. Semenjak pulang dari restoran siang tadi, aku langsung berdiam diri di kamar sambil meringkuk di atas kasur. Bayangan tentang peristiwa lalu membuat sendi di tubuhku terasa lunglai. Perasaan dan pikiran menjadi sangat tertekan."Maafkan, Bunda, Sakha!" Aku menghentikan nyanyian, lalu mengungkapkan sebuah permintaan maaf.Anak kecil berusia empat tahun itu sejak tadi bermain sendiri, tidak rewel memintaku untuk menemaninya. Seolah tahu jika hati ibunya sedang dilanda kegelisahan. Bahkan, melihatku yang hanya berbaring, Sakha sesekali memegang keningku.Tubuhku terasa panas. Ketakutan juga kekhawatiran membuat imunku semakin melemah, sebab memikirkan jika orang yang berada di malam itu adalah Om Leo. Tapi, apakah mungkin? "Jika memang itu adalah