"Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku.
Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu "Siska!" Suara bariton yang penuh penekanan membuat kami menoleh serempak ke asal suara. Tampak bapak yang baru saja keluar rumah berdiri dengan rahang yang mengeras dan mata yang menatap tajam. "Jangan kamu sentuh Hana!" perintah bapak. Demi melihat aura bapak yang terlihat tak bersahabat itu, membuat kami terdiam semua. Sementara Mbak Siska yang sedang dikuasai amarah langsung menguarkan kekesalannya. "Hana buat aku kesal, Pak. Masa suamiku disuruh cari ibu baru buat anak anak!" "Ga mungkin ada asap kalau ga ada api!" Mbak Siska mengerutkan kening sejenak. Sesudahnya ia seperti mengerti maksud ucapan bapak. "Loh, aku cuma berkata yang sebenarnya, Pak!" ucapnya Membela diri. "Apa yang dikatakan Hana adalah kebenaran juga!" tegas lelaki berusia tujuh puluh tahun tersebut. Mendengar penuturan yang terkesan terus membelaku, membuat Mbak siska membulatkan mata dengan mulut menganga. Terlebih kalimat yang diucapkan bapak seolah telak mengatakan jika ia adalah biang masalahnya. "Kenapa bapak selalu membela Hana?" "Bapak tidak membela siapa pun. Tapi bapak hanya mengatakan keadaan yang sebenarnya." Mbak siska berdecak kesal, dan hendak kembali bersuara. Tetapi, dari belakang ibu meminta untuk menyudahi perdebatan. "Sudah, sudah, malu dilihat tetangga. Dah, Siska kamu ngalah aja," ucap ibu beranjak berdiri, lalu melangkah melewatiku tanpa menoleh menuju ke dalam rumah. Mbak Sinta mencebik, kemudian turut melangkah dengan menghentakkan kakinya. Sementara Bi Tirah yang terlihat salah tingkah, langsung berjalan pelan sambil tersenyum takut takut kepada bapak, lalu setelah melewati kami. Ia langsung berjalan terbirit-birit. "Maafin Hana, Pak!" "Kamu ga salah!" ucapnya dengan suara yang melembut. "Sudah, bawa Sakha ke dalam. Kasian dia tidur dengan posisi begitu." Aku mengangguk sambil tersenyum. "Hana ke dalam dulu, Pak!" "Iya." Aku kembali membenarkan posisi Sakha yang merosot dalam gendongan, lalu berjalan melewati bapak yang terdiam dengan wajah yang tidak setegang tadi. *** "Han, kamu beli sayur asem sama tempe tahu di warung Mpok Ijah!" perintah ibu ketika aku hendak ke kamar mandi. "Hana mandi dulu, Bu. Mumpung Sakha masih tidur." "Mending belanja dulu aja, takut keburu tutup. Ini udah mau jam lima," kekeuh ibu sambil mengangsurkan uang berwarna biru. Aku terpaksa mengambil lembaran tersebut, lalu kembali melangkah ke kamar. Meletakkan handuk. Kalau sudah sedikit memaksa, artinya ibu tak mau dibantah. "Mpok, sayur asemnya masih ada?" "Ada, noh, tinggal satu," sahut Mpok Ijah sambil menujuk sebuah bungkusan plastik berwarna putih. Aku langsung melihat ke arah yang dimaksud dan mengambilnya. "Tumbenan sore amat, Neng Hana?" "Iya, Mpok, baru pulang dari rumah Ummi." "Oh, yang di Bogor itu, ya?" Aku mengangguk sambil mengambil tahu dan tempe. "Tempenya cuma ini aja, ya, Mpok?" "Iya, Neng. Untung itu mah, tinggal satu. Biasanya hari gini udah habis." "Alhamdulillah, Mpok, berarti masih rejeki." Warung Mpok Ijah memang sudah terlihat agak kosong. Perempuan itu juga tengah membereskan dagangan yang diletakkan di luar. Sepertinya ia mau menutup warung. Ada untungnya juga aku mengikuti perintah ibu. "Eh, iya, Neng. Kemarin itu ada acara apa di pantai Pangandaran? "Pantai?" "Ish, masa Neng lupa. Kan, baru hari minggu kemarin." Mpok Ijah terlihat gemas melihatku yang kebingungan, ia menganggapku seperti orang yang hilang ingatan. Padahal aku sedang mencerna ucapannya. "Mpok salah orang kali!" "Ah, engga. Nih, kalau ga percaya. Pas Mpok lagi foto foto, eh ada Mas Pras yang keikut foto di belakang." Perempuan yang berusia sekitar empat puluh lima tahun itu mengambil ponselnya di saku. "Nih, coba lihat!" Ia mengangsurkan benda persegi tersebut padaku dan menunjukkan sebuah gambar. Tampak Mpok Ijah bersama keuarganya. Sementara di belekangnya terlihat beberapa lelaki yang tengah berdiri di bibir pantai sambil tertawa. Kebetulan posisinya memang pas menghadap kamera. Dan salah satunya adalah Mas Prasetyo. Aku mencoba mengingat, minggu lalu suaniku itu memang pamit untuk pergi bersama teman-temannya selama dua hari. Menaiki motor ke pantai pangandaran. Hal biasa yang dilakukan tiga bulan sekali untuk sekedar hiburan melepaskan penat setelah sibuk dengan aktivitas bekerja. Aku tak pernah melarangnya. Buat seorang lelaki, mungkin seperti itulah bentuk healingnya. Lagipula aku juga mengenal beberapa orang teman suamiku yang ikut kegiatan tersebut. Dan semuanya laki-laki. "Oh, iya itu, lagi jalan jalan aja, Mpok! Biasalah healing." "Owalah, kirain lagi hanimun. Habis mesra banget, sih, kaya pengantin baru?" ucap Mpok Ijah yang membuatku menurunkan garis senyum seketika. "Mesra?" Aku tertegun. Bertanya dalam hati. Bukankah dalam foto itu laki-laki semua? "Et, dah, Neng Hana. Dari tadi kaya orang keder. Baru juga minggu kemarin, dah lupa aja!" Mpok Ijah menggeleng melihatku yang mungkin sejak tadi seperti orang linglung. "Pas mau chek in hotel, Mpok lihat Mas Pras sama Neng Hana lagi jalan sambil gandengan, mau ke arah lift. Mau Mpok tegor, eh, si Memet manggil manggil minta ktp. Ga jadi negor, deh!" Kedua mataku membulat mendengar penjelasan orang di hadapanku ini. Hotel? Ada perasaan tak enak menyusup dalam hati. Ucapan perempuan penjual beraneka sayur dan lauk pauk mentah ini membuatku bertanya-tanya. Apa benar Mas Prasetyo terlihat mesra dengan perempuan yang dikira aku? Lalu, siapa perempuan itu? Tring! Suara ponsel di sakuku, mengalihkan perhatian kami. "Bentar ya, Mpok!" "Oke." Aku langsung mengambil benda itu, lalu melihat sebuah pesan yang masuk. Sempat terheran dengan nomor yang tak dikenal. Karena penasaran, kubuka chat dari orang tak bernama itu. Betapa kagetnya aku ketika melihat foto yang dikirimkannya tersebut."Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang "Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar."Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya."Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi."Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska."Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda."Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas ArgaTerlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya."N
"Bu, bagaimana kalau si Hana sampai tahu?"Suara seorang yang kukenal membuatku menghentikan langkah di depan kamar ibu. Aku tercenung ketika namaku disebut. Dengan gerakan pelan aku lebih mendekat ke arah pintu, sambil mengawasi sekitar, memastikan tidak ada orang melihat."Ga mungkin tahu, lah!""Memang sampai kapan mau disembunyikan? Seharusnya diberitahu aja, Bu!""Ya enggalah. Nanti bisa dikacau sama si Hana itu. Nanti aja kalau udah nikah, baru dikasi tahu?"Kedua alisku tertaut, memikirkan obrolan keduanya. Siapa yang akan menikah? Dan kenapa aku tak boleh tahu?"Kira kira ngamuk ga, ya, Bu?""Mana berani dia? Lihat aja selama ini si Hana itu cuma manggut manggut aja, kan, kalau ibu dah ngomong ini itu?""Iya juga, sih! Untungnya dia polos, ya, Bu? Jadi, lumayan buat disuruh suruh.""Ya mau gimana lagi! Nasi udah jadi bubur! Mau dibuang,
Aku mematut diri di cermin, memperhatikan riasan yang sesuai dengan keinginanku. Ketika dirasa sudah cukup sempurna, aku menyungingkan senyum tipis. Tentu mereka akan tercengang dengan penampilanku ini. "Kini, semuanya tak akan sama!" Aku bergumam sendiri sambil menatap pantulan diri.Kuangkat dagu sedikit, dengan memasang wajah dingin sambil melemparkan tatapan tajam, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar.Penghuni rumah telah berkumpul di ruang tamu, memakai pakaian terbaik yang dimiliki. Semuanya terlihat berbeda. Sepertinya, mereka betul betul berusaha untuk tampil mengesankan."Hana!" pekik Mbak Siska yang pertama kali melihatku.Mendengar suara melengking itu, membuat yang lainnya menoleh ke Mbak siska, lalu beralih padangan mengikuti tatapan perempuan berambut sebahu itu. Dan seperti yang kuharapkan. Semua mata membulat melihat penampilanku."Astahgfirulloh, Hana! Kok, begini, sih!" ucap
"Apa yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan, Han." Ummi berkata sambil menatap gemericik air pancuran yang berada di kolam ikan. Kami sedang duduk berdampingan di halaman belakang rumah.Aku menoleh pada perempuan yang sebaya dengan almarhum ibuku itu. "Kamu tahu, kan, kisah yang lagi viral di medsos itu?" tanyanya masih menatap ke depan.Aku memgangguk. Potongan video itu sering lewat di beranda media sosialku. Seorang menantu tengah berteriak kepada ibu mertua dan kakak iparnya. Lalu, si perempuan muda itu pergi tanpa mempedulikan panggilan perempuan yang melahirkan suaminya."Karena melihat sesuatu yang sepotong, banyak orang langsung menghujat bahkan menghina si perempuan muda."Aku menyimak dengan seksama."Sebenarnya ga salah juga, karena cuplikan video itu memang membuat geram orang yang menontonnya. Namun, ...."Ummi Evi menjeda ucapannya
Saat hendak berbelok, mengikuti si penunjuk arah. Terdengar suara seseorang yang sangat kukenal."Bu, itu bukannya Mbak Hana?""Ngaco kamu, mana mungkin itu dia! Kaya bumi sama langit," ucapnya kasak kusuk, tetapi masih terdengar olehku."Iya juga ya, Bu, ga mungkin Mbak Hana bisa secantik dan lebih muda seperti itu."Tanpa menoleh, pun, aku tahu siapa yang berbicara. Tentu saja mereka tak akan mengira jika aku adalah si menantu yang tak mereka harapkan. Apalagi aku menggunakan make up terbaik yang membuat wajahku semakin sempurna. Tidak terlihat tua seperti yang selalu dikatakan adik iparku itu. Seiring langkah yang menjauh, suara kedua orang tersebut tidak terdengar lagi. Aku disambut hangat oleh keluarga Diantoro ketika si pengantar memberitahukan identitasku."Selamat datang, Bu Ratu," sambut lelaki bertumbuh gempal sambil mengulurkan tangan kanannya. Wajahnya terlihat sangat ram
Terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah, sepertinya mereka telah kembali dari pesta. Untunglah aku sudah selesai membersihkan diri dan menyimpan segala perlengkapanku."Sakha!" Aku langsung mengambil anak lelaki yang terlelap dalam gendongan ayahnya ketika pintu utama kubuka.Mendengarnya hilang dalam keramaian membuat jantungku berdetak tak karuan. Beruntung saat itu ada seorang lelaki muda baik yang mau menemani dan membantunya.Saat itu, ketika aku ingin menghampiri, kulihat Mas Prasetyo juga tengah berlari kearahnya. Tampak kepanikan juga menghiasai wajah suamiku. Aku menghentikan langkah, lalu mencari tempat persembunyiam agak tak terlihat olehnya."Ya ampun, Hana, anakmu itu cuma pergi sebentar, sama ayahnya pula. Kok, kaya orang baru kehilangan aja. Lebay sekali kamu!" sindir ibu yang berada di belakang Mas Prasetyo.Melihatku yang memeluk dengan erat, menciumi wajah dan tubuh Sakha, juga tanpa s
Aku meradang demi mendengar keputusan ibu yang memanfaatkan situasai dengan mengatas namakan sebuah janji. Teganya ia membuat badai dalam ketenangan keluarga kecilku. Dan di saat aku menahan sesak bercampur kesal, terdengar suara teriakan Mbak Siska dari ruang tamu kemudian disusul lengkingan suara tangisan Sakha."Sakha!" Aku langsung bergegas ke asal suara dan langsung terbelalak mendapati pemandangan di depanku."Dasar anak nakal!" ucap Mbak Siska yang tengah mencubit Sakha sehingga membuat anakku itu semakin mengeraskan suara."Mbak Siska!" Aku berteriak sambil menyingkirkan tangannya yang hendak menyakiti Sakha lagi."Apa apaan, sih, Mbak. Kok, main cubit aja." Kuambil tubuh kecil yang tampak kesakitan. Lalu melihat pergelangan tangan dipegangnya.Aku semakin membulatkan mata ketika melihat luka terkelupas di lengan Sakha. "Ajarin anakmu, tuh. Jangan suka ngambil barang orang. Ma
Waktu sudah menujukkan pukul dua belas siang. Aku beranjak keluar kamar bersama Sakha menuju ruang makan."Nih, ayamnya buat Bimo, makan yang banyak, ya, Sayang," ucap ibu ketika aku hampir mendekati meja makan.Di sana tampak ibu, Mbak Siska dan juga Bimo. Mereka tengah menikmati makan siang bersama. Aku mengerutkan kening ketika sudah berdiri di hadapan meja."Loh, kok, lauknya sudah habis?" Aku bertanya ketika melihat wadah lauk yang tampak kosong. Begitu juga nasi yang hanya tinggal sisa di pinggiran bakul."Kaya nyonya besar aja, mau makan udah tersedia. Masak sendiri sana!" sembur ibu."Tahu, nih, habis sarapan masuk kamar, keluar keluar minta makan! Enak benar hidup kamu!" timpal Mbak Siska. Seperti biasa selalu memanasi suasana.Padahal sehabis sarapan tadi aku langsung mencuci piring dan membersihkan peralatan bekas ibu memasak. Tapi Mbak Siska berbicara seolah aku bak nyonya, yang sehabis m