"Pergilah, Mas! Tapi setelah ini, semua orang akan tahu kalau kita sudah menikah lagi!"
Angga tertegun mendengar ancaman dari Indri. Lelaki berwajah bersih itu menghembuskan napas kasar, kemudian membanting pintu mobilnya. Dengan langkah lebar, ia kembali menuju tempat dimana Indri berada. Wajahnya kini merah padam dan rahangnya mengatup dengan keras. Saat ini kesabarannya benar-benar habis. Begitu tiba di teras, ia menatap Anggita lalu berkata dengan tegas. "Gita ke kamar dulu! Ayah mau bicara penting sama Bunda." Melihat wajah ayahnya yang tampak menyeramkan, Anggita tak berani membantah. Meski tangisnya masih belum reda, balita itu menurut untuk masuk ke rumah. Angga menghela napas panjang begitu siluet Anggita tak terlihat lagi. Kini ia menatap tajam pada Indri setelah sebelumnya enggan sekali menatapnya. "Mau kamu apa?" Angga tidak membentak, tetapi suaranya cukup menggetarkan kepercayaan diri Indri. Indri memilih bungkam. Untuk menutupi kegusarannya, ia membuang muka dan masih bersikeras dengan ekspresi ketus dan tidak mau tau. "Selama ini aku kurang apa sama kalian berdua?" lanjut Angga karena Indri tak kunjung menyahut. "Setiap weekend kamu minta waktuku, aku kasih! Libur kerja kamu minta aku ke sini, aku datang! Ini, aku cuma minta waktu buat bicara sama Shania. Setelah clear, aku bakal balik lagi ke sini. Tapi kamu?" Angga tersenyum miris. "Aku bahkan sampai terus mengabaikan Shania demi kalian. Kamu pikir, aku dan Shania punya waktu banyak untuk bisa bersama? Enggak, In!" Indri masih bungkam meski tahu Angga sangat marah kepadanya. "Setiap pagi aku pergi kerja dan malam baru tiba di rumah. Kadang, kalau aku pulang cepat, aku ke sini nemuin kalian, sesuai dengan keinginan kamu. Dan Shania? Dia cuma dapat capekku doang, In! Weekend dan liburan kamu ingin aku sama kamu. Shania enggak pernah protes. Ini, aku cuma minta waktu sebentar. Tapi kamu kayak gini?" Angga menghela napas kasar sembari membuang muka. "Terserah, In! Terserah kamu mau bongkar semuanya juga terserah! Aku udah enggak peduli! Terserah!" Angga mengangkat kedua tangannya lalu melangkah pergi. Sepanjang perjalanan berkali-kali Angga memukul stir mobil. Ia marah dengan keputusannya sendiri. Keputusan yang dulu ia ambil tanpa berpikir panjang. Seandainya dulu ia memikirkannya masak-masak, tentu semua tidak akan sekacau ini. Semua bermula sejak lima bulan yang lalu. Indri terkena demam berdarah dan masuk rumah sakit. Di Purwokerto, Indri hanya tinggal berdua dengan Anggita semenjak bercerai dengan Angga. Indri dan Anggita awalnya tinggal di sebuah kontrakan. Sampai akhirnya karena kondisi ekonomi Angga yang sudah membaik, Angga membelikan rumah KPR untuk anak dan mantan istrinya tinggal. Demi menebus rasa bersalahnya kepada Anggita, Angga memberikan segala fasilitas yang ia mampu. Rumah, uang bulanan yang nominalnya cukup besar, dan juga waktu. Namun, meski mendapat uang bulanan cukup besar dari Angga, Indri tidak berminat untuk memiliki ART. Selain ia ingin bebas di rumah, pekerjaan di rumah juga tidak terlalu banyak karena ia hanya tinggal berdua dengan putrinya. Sayangnya saat sakit seperti lima bulan yang lalu, Indri kerepotan. Di rumah Anggita tidak ada yang menjaga. Sementara kondisi orang tua Indri di kampung sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan. Jadi, tak mungkin Indri meminta bantuan mereka. Satu-satunya orang yang bisa Indri mintai bantuan untuk mengurus Anggita adalah Angga. Saat itu Angga sebenarnya ingin membawa Anggita pulang ke rumahnya agar diurus oleh Shania. Namun, dengan berbagai alasan, Indri tidak mengizinkan. Sekitar lima hari Indri dirawat di rumah sakit. Pada saat itu, Angga izin tidak masuk kerja dan menginap di rumah Indri untuk mengurus Anggita. Ia juga bolak balik ke rumah sakit untuk mengurus Indri. Dengan Shania, Angga pamit ada dinas di luar kota. Ia juga meminta bantuan teman kerjanya untuk berbohong pada Shania. Jadi, pada saat Shania memastikan itu pada teman kerja Angga, mereka kompak mengatakan kalau Angga memang ada dinas di luar kota. Setelah Indri pulang dari rumah sakit, Angga pulang ke rumah karena tak mungkin menginap di rumah Indri lagi. Namun, karena sudah terbiasa bersama dengan Angga, Anggita jadi semakin manja. Gadis kecil itu tidak mau ditinggal oleh ayahnya. Ia terus merengek agar Angga tidak pergi lagi. Sampai akhirnya dua hari setelah Angga pulang, gantian Anggita yang sakit. Angga kembali kelimpungan. Ia tidak tega saat Anggita video call dan terus menangis meminta dirinya datang dalam kondisi sakit seperti itu. Akhirnya kebohongan kedua terjadi. Angga kembali pamit untuk dinas di luar kota dengan trik yang sama. Padahal sebenarnya ia datang ke rumah Indri. Berada di bawah atap yang sama dengan mantan istri, tentu membuka kembali setiap lembar kenangan lama. Kenangan indah yang pada kenyataannya tidak akan pernah bisa mereka lupa. Apalagi meski telah bercerai api cinta keduanya belum padam sepenuhnya. Sehingga momen-momen seperti makan bersama, mengantar Angga berangkat kerja karena sudah tidak punya jatah cuti, menyambut Angga pulang kerja layaknya suami istri, mengurus Anggita, dan segala hal yang mereka lakukan bersama mampu membangkitkan bara yang sebelumnya nyaris padam. Bara itu kini kembali membara di hati keduanya. Apalagi sosok Angga yang sekarang adalah sosok idaman Indri. Bukan lagi seorang Angga yang terlilit banyak utang dan seorang pengangguran karena usaha yang dirintisnya bangkrut. Dulu, karena kondisi ekonomi mereka yang carut-marut, akhirnya keduanya memutuskan untuk bercerai. Indri tidak tahan hidup susah dengan Angga. Namun sekarang, Angga berubah menjadi sosok yang begitu Indri dambakan. Seorang manager di perusahaan tempat Angga bekerja. Sehingga sesempurna mungkin Indri berusaha memberi pelayanan terbaik di saat Angga berada di rumahnya. Malam itu saat hendak tidur, Anggita meminta ditemani Angga. Indri pun keluar dari kamar saat Angga masuk. Namun, pada saat itu Anggita tidak mengizinkan Indri keluar. Anak itu merengek meminta Indri tetap ada di kamar dan mereka bertiga tidur bersama. "Gimana ini, Mas?" tanya Indri yang malam itu sudah mengenakan baju tidur yang cukup menggoda. "Gimana, ya?" Angga menggaruk belakang kepalanya. Sebagai lelaki normal, tentu ada yang membara di dalam sana. Sementara itu Anggita terus merengek agar ayah dan bundanya cepat naik ke ranjang. Sehingga mau tidak mau Angga dan Indri menurutinya. Sayangnya setelah Anggita tidur, akal sehat Angga tidak lagi berfungsi. Kondisinya yang sudah cukup lama tak menyentuh Shania, membuatnya gelap mata. Apalagi malam itu Indri memang sengaja menggodanya. Akhirnya hal yang sama sekali tidak pernah terpikir oleh Angga pun terjadi. Hal terlarang yang seharusnya tidak mereka lakukan, malam itu tak terelakkan. "Bodoh!" umpat Angga sembari memukul stir mobilnya. Ia sangat menyesali apa yang telah ia lakukan malam itu. Apalagi setelahnya Angga seperti terhipnotis. Indri yang meminta untuk rujuk demi Anggita, dengan mudah Angga menyetujuinya. Dengan dalih demi kebaikan Anggita. "Bodoh! Bodoh! Bodoh!" teriak Angga. Sesal menggunung di rongga dadanya. Apalagi kini Shania telah mengetahui perbuatan bodohnya. Angga benar-benar takut Shania tidak bisa memaafkannya dan memilih pergi meninggalkannya. "Please, Shan. Kamu enggak boleh pergi dariku!""Apapun akan aku lakukan asal kamu enggak ninggalin aku, Shan!" Angga membanting pintu mobilnya dengan keras, kemudian melangkah memasuki rumah."Assalamualaikum! Shan! Shania! Kamu dimana, Shan?"Berkali-kali Angga memanggil Shania, tetapi sama sekali tidak ada jawaban. Angga takut sekali Shania pergi dari rumah, meski mobilnya ada di halaman."Astaga, kamu dimana, Shan?" Angga pun mencari di seluruh penjuru rumah. Sampai akhirnya, ia menemukan istri dan ibunya sedang berada di teras belakang. Angga menghela napas lega."Bu." Angga langsung mendekat dan mencium tangan ibunya."Loh, kamu enggak jadi keluar kota, Ga?" tanya Bu Rani yang sedang disuapi bubur menantunya.Angga menggeleng. "Enggak, Bu."Angga kemudian menoleh ke arah Shania. Menatap lembut wanita yang tengah mengandung buah hatinya. "Kita bicara dulu, yuk, Shan.""Aku sedang nyuapi ibu," tolak Shania tanpa menatap suaminya. Dadanya teramat sesak mengingat kebohongan Angga.Tanpa bertanya, Bu Rani tahu kalau anak dan mena
"Kamu kan, tahu sendiri gimana dulu Indri ninggalin aku, Shan. Di saat aku bangkrut, aku butuh dukungan, dia malah ninggalin aku. Mana mungkin aku balikan sama orang yang udah buang aku?"Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Shania. Hatinya masih ragu dengan segala yang terucap dari bibir suaminya itu."Sekarang kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh lagi, ya! Fokus sama kehamilan kamu, sama bayi kita," lanjut Angga.Lelaki itu mengelus perut Shania yang masih rata. "Aku janji bakal jadi suami dan ayah yang baik buat kalian. Aku janji akan buat kamu jadi wanita paling beruntung di dunia, karena kamu udah mau menerimaku sebagai suami kamu. Aku janji, Shan. Percaya sama aku!" Shania semakin ragu. Apalagi selama ini, Angga nyaris tak pernah berkata-kata manis seperti itu. Sepengatahuan Shania, Angga bukan sosok laki-laki romantis. Namun, tiba-tiba setelah peristiwa tadi, Angga bersikap semanis itu.Shania justru jadi teringat perkataan salah seorang temannya. Biasanya untuk menutupi k
"Sebelum sama Mas Angga, kamu masih gadis, kan? Kenapa mau dijodohkan sama duda anak satu? Apa karena Mas Angga udah mapan jadi kamu mau? Padahal selain duda anak satu kalian juga terpaut umur yang cukup jauh, kan?" Indri menarik sebelah bibirnya sembari menatap Shania dengan sinis."Sayangnya walaupun udah nikah lagi, kasih sayang Mas Angga masih utuh untuk kami," imbuh Indri. "Sepertinya benar ya, kalau cinta laki-laki itu bakal habis untuk cinta pertamanya.""Oh, ya?" Shania tidak terpengaruh sedikitpun. "Mbak Indri bangga banget kayaknya ya, masih dicintai sama mantan suami? Belum move on, Mbak?""Sepertinya sih, Mas Angga yang belum move on," sahut Indri tak mau kalah. "Secara aku kan, cinta pertamanya, pacar pertamanya, dan juga istri pertamanya.""Oh, ya? Mbak seneng banget dong, ya? Selamat deh, kalau gitu. Tapi jangan lupa, Mbak. Mbak Indri juga mantan istrinya!"Mata Indri melebar mendengar perkataan Shania. Ia tidak menyangka wanita berwajah lembut itu mampu berkata setajam
[Shan, suamimu lagi dinas di luar kota, ya? Kamu percaya?]Shania mengernyit membaca pesan dari nomor tak dikenal tersebut. Bertanya-tanya siapa orang yang tiba-tiba mengirim pesan dengan gaya seperti sudah mengenal Shania.[Maaf, ini siapa?]Tak menunggu lama, Shania langsung mengirim balasan. Karena sebenarnya pagi itu ia juga sedang memikirkan keanehan Angga, suaminya.Shania merasa aneh dengan rutinitas Angga empat bulan terakhir ini. Pasalnya setiap awal bulan setelah gajian, Angga selalu pergi dinas di luar kota. Padahal sebelumnya tidak pernah. Kalaupun ada dinas di luar kota juga hanya sesekali dan tanggalnya tidak tetap. Tidak seperti empat bulan terakhir ini.Tanpa perlu menunggu lama, balasan pesan tersebut Shania terima. Nomor tak dikenal itu mengirim foto Angga keluar dari mobilnya yang terparkir di depan sebuah rumah minimalis.[Ini suamimu, kan?]Shania membeku membaca pesan tersebut dan melihat foto tersebut. Dadanya berdebar tak karuan, perutnya mual, dan kedua telapa
"Shan, a-aku bisa jelasin!"Angga berusaha meraih bahu Shania, tetapi wanita itu mundur selangkah.Shania menggeleng. "Semua udah jelas, Mas!" Suara Shania terdengar tenang, tetapi tegas."Enggak, Shan. Kamu salah paham!" Angga berusaha menggoyahkan keyakinan Shania."Oh, ya? Bagian mana?" tantang Shania."A-aku ... aku ...." Angga menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa kesal sendiri karena tiba-tiba otaknya seperti tidak bisa diajak berpikir. "Siapa, Mas?" Suara wanita dari dalam rumah semakin membuat Angga terpojok. Apalagi saat wanita itu keluar. Dan saat melihat keberadaan Shania, kedua bola mata wanita itu nyaris keluar saking terkejutnya."Hai, Mbak! Kaget, ya?" sapa Shania sembari tersenyum sinis. Lebih tepatnya berusaha menyembunyikan rasa sakitnya yang luar biasa. Perempuan mana yang tidak sakit hati, saat suami pamit untuk pergi dinas di luar kota, tak tahunya berada di rumah mantan istrinya."Ehm ...." Wanita itu bingung hendak menjawab apa."Luar biasa kalian, ya
"Shan! Tunggu! Itu semua bohong!" teriak Angga.Namun, Shania bergeming. Wanita itu terus melangkah menuju mobilnya.Angga hendak berlari mengejar istrinya itu, tetapi tiba-tiba lengannya dicekal Indri."Kamu mau kemana, Mas?""In, aku selesaikan dulu masalahku dengan Shania, ya? Tolong, kamu ngerti! Setelah semua beres, aku janji bakal balik ke sini.""Tapi kamu baru aja sampai, Mas. Bahkan belum ada sepuluh menit! Gita udah nungguin buat bisa jalan-jalan sama kamu, tidur dibacain dongeng sama kamu tiga minggu lamanya, Mas! Terus gitu aja kamu mau pergi?""Aku ngerti, In. Tapi kamu tahu sendiri gimana keadaannya sekarang. Tolong, In, kamu ngertiin aku, ya! Aku harus bicara sama Shania sekarang. Aku enggak mau dia salah paham. Apalagi sekarang dia sedang hamil.""Jadi aku dan Gita enggak lebih penting dari Shania?" Indri menatap Angga dengan sorot mata terluka. Angga melepas dengan lembut cekalan tangan Indri, kemudian meremas kedua bahu wanita itu. "Dengarkan aku, In. Saat ini Shani
"Sebelum sama Mas Angga, kamu masih gadis, kan? Kenapa mau dijodohkan sama duda anak satu? Apa karena Mas Angga udah mapan jadi kamu mau? Padahal selain duda anak satu kalian juga terpaut umur yang cukup jauh, kan?" Indri menarik sebelah bibirnya sembari menatap Shania dengan sinis."Sayangnya walaupun udah nikah lagi, kasih sayang Mas Angga masih utuh untuk kami," imbuh Indri. "Sepertinya benar ya, kalau cinta laki-laki itu bakal habis untuk cinta pertamanya.""Oh, ya?" Shania tidak terpengaruh sedikitpun. "Mbak Indri bangga banget kayaknya ya, masih dicintai sama mantan suami? Belum move on, Mbak?""Sepertinya sih, Mas Angga yang belum move on," sahut Indri tak mau kalah. "Secara aku kan, cinta pertamanya, pacar pertamanya, dan juga istri pertamanya.""Oh, ya? Mbak seneng banget dong, ya? Selamat deh, kalau gitu. Tapi jangan lupa, Mbak. Mbak Indri juga mantan istrinya!"Mata Indri melebar mendengar perkataan Shania. Ia tidak menyangka wanita berwajah lembut itu mampu berkata setajam
"Kamu kan, tahu sendiri gimana dulu Indri ninggalin aku, Shan. Di saat aku bangkrut, aku butuh dukungan, dia malah ninggalin aku. Mana mungkin aku balikan sama orang yang udah buang aku?"Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Shania. Hatinya masih ragu dengan segala yang terucap dari bibir suaminya itu."Sekarang kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh lagi, ya! Fokus sama kehamilan kamu, sama bayi kita," lanjut Angga.Lelaki itu mengelus perut Shania yang masih rata. "Aku janji bakal jadi suami dan ayah yang baik buat kalian. Aku janji akan buat kamu jadi wanita paling beruntung di dunia, karena kamu udah mau menerimaku sebagai suami kamu. Aku janji, Shan. Percaya sama aku!" Shania semakin ragu. Apalagi selama ini, Angga nyaris tak pernah berkata-kata manis seperti itu. Sepengatahuan Shania, Angga bukan sosok laki-laki romantis. Namun, tiba-tiba setelah peristiwa tadi, Angga bersikap semanis itu.Shania justru jadi teringat perkataan salah seorang temannya. Biasanya untuk menutupi k
"Apapun akan aku lakukan asal kamu enggak ninggalin aku, Shan!" Angga membanting pintu mobilnya dengan keras, kemudian melangkah memasuki rumah."Assalamualaikum! Shan! Shania! Kamu dimana, Shan?"Berkali-kali Angga memanggil Shania, tetapi sama sekali tidak ada jawaban. Angga takut sekali Shania pergi dari rumah, meski mobilnya ada di halaman."Astaga, kamu dimana, Shan?" Angga pun mencari di seluruh penjuru rumah. Sampai akhirnya, ia menemukan istri dan ibunya sedang berada di teras belakang. Angga menghela napas lega."Bu." Angga langsung mendekat dan mencium tangan ibunya."Loh, kamu enggak jadi keluar kota, Ga?" tanya Bu Rani yang sedang disuapi bubur menantunya.Angga menggeleng. "Enggak, Bu."Angga kemudian menoleh ke arah Shania. Menatap lembut wanita yang tengah mengandung buah hatinya. "Kita bicara dulu, yuk, Shan.""Aku sedang nyuapi ibu," tolak Shania tanpa menatap suaminya. Dadanya teramat sesak mengingat kebohongan Angga.Tanpa bertanya, Bu Rani tahu kalau anak dan mena
"Pergilah, Mas! Tapi setelah ini, semua orang akan tahu kalau kita sudah menikah lagi!"Angga tertegun mendengar ancaman dari Indri. Lelaki berwajah bersih itu menghembuskan napas kasar, kemudian membanting pintu mobilnya.Dengan langkah lebar, ia kembali menuju tempat dimana Indri berada. Wajahnya kini merah padam dan rahangnya mengatup dengan keras. Saat ini kesabarannya benar-benar habis.Begitu tiba di teras, ia menatap Anggita lalu berkata dengan tegas. "Gita ke kamar dulu! Ayah mau bicara penting sama Bunda."Melihat wajah ayahnya yang tampak menyeramkan, Anggita tak berani membantah. Meski tangisnya masih belum reda, balita itu menurut untuk masuk ke rumah.Angga menghela napas panjang begitu siluet Anggita tak terlihat lagi. Kini ia menatap tajam pada Indri setelah sebelumnya enggan sekali menatapnya."Mau kamu apa?" Angga tidak membentak, tetapi suaranya cukup menggetarkan kepercayaan diri Indri.Indri memilih bungkam. Untuk menutupi kegusarannya, ia membuang muka dan masih b
"Shan! Tunggu! Itu semua bohong!" teriak Angga.Namun, Shania bergeming. Wanita itu terus melangkah menuju mobilnya.Angga hendak berlari mengejar istrinya itu, tetapi tiba-tiba lengannya dicekal Indri."Kamu mau kemana, Mas?""In, aku selesaikan dulu masalahku dengan Shania, ya? Tolong, kamu ngerti! Setelah semua beres, aku janji bakal balik ke sini.""Tapi kamu baru aja sampai, Mas. Bahkan belum ada sepuluh menit! Gita udah nungguin buat bisa jalan-jalan sama kamu, tidur dibacain dongeng sama kamu tiga minggu lamanya, Mas! Terus gitu aja kamu mau pergi?""Aku ngerti, In. Tapi kamu tahu sendiri gimana keadaannya sekarang. Tolong, In, kamu ngertiin aku, ya! Aku harus bicara sama Shania sekarang. Aku enggak mau dia salah paham. Apalagi sekarang dia sedang hamil.""Jadi aku dan Gita enggak lebih penting dari Shania?" Indri menatap Angga dengan sorot mata terluka. Angga melepas dengan lembut cekalan tangan Indri, kemudian meremas kedua bahu wanita itu. "Dengarkan aku, In. Saat ini Shani
"Shan, a-aku bisa jelasin!"Angga berusaha meraih bahu Shania, tetapi wanita itu mundur selangkah.Shania menggeleng. "Semua udah jelas, Mas!" Suara Shania terdengar tenang, tetapi tegas."Enggak, Shan. Kamu salah paham!" Angga berusaha menggoyahkan keyakinan Shania."Oh, ya? Bagian mana?" tantang Shania."A-aku ... aku ...." Angga menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa kesal sendiri karena tiba-tiba otaknya seperti tidak bisa diajak berpikir. "Siapa, Mas?" Suara wanita dari dalam rumah semakin membuat Angga terpojok. Apalagi saat wanita itu keluar. Dan saat melihat keberadaan Shania, kedua bola mata wanita itu nyaris keluar saking terkejutnya."Hai, Mbak! Kaget, ya?" sapa Shania sembari tersenyum sinis. Lebih tepatnya berusaha menyembunyikan rasa sakitnya yang luar biasa. Perempuan mana yang tidak sakit hati, saat suami pamit untuk pergi dinas di luar kota, tak tahunya berada di rumah mantan istrinya."Ehm ...." Wanita itu bingung hendak menjawab apa."Luar biasa kalian, ya
[Shan, suamimu lagi dinas di luar kota, ya? Kamu percaya?]Shania mengernyit membaca pesan dari nomor tak dikenal tersebut. Bertanya-tanya siapa orang yang tiba-tiba mengirim pesan dengan gaya seperti sudah mengenal Shania.[Maaf, ini siapa?]Tak menunggu lama, Shania langsung mengirim balasan. Karena sebenarnya pagi itu ia juga sedang memikirkan keanehan Angga, suaminya.Shania merasa aneh dengan rutinitas Angga empat bulan terakhir ini. Pasalnya setiap awal bulan setelah gajian, Angga selalu pergi dinas di luar kota. Padahal sebelumnya tidak pernah. Kalaupun ada dinas di luar kota juga hanya sesekali dan tanggalnya tidak tetap. Tidak seperti empat bulan terakhir ini.Tanpa perlu menunggu lama, balasan pesan tersebut Shania terima. Nomor tak dikenal itu mengirim foto Angga keluar dari mobilnya yang terparkir di depan sebuah rumah minimalis.[Ini suamimu, kan?]Shania membeku membaca pesan tersebut dan melihat foto tersebut. Dadanya berdebar tak karuan, perutnya mual, dan kedua telapa