แชร์

Sesal

ผู้เขียน: Srirama Adafi
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-07 10:03:04

"Pergilah, Mas! Tapi setelah ini, semua orang akan tahu kalau kita sudah menikah lagi!"

Angga tertegun mendengar ancaman dari Indri. Lelaki berwajah bersih itu menghembuskan napas kasar, kemudian membanting pintu mobilnya.

Dengan langkah lebar, ia kembali menuju tempat dimana Indri berada. Wajahnya kini merah padam dan rahangnya mengatup dengan keras. Saat ini kesabarannya benar-benar habis.

Begitu tiba di teras, ia menatap Anggita lalu berkata dengan tegas. "Gita ke kamar dulu! Ayah mau bicara penting sama Bunda."

Melihat wajah ayahnya yang tampak menyeramkan, Anggita tak berani membantah. Meski tangisnya masih belum reda, balita itu menurut untuk masuk ke rumah.

Angga menghela napas panjang begitu siluet Anggita tak terlihat lagi. Kini ia menatap tajam pada Indri setelah sebelumnya enggan sekali menatapnya.

"Mau kamu apa?" Angga tidak membentak, tetapi suaranya cukup menggetarkan kepercayaan diri Indri.

Indri memilih bungkam. Untuk menutupi kegusarannya, ia membuang muka dan masih bersikeras dengan ekspresi ketus dan tidak mau tau.

"Selama ini aku kurang apa sama kalian berdua?" lanjut Angga karena Indri tak kunjung menyahut. "Setiap weekend kamu minta waktuku, aku kasih! Libur kerja kamu minta aku ke sini, aku datang! Ini, aku cuma minta waktu buat bicara sama Shania. Setelah clear, aku bakal balik lagi ke sini. Tapi kamu?"

Angga tersenyum miris.

"Aku bahkan sampai terus mengabaikan Shania demi kalian. Kamu pikir, aku dan Shania punya waktu banyak untuk bisa bersama? Enggak, In!"

Indri masih bungkam meski tahu Angga sangat marah kepadanya.

"Setiap pagi aku pergi kerja dan malam baru tiba di rumah. Kadang, kalau aku pulang cepat, aku ke sini nemuin kalian, sesuai dengan keinginan kamu. Dan Shania? Dia cuma dapat capekku doang, In! Weekend dan liburan kamu ingin aku sama kamu. Shania enggak pernah protes. Ini, aku cuma minta waktu sebentar. Tapi kamu kayak gini?"

Angga menghela napas kasar sembari membuang muka.

"Terserah, In! Terserah kamu mau bongkar semuanya juga terserah! Aku udah enggak peduli! Terserah!" Angga mengangkat kedua tangannya lalu melangkah pergi.

Sepanjang perjalanan berkali-kali Angga memukul stir mobil. Ia marah dengan keputusannya sendiri. Keputusan yang dulu ia ambil tanpa berpikir panjang. Seandainya dulu ia memikirkannya masak-masak, tentu semua tidak akan sekacau ini.

Semua bermula sejak lima bulan yang lalu. Indri terkena demam berdarah dan masuk rumah sakit.

Di Purwokerto, Indri hanya tinggal berdua dengan Anggita semenjak bercerai dengan Angga. Indri dan Anggita awalnya tinggal di sebuah kontrakan. Sampai akhirnya karena kondisi ekonomi Angga yang sudah membaik, Angga membelikan rumah KPR untuk anak dan mantan istrinya tinggal.

Demi menebus rasa bersalahnya kepada Anggita, Angga memberikan segala fasilitas yang ia mampu. Rumah, uang bulanan yang nominalnya cukup besar, dan juga waktu.

Namun, meski mendapat uang bulanan cukup besar dari Angga, Indri tidak berminat untuk memiliki ART. Selain ia ingin bebas di rumah, pekerjaan di rumah juga tidak terlalu banyak karena ia hanya tinggal berdua dengan putrinya.

Sayangnya saat sakit seperti lima bulan yang lalu, Indri kerepotan. Di rumah Anggita tidak ada yang menjaga. Sementara kondisi orang tua Indri di kampung sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan. Jadi, tak mungkin Indri meminta bantuan mereka.

Satu-satunya orang yang bisa Indri mintai bantuan untuk mengurus Anggita adalah Angga. Saat itu Angga sebenarnya ingin membawa Anggita pulang ke rumahnya agar diurus oleh Shania. Namun, dengan berbagai alasan, Indri tidak mengizinkan.

Sekitar lima hari Indri dirawat di rumah sakit. Pada saat itu, Angga izin tidak masuk kerja dan menginap di rumah Indri untuk mengurus Anggita. Ia juga bolak balik ke rumah sakit untuk mengurus Indri.

Dengan Shania, Angga pamit ada dinas di luar kota. Ia juga meminta bantuan teman kerjanya untuk berbohong pada Shania. Jadi, pada saat Shania memastikan itu pada teman kerja Angga, mereka kompak mengatakan kalau Angga memang ada dinas di luar kota.

Setelah Indri pulang dari rumah sakit, Angga pulang ke rumah karena tak mungkin menginap di rumah Indri lagi. Namun, karena sudah terbiasa bersama dengan Angga, Anggita jadi semakin manja. Gadis kecil itu tidak mau ditinggal oleh ayahnya. Ia terus merengek agar Angga tidak pergi lagi. Sampai akhirnya dua hari setelah Angga pulang, gantian Anggita yang sakit.

Angga kembali kelimpungan. Ia tidak tega saat Anggita video call dan terus menangis meminta dirinya datang dalam kondisi sakit seperti itu. Akhirnya kebohongan kedua terjadi. Angga kembali pamit untuk dinas di luar kota dengan trik yang sama. Padahal sebenarnya ia datang ke rumah Indri.

Berada di bawah atap yang sama dengan mantan istri, tentu membuka kembali setiap lembar kenangan lama. Kenangan indah yang pada kenyataannya tidak akan pernah bisa mereka lupa. Apalagi meski telah bercerai api cinta keduanya belum padam sepenuhnya.

Sehingga momen-momen seperti makan bersama, mengantar Angga berangkat kerja karena sudah tidak punya jatah cuti, menyambut Angga pulang kerja layaknya suami istri, mengurus Anggita, dan segala hal yang mereka lakukan bersama mampu membangkitkan bara yang sebelumnya nyaris padam. Bara itu kini kembali membara di hati keduanya.

Apalagi sosok Angga yang sekarang adalah sosok idaman Indri. Bukan lagi seorang Angga yang terlilit banyak utang dan seorang pengangguran karena usaha yang dirintisnya bangkrut. Dulu, karena kondisi ekonomi mereka yang carut-marut, akhirnya keduanya memutuskan untuk bercerai. Indri tidak tahan hidup susah dengan Angga.

Namun sekarang, Angga berubah menjadi sosok yang begitu Indri dambakan. Seorang manager di perusahaan tempat Angga bekerja. Sehingga sesempurna mungkin Indri berusaha memberi pelayanan terbaik di saat Angga berada di rumahnya.

Malam itu saat hendak tidur, Anggita meminta ditemani Angga. Indri pun keluar dari kamar saat Angga masuk. Namun, pada saat itu Anggita tidak mengizinkan Indri keluar. Anak itu merengek meminta Indri tetap ada di kamar dan mereka bertiga tidur bersama.

"Gimana ini, Mas?" tanya Indri yang malam itu sudah mengenakan baju tidur yang cukup menggoda.

"Gimana, ya?" Angga menggaruk belakang kepalanya. Sebagai lelaki normal, tentu ada yang membara di dalam sana.

Sementara itu Anggita terus merengek agar ayah dan bundanya cepat naik ke ranjang. Sehingga mau tidak mau Angga dan Indri menurutinya.

Sayangnya setelah Anggita tidur, akal sehat Angga tidak lagi berfungsi. Kondisinya yang sudah cukup lama tak menyentuh Shania, membuatnya gelap mata. Apalagi malam itu Indri memang sengaja menggodanya. Akhirnya hal yang sama sekali tidak pernah terpikir oleh Angga pun terjadi. Hal terlarang yang seharusnya tidak mereka lakukan, malam itu tak terelakkan.

"Bodoh!" umpat Angga sembari memukul stir mobilnya. Ia sangat menyesali apa yang telah ia lakukan malam itu.

Apalagi setelahnya Angga seperti terhipnotis. Indri yang meminta untuk rujuk demi Anggita, dengan mudah Angga menyetujuinya. Dengan dalih demi kebaikan Anggita.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" teriak Angga.

Sesal menggunung di rongga dadanya. Apalagi kini Shania telah mengetahui perbuatan bodohnya. Angga benar-benar takut Shania tidak bisa memaafkannya dan memilih pergi meninggalkannya.

"Please, Shan. Kamu enggak boleh pergi dariku!"

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Bukti

    "Apapun akan aku lakukan asal kamu enggak ninggalin aku, Shan!" Angga membanting pintu mobilnya dengan keras, kemudian melangkah memasuki rumah."Assalamualaikum! Shan! Shania! Kamu dimana, Shan?"Berkali-kali Angga memanggil Shania, tetapi sama sekali tidak ada jawaban. Angga takut sekali Shania pergi dari rumah, meski mobilnya ada di halaman."Astaga, kamu dimana, Shan?" Angga pun mencari di seluruh penjuru rumah. Sampai akhirnya, ia menemukan istri dan ibunya sedang berada di teras belakang. Angga menghela napas lega."Bu." Angga langsung mendekat dan mencium tangan ibunya."Loh, kamu enggak jadi keluar kota, Ga?" tanya Bu Rani yang sedang disuapi bubur menantunya.Angga menggeleng. "Enggak, Bu."Angga kemudian menoleh ke arah Shania. Menatap lembut wanita yang tengah mengandung buah hatinya. "Kita bicara dulu, yuk, Shan.""Aku sedang nyuapi ibu," tolak Shania tanpa menatap suaminya. Dadanya teramat sesak mengingat kebohongan Angga.Tanpa bertanya, Bu Rani tahu kalau anak dan mena

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-07
  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Tamu

    "Kamu kan, tahu sendiri gimana dulu Indri ninggalin aku, Shan. Di saat aku bangkrut, aku butuh dukungan, dia malah ninggalin aku. Mana mungkin aku balikan sama orang yang udah buang aku?"Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Shania. Hatinya masih ragu dengan segala yang terucap dari bibir suaminya itu."Sekarang kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh lagi, ya! Fokus sama kehamilan kamu, sama bayi kita," lanjut Angga.Lelaki itu mengelus perut Shania yang masih rata. "Aku janji bakal jadi suami dan ayah yang baik buat kalian. Aku janji akan buat kamu jadi wanita paling beruntung di dunia, karena kamu udah mau menerimaku sebagai suami kamu. Aku janji, Shan. Percaya sama aku!" Shania semakin ragu. Apalagi selama ini, Angga nyaris tak pernah berkata-kata manis seperti itu. Sepengatahuan Shania, Angga bukan sosok laki-laki romantis. Namun, tiba-tiba setelah peristiwa tadi, Angga bersikap semanis itu.Shania justru jadi teringat perkataan salah seorang temannya. Biasanya untuk menutupi k

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-07
  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Permintaan Gila

    "Sebelum sama Mas Angga, kamu masih gadis, kan? Kenapa mau dijodohkan sama duda anak satu? Apa karena Mas Angga udah mapan jadi kamu mau? Padahal selain duda anak satu kalian juga terpaut umur yang cukup jauh, kan?" Indri menarik sebelah bibirnya sembari menatap Shania dengan sinis."Sayangnya walaupun udah nikah lagi, kasih sayang Mas Angga masih utuh untuk kami," imbuh Indri. "Sepertinya benar ya, kalau cinta laki-laki itu bakal habis untuk cinta pertamanya.""Oh, ya?" Shania tidak terpengaruh sedikitpun. "Mbak Indri bangga banget kayaknya ya, masih dicintai sama mantan suami? Belum move on, Mbak?""Sepertinya sih, Mas Angga yang belum move on," sahut Indri tak mau kalah. "Secara aku kan, cinta pertamanya, pacar pertamanya, dan juga istri pertamanya.""Oh, ya? Mbak seneng banget dong, ya? Selamat deh, kalau gitu. Tapi jangan lupa, Mbak. Mbak Indri juga mantan istrinya!"Mata Indri melebar mendengar perkataan Shania. Ia tidak menyangka wanita berwajah lembut itu mampu berkata setajam

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-07
  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Sekamar dengan Mantan

    "Jangan gila kamu, In!""Kenapa? Aku juga istri kamu, Mas!""Jangan bercanda kamu, In. Mana mungkin kalian tinggal di sini." "Kenapa enggak mungkin? Aku juga berhak tinggal di rumah ini. Tinggal bersama-sama dengan kamu!""Jangan ngaco kamu, In!""Ngaco kamu bilang, Mas?""Tentu saja! Apa namanya kalau bukan ngaco?""Aku istri kamu, Mas! Aku juga ingin bisa terus sama-sama dengan kamu! Kamu pikir, aku enggak sedih selalu sendirian di rumah? Setiap malam aku bahkan ngebayangin kamu sedang mesra-mesraan sama perempuan itu?" Satu bulir bening terjatuh dari pelupuk mata Indri."Hati aku sakit, Mas. Aku ... enggak rela suamiku bersama perempuan lain." Indri tersedu-sedu. "Perempuan mana yang sanggup membayangkan orang yang paling dicintai bermesraan dengan perempuan lain? Perempuan mana, Mas?""Aku ngerti, In. Tapi ...."Aku enggak sanggup, Mas. Aku enggak sanggup .... Tiap malam, aku bahkan enggak pernah bisa tidur karena mikirin kamu ....""Aku ngerti, In." Angga memegang kedua bahu In

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15
  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Keputusan

    "Jadi, acara meeting kamu di luar kota gimana, Mas?" tanya Shania saat Angga bersiap berangkat ke kantor.Lelaki yang tengah mengenakan jam tangan itu terkejut dan menoleh ke arah istrinya. "Ehm ... anu ... itu, daripada aku telat udah absen kemarin, aku izin untuk bulan ini," dusta Angga."Bisa gitu, ya?" sahut Shania sembari mengenakan hijab di depan cermin meja riasnya."Ya gimana lagi. Namanya juga ada kepentingan yang lebih penting." Lelaki bertubuh tegap itu berjalan ke arah Shania. Dipegangnya bahu istrinya itu agar menghadapnya. "Kamu tahu apa yang lebih penting buat aku saat ini?" Shania menggeleng ragu."Astaga! Kamu enggak tahu, Shan?"Shania kembali menggeleng."Astaga .... Buat aku, kamu yang paling penting, Shan! Kamu lebih penting dari semua yang ada di hidup aku, Shan. Itu sebabnya aku milih pulang buat lurusin semuanya sama kamu. Karena aku enggak akan bisa tenang, seandainya kemarin tetap berangkat buat meeting. Sementara kamu salah paham sama aku."Shania ragu unt

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15
  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Strategi

    "Baik, Mas! Antar mereka! Pastikan mereka baik-baik saja sampai rumah. Aku janji, ke depan enggak akan pernah lagi merepotkan kamu! Selamanya!""Sh-Shania, kenapa kamu ngomong gitu?" Angga terkejut dengan respon istrinya."Kenapa? Bukannya itu yang kamu mau?""Ta-tapi ....""Udah, Mas," potong Indri. "Daripada kamu sama istri kamu jadi bertengkar, aku pulang sendiri enggak apa-apa. Aku udah terbiasa apa-apa sendiri, kok. Toh, kalau aku sama Gita kenapa-napa, enggak akan ada yang kehilangan kami." Indri berusaha menarik simpati Angga."Udah, antar mereka, Mas! Tenang aja. Lagian ini bukan kali pertama aku periksa kandungan sendiri."Tak mau banyak drama, Shania langsung meninggalkan mereka. Wanita itu memilih untuk bersiap ke dokter.Tak berselang lama, Angga menyusul.Keduanya sama-sama diam meski berada di ruangan yang sama. Sebenarnya Angga ingin meminta maaf kepada Shania, tetapi gengsinya terlalu tinggi. Suara notifikasi dari ponsel Shania memecah keheningan. Wanita bermata benin

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15
  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Alasan

    "Pilihanmu tepat buat jadi sekretaris Angga. Kamu bisa belajar banyak mengelola swalayan sama dia," ucap Akbar."Iya, Om.""Besok sekretaris Angga Om geser ke posisi lain.""Oke. Untuk PAUD tolong Carikan orang buat gantiin posisiku, ya, Om!""Gampang itu."Sebenarnya untuk mencari tahu kebenaran tentang dinas luar kota Angga, tanpa menjadi sekretaris pun Shania bisa. Namun, Shania tidak ingin masalah itu melebar kemana-mana. Ia takut juga kalau ternyata instingnya salah dan ternyata Angga jujur kepadanya. Jadi, Shania memutuskan untuk mencari kebenarannya sendiri."Oh, ya, kapan bisa mulai masuk?" tanya Akbar."Ehm, lusa kayaknya bisa, Om. Biar aku serah terima kerjaan dulu di PAUD.""Oke. Om akan siapkan semuanya buat kamu.""Tapi, Om. Tetap enggak usah ekspos latar belakangku, ya! Aku ... ingin tetap kayak gini aja, Om.""Tapi kayaknya bakalan sulit, Shan. Soalnya kamu masuknya jalur instan begini. Mereka pasti bakal cari tahu, siapa kamu sampai Om minta posisi buat kamu.""Iya jug

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15
  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Memanas

    "Tumben kamu belum siap-siap? Hari ini libur?" tanya Angga saat sarapan bersama Shania.Shania tersenyum kecil. Menatap Angga yang sedang lahap menyantap nasi goreng. Rencananya pagi ini Shania akan menceritakan semua tentang dirinya kepada Angga. "Aku ... enggak ngajar di PAUD lagi, Mas." Sontak Angga langsung tersedak nasi goreng yang ada di mulutnya. Sampai ia terbatuk-batuk tanpa kendali.Shania pun mengulurkan segelas air minum. Angga menerima dan meminumnya dengan kasar."Apa!? Kamu berhenti ngajar!?" seru Angga. Lelaki itu menatap Shania dengan tajam. Bahkan gelas yang sudah kosong itu nyaris ia banting ke meja."Kenapa?" tanya Angga dengan wajah terkejut, kecewa, marah, dan tidak suka.Senyum Shania lenyap seketika. Ia tidak menyangka reaksi Angga akan semarah itu. Sampai-sampai ia membuka mulut tanpa suara saking kagetnya."A-aku ....""Kamu kan tahu, Shan, gajiku itu berapa," potong Angga. "Kalau kamu enggak ikut bantu-bantu uang dapur, terus bebanin semuanya ke aku ....

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15

บทล่าสุด

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Rumah

    Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Ruang PICU

    "Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Janji

    [Shan, aku di rumah Om Akbar. Kamu ada lembur?]Shania menatap layar ponselnya dengan mata yang lelah, lalu tersenyum tipis saat membaca pesan itu.[Enggak, ini lagi siap-siap pulang.][Sip, deh. Nanti temenin aku cari kado, ya?][Oke.]Shania merapikan berkas-berkas di meja. Ruang sekretaris yang menjadi tempat kerja Shania cukup sepi. Hanya tersisa suara gemerisik AC dan detik jam di dinding. Aroma kopi yang samar masih menggantung di udara ketika Hendra mendekat ke arahnya. Dasi laki-laki itu sudah sedikit longgar. Namun, tak mengurangi ketampanannya.“Udah mau pulang, Shan?” tanya Hendra sambil tersenyum manis.“Iya, Hen. Aku duluan nggak apa-apa, ya?” Shania balas tersenyum, tapi ada lelah di matanya yang tak bisa disembunyikan.“Tentu aja, santai.” Hendra melipat tangannya di dada. “Angga udah kasih kabar?”Shania menghela napas lalu menggeleng pelan. “Belum. Tapi soal meeting tadi kayaknya aman dipegang Om Andreas.”“Baguslah. Tapi tetap aja, nggak seharusnya dia ninggalin tang

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Menghilang

    Tanpa Shania duga, lelaki yang wajahnya penuh lebam itu tiba-tiba berlutut di depannya."Aku mohon, Shan. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku mohon .... Demi ibu, demi Gita, dan demi pernikahan kita berdua. Aku mohon, Shan ...."Shania menggelengkan kepala. "Maaf Mas ....""Shan! Aku mohon!" potong Angga. Ia tidak ingin mendengar penolakan dari Shania. "Oke! Aku ngaku salah. Tapi, tolong beri aku kesempatan, Shan! Aku janji bakal perbaiki semuanya. Aku janji bakal jadi suami yang baik buat kamu."Angga memegangi lutut Shania dengan erat."Shan, kamu tau, aku udah enggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah pergi, apa iya, kamu juga akan pergi ninggalin aku dan Gita? Gimana aku sama Gita harus lanjutin hidup, Shan? Gimana?""Mas, tolong lepas!" Shania berusaha melepas cekalan tangan Angga di lututnya. Namun, Angga justru semakin mempereratnya."Enggak, Shan. Sebelum kamu maafin aku, aku akan terus ka

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Tak Biasa

    Shania terdiam mendengar permintaan polos Anggita. Hati kecilnya semakin tersayat. Ia sangat tidak tega saat menatap mata tanpa dosa balita itu."Emang Bunda Gita enggak mau ke sini?" tanya Shania hati-hati.Anggita terdiam dan menatap Shania cukup lama. Sampai akhirnya sorot itu semakin layu, baru kemudian menjawab, "Bunda sama Ayah bertengkar, Bu. Terus ... Gita diajak Ayah pulang ke sini. Bundanya pergi sama Om Hilmi. Tapi ... tadi pas sampai di sini ...." Anggita terlalu sedih untuk melanjutkan perkataannya. Mengingat betapa takutnya ia tadi saat melihat ayahnya dipukuli oleh orang yang selama ini ia panggil Kakek Akbar.Shania semakin merasa bersalah. Kini ia paham dengan nasehat papanya dulu. "Tidak akan ada kebaikan yang kamu dapat, dari mengedepankan emosi. Tahan diri, tunggu tenang sebentar, lalu bicarakan baik-baik. Karena kalau tidak, yang ada semua akan hancur. Tidak hanya yang melakukan kesalahan aja. Tapi, semua orang yang

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Permintaan

    Ponsel Shania berdering berkali-kali. Panggilan masuk dari Angga sudah lebih dari lima kali. Namun, Shania memilih mengabaikannya. Apalagi saat itu ia sedang makan malam bersama om dan tantenya juga Hamish. Ia tidak mau diganggu oleh Angga.Setelah dering panggilan berhenti beberapa saat, notifikasi pesan di ponsel Shania berbunyi. Dari layar tampak Mbak Sari yang mengirim pesan. Shania pun membukanya tanpa berpikir buruk.[Assalamualaikum, Bu Shania. Saya mau mengabarkan kalau Bu Rani meninggal dunia.]Shania melempar ponselnya. Mata wanita itu melebar, sementara kedua tangannya gemetaran."Ada apa, Shan?" tanya Renata. Shania hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.Renata pun memungut ponsel Shania di lantai. Dibacanya pesan dari Mbak Sari yang masih terbuka tersebut."Innalilahi! Ini benar enggak?" teriak Renata."Apa, Ma?" tanya Akbar ikut panik.Hamish pun menatap Renata dengan penasaran."Bu Rani, Pa ....""Bu Rani kenapa?" kejar Akbar."Bu Rani ... meninggal d

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Peristiwa Malam

    Melihat Shania menarik dua koper berukuran besar, Angga pun sangat terkejut. "S-Shan, kenapa kamu ...."Shania menghela napas, kemudian berkata dengan tenang, "Semua sudah cukup gamblang, Mas Angga. Enggak ada yang perlu dijelaskan lagi dan enggak ada juga yang perlu dipertahankan lagi. Dari awal niat menikah Mas Angga sudah enggak baik, jadi lebih baik kita akhiri pernikahan ini, agar semua bisa kembali berjalan di tempatnya masing-masing."Angga tercengang mendengar penuturan Shania itu."Mas Angga masih sangat mencintai Mbak Indri, kan? Kalian ingin Gita tumbuh besar tanpa merasakan kekurangan kasih sayang kedua orang tua, kan? Silakan, Mas! Aku enggak akan menjadi penghalang di antara kalian.""Enggak, Shan. Enggak gitu. Ini salah paham. Tolong kamu dengerin aku dulu!" Angga benar-benar takut Shania meninggalkannya. Lelaki itu langsung memegangi kedua bahu Shania.Shania tersenyum sembari menyingkirkan tangan Angga dari bahunya. "Engg

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Gamblang

    Melihat ayahnya dipukul sampai nyaris terjatuh, Anggita ketakutan. Apalagi saat melihat ada darah di sudut bibir Angga, Anggita langsung menangis histeris."Ayah .... Ayah .... Ayah ...."Angga merengkuh bahu Anggita yang berguncang. Kemudian ia menatap Shania dengan wajah memelas. Berharap Shania akan mengasihaninya. Setidaknya peduli dengan Anggita.Namun, tanpa memedulikan itu, Akbar kembali menarik kerah kemeja Angga, dan mendaratkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke pipi Angga. "Laki-laki brengs*k! Kurang aj*r! Enggak tau diuntung!" hardik Akbar bak orang kesetanan.Anggita pun semakin histeris. "Ayah! Ayah!" Balita itu berjingkat-jingkat ketakutan.Angga yang nyaris terjengkang langsung memeluk putrinya. Sementara matanya menatap Shania dengan nelangsa. Angga sangat berharap Shania segera menolongnya.Shania kemudian bangkit dari sofa.Melihat itu, Angga bernapas lega. Ternyata meski Shania marah kepadanya, wanita

  • SEBATAS TEMPAT SINGGAH    Peduli

    "Mas, aku minta maaf .... Aku minta maaf ...." Indri bersimpuh dan berusaha meraih kaki Angga, menahan agar laki-laki yang sudah menalaknya itu tidak pergi."Lepas!" Angga mengibaskan tangan Indri."Enggak, Mas. Enggak! Aku benar-benar minta maaf. Aku minta maaf. Aku khilaf, Mas. Aku khilaf ....""Khilaf sampai hamil? Gila kamu! Pergi kamu dari rumah ini!""Enggak! Enggak, Mas!""Pergi!" teriak Angga yang sudah tak bisa mengendalikan amarahnya.Sementara Hilmi hanya bisa memegangi kedua bahu Indri dari belakang tanpa bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mau berbuat sesuatu, sementara selama ini hidupnya ditanggung sepenuhnya oleh Indri. Dan pemasukan Indri didapat dari Angga. Jadi jika ia melawan Angga, yang ada nanti keadaan semakin runyam."Aku ingatkan kamu, In! Segera pergi dari rumah ini! Karena setelah ini, rumah ini akan aku jual secepatnya!""Mas!" teriak Indri yang sangat terkejut dengan keputusan Angga. "Enggak, Mas! Jangan! Aku mohon! Silakan bawa Gita, tapi aku mohon jangan ju

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status