"Sebelum sama Mas Angga, kamu masih gadis, kan? Kenapa mau dijodohkan sama duda anak satu? Apa karena Mas Angga udah mapan jadi kamu mau? Padahal selain duda anak satu kalian juga terpaut umur yang cukup jauh, kan?" Indri menarik sebelah bibirnya sembari menatap Shania dengan sinis.
"Sayangnya walaupun udah nikah lagi, kasih sayang Mas Angga masih utuh untuk kami," imbuh Indri. "Sepertinya benar ya, kalau cinta laki-laki itu bakal habis untuk cinta pertamanya." "Oh, ya?" Shania tidak terpengaruh sedikitpun. "Mbak Indri bangga banget kayaknya ya, masih dicintai sama mantan suami? Belum move on, Mbak?" "Sepertinya sih, Mas Angga yang belum move on," sahut Indri tak mau kalah. "Secara aku kan, cinta pertamanya, pacar pertamanya, dan juga istri pertamanya." "Oh, ya? Mbak seneng banget dong, ya? Selamat deh, kalau gitu. Tapi jangan lupa, Mbak. Mbak Indri juga mantan istrinya!" Mata Indri melebar mendengar perkataan Shania. Ia tidak menyangka wanita berwajah lembut itu mampu berkata setajam itu. "Duduk dulu, Mbak! Aku panggil Mas Angga dulu," ucap Shania lagi. Sementara Indri salah tingkah karena tidak bisa menandingi perkataan Shania tadi. Saat Shania masuk, Indri kembali menatap foto pernikahan Angga dan Shania yang terpajang di ruang tamu. Senyum Angga dan Shania merekah di foto berukuran cukup besar itu. Tentu saja, Indri sangat cemburu melihat itu. Apalagi dua kali menikah dengan Angga, tak sekalipun diadakan pesta. "Awas aja Mas Angga!" gumam Indri. "Bunda! Ayah mana?" rengek Gita yang sudah tidak sabar bertemu Angga. "Di dalam paling, sana kamu masuk!" Anggita menatap ragu pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Balita itu kemudian menggeleng. Meski saat bayi ia pernah tinggal di rumah ini, tetapi tentu saat ini Anggita merasa asing. "Kenapa? Ini rumah ayah, rumah Gita juga!" Anggita tetap menggeleng. Meski sesekali Angga mengajak Anggita main ke rumah itu, tetap saja Anggita yak sebebas ketika berada di rumahnya sendiri. Anggita memang tumbuh menjadi anak pemalu. Indri mendengkus kesal karena putrinya tidak bisa meniru sikap agresifnya. Sementara itu begitu tiba di kamar, Shania langsung mengguncang tubuh Angga dengan kasar. "Mas, bangun!" "Hhm, ada apa, Shan?" tanya Angga dengan malas. Suaranya masih serak karena masih sangat mengantuk. "Tuh, di depan ada mantan istri kamu!" "Siapa?" "Mantan istri kamu datang ke sini nyariin kamu!" ulang Shania masih dengan nada ketus yang sama. "Indri?" "Siapa lagi? Emang ada lagi mantan istri kamu selain dia?" "Ngapain dia ke sini?" Shania mengedikkan bahu. "Astaga, ada-ada aja!" gumam Angga sembari bangkit dari tempat tidur. Angga melangkah gontai meninggalkan Shania yang masih duduk di bibir ranjang. Angga mematung sejenak melihat Indri yang sedang melihat-lihat ruang tamu. Ruangan yang sudah banyak sekali berubah sejak kehadiran Shania. Tidak ada jejak Indri sama sekali di ruangan yang cukup lebar itu. "Ayah!" Anggita berlari menghambur ke tubuh ayahnya. Indri pun menoleh ke arah Angga. "Ayah kenapa lama sekali?" gerutu Anggita. "Ayah bilang cuma sebentar?" "Iya, ayah capek, jadi istirahat dulu. Harusnya Gita sabar nunggu ayah di rumah aja, enggak usah sampai ke sini. Kasihan Gita, nanti capek," ucap Angga yang sudah menekuk lutut di depan putrinya. "Bunda kok, yang ajak Gita ke sini," aku Anggita dengan polosnya. Tentu saja, pengakuan Anggita itu membuat Angga geram dengan Indri. "Ya udah, Gita main dulu sama Ibu, ya! Ayah mau bicara penting sama Bunda," bujuk Angga. Anggita mengangguk setuju. Anak dan ayah itu kemudian menuju kamar dimana Shania berada. "Shan, jaga Gita, ya! Aku mau bicara empat mata sama Indri," ucap Angga begitu membuka pintu kamar. Shania yang sedang memainkan ponsel, menoleh bersamaan dengan Angga yang menyuruh Gita masuk kamar. Tanpa menunggu jawaban Shania, Angga langsung menutup pintu dan kembali ke ruang tamu menemui Indri. Diseretnya lengan Indri hingga mereka berada di teras. Angga tidak mau Shania sampai mendengar percakapannya. "Maksud kamu apa sampai datang ke sini, In?" "Kamu lupa janji kamu tadi apa, Mas?" "Iya, aku tahu. Tapi enggak seharusnya juga kamu sampai datang ke sini! Maksud kamu apa coba?" "Kenapa emangnya kalau aku ke sini? Aku istri kamu juga, aku berhak dong tinggal di rumah ini!" "Jangan macam-macam kamu, In!" "Kamu pikir aku enggak sakit hati selalu di nomor duakan seperti ini, Mas? Aku juga istri kamu, aku punya hak yang sama dengan perempuan itu!" Angga menoleh ke belakang takut Shania mendengar pembicaraannya dengan Indri. Namun, suara Indri yang tertahan, tidak terdengar sampai kamar dimana Shania berada. "Iya, In, aku tahu. Sangat tahu. Kamu juga pasti tahu kan, kalau waktuku juga lebih banyak untuk kamu. Bahkan apapun yang kamu minta selalu aku turuti. Semua aku lakukan karena aku sangat mencintai kamu, In. Makanya, aku minta kamu sabar sedikit, biar semua baik-baik aja." "Kalau gitu, aku mau minta satu hal sama kamu!" Angga mengangguk. "Mintalah apa aja. Selama ini, apa sih yang enggak aku kasih buat kamu? Hem?" Indri tersenyum licik kemudian berkata, "Aku mau, aku sama Gita tinggal di rumah ini juga!""Jangan gila kamu, In!""Kenapa? Aku juga istri kamu, Mas!""Jangan bercanda kamu, In. Mana mungkin kalian tinggal di sini." "Kenapa enggak mungkin? Aku juga berhak tinggal di rumah ini. Tinggal bersama-sama dengan kamu!""Jangan ngaco kamu, In!""Ngaco kamu bilang, Mas?""Tentu saja! Apa namanya kalau bukan ngaco?""Aku istri kamu, Mas! Aku juga ingin bisa terus sama-sama dengan kamu! Kamu pikir, aku enggak sedih selalu sendirian di rumah? Setiap malam aku bahkan ngebayangin kamu sedang mesra-mesraan sama perempuan itu?" Satu bulir bening terjatuh dari pelupuk mata Indri."Hati aku sakit, Mas. Aku ... enggak rela suamiku bersama perempuan lain." Indri tersedu-sedu. "Perempuan mana yang sanggup membayangkan orang yang paling dicintai bermesraan dengan perempuan lain? Perempuan mana, Mas?""Aku ngerti, In. Tapi ...."Aku enggak sanggup, Mas. Aku enggak sanggup .... Tiap malam, aku bahkan enggak pernah bisa tidur karena mikirin kamu ....""Aku ngerti, In." Angga memegang kedua bahu In
"Jadi, acara meeting kamu di luar kota gimana, Mas?" tanya Shania saat Angga bersiap berangkat ke kantor.Lelaki yang tengah mengenakan jam tangan itu terkejut dan menoleh ke arah istrinya. "Ehm ... anu ... itu, daripada aku telat udah absen kemarin, aku izin untuk bulan ini," dusta Angga."Bisa gitu, ya?" sahut Shania sembari mengenakan hijab di depan cermin meja riasnya."Ya gimana lagi. Namanya juga ada kepentingan yang lebih penting." Lelaki bertubuh tegap itu berjalan ke arah Shania. Dipegangnya bahu istrinya itu agar menghadapnya. "Kamu tahu apa yang lebih penting buat aku saat ini?" Shania menggeleng ragu."Astaga! Kamu enggak tahu, Shan?"Shania kembali menggeleng."Astaga .... Buat aku, kamu yang paling penting, Shan! Kamu lebih penting dari semua yang ada di hidup aku, Shan. Itu sebabnya aku milih pulang buat lurusin semuanya sama kamu. Karena aku enggak akan bisa tenang, seandainya kemarin tetap berangkat buat meeting. Sementara kamu salah paham sama aku."Shania ragu unt
"Baik, Mas! Antar mereka! Pastikan mereka baik-baik saja sampai rumah. Aku janji, ke depan enggak akan pernah lagi merepotkan kamu! Selamanya!""Sh-Shania, kenapa kamu ngomong gitu?" Angga terkejut dengan respon istrinya."Kenapa? Bukannya itu yang kamu mau?""Ta-tapi ....""Udah, Mas," potong Indri. "Daripada kamu sama istri kamu jadi bertengkar, aku pulang sendiri enggak apa-apa. Aku udah terbiasa apa-apa sendiri, kok. Toh, kalau aku sama Gita kenapa-napa, enggak akan ada yang kehilangan kami." Indri berusaha menarik simpati Angga."Udah, antar mereka, Mas! Tenang aja. Lagian ini bukan kali pertama aku periksa kandungan sendiri."Tak mau banyak drama, Shania langsung meninggalkan mereka. Wanita itu memilih untuk bersiap ke dokter.Tak berselang lama, Angga menyusul.Keduanya sama-sama diam meski berada di ruangan yang sama. Sebenarnya Angga ingin meminta maaf kepada Shania, tetapi gengsinya terlalu tinggi. Suara notifikasi dari ponsel Shania memecah keheningan. Wanita bermata benin
"Pilihanmu tepat buat jadi sekretaris Angga. Kamu bisa belajar banyak mengelola swalayan sama dia," ucap Akbar."Iya, Om.""Besok sekretaris Angga Om geser ke posisi lain.""Oke. Untuk PAUD tolong Carikan orang buat gantiin posisiku, ya, Om!""Gampang itu."Sebenarnya untuk mencari tahu kebenaran tentang dinas luar kota Angga, tanpa menjadi sekretaris pun Shania bisa. Namun, Shania tidak ingin masalah itu melebar kemana-mana. Ia takut juga kalau ternyata instingnya salah dan ternyata Angga jujur kepadanya. Jadi, Shania memutuskan untuk mencari kebenarannya sendiri."Oh, ya, kapan bisa mulai masuk?" tanya Akbar."Ehm, lusa kayaknya bisa, Om. Biar aku serah terima kerjaan dulu di PAUD.""Oke. Om akan siapkan semuanya buat kamu.""Tapi, Om. Tetap enggak usah ekspos latar belakangku, ya! Aku ... ingin tetap kayak gini aja, Om.""Tapi kayaknya bakalan sulit, Shan. Soalnya kamu masuknya jalur instan begini. Mereka pasti bakal cari tahu, siapa kamu sampai Om minta posisi buat kamu.""Iya jug
"Tumben kamu belum siap-siap? Hari ini libur?" tanya Angga saat sarapan bersama Shania.Shania tersenyum kecil. Menatap Angga yang sedang lahap menyantap nasi goreng. Rencananya pagi ini Shania akan menceritakan semua tentang dirinya kepada Angga. "Aku ... enggak ngajar di PAUD lagi, Mas." Sontak Angga langsung tersedak nasi goreng yang ada di mulutnya. Sampai ia terbatuk-batuk tanpa kendali.Shania pun mengulurkan segelas air minum. Angga menerima dan meminumnya dengan kasar."Apa!? Kamu berhenti ngajar!?" seru Angga. Lelaki itu menatap Shania dengan tajam. Bahkan gelas yang sudah kosong itu nyaris ia banting ke meja."Kenapa?" tanya Angga dengan wajah terkejut, kecewa, marah, dan tidak suka.Senyum Shania lenyap seketika. Ia tidak menyangka reaksi Angga akan semarah itu. Sampai-sampai ia membuka mulut tanpa suara saking kagetnya."A-aku ....""Kamu kan tahu, Shan, gajiku itu berapa," potong Angga. "Kalau kamu enggak ikut bantu-bantu uang dapur, terus bebanin semuanya ke aku ....
"Oke!" ucap Shania dengan tegas. "Lebih baik emang gitu! Kita enggak usah saling peduli lagi! Kita hidup masing-masing! Aku dengan urusanku dan kamu dengan urusanmu!"Angga tercengang mendengar ucapan Shania. Lelaki itu sampai menatap wajah Shania tidak percaya. Karena ini kali pertama Shania yang biasanya lembut dan penurut bersikap seperti itu."Satu hal lagi!" lanjut Shania. "Kamu juga harus tahu. Uang bulanan yang kamu kasih ke aku itu, enggak cukup sekadar untuk mengisi perut orang-orang yang ada di rumah ini selama sebulan. Apalagi seperti katamu tadi. Apa tadi? Aku menghambur-hamburkan uangmu? Aku belanja ini pakai uang dua juta dari kamu? Kamu pikir dua juta itu banyak banget, Mas!?""Jadi kamu mau protes dengan uang bulanan yang selama ini aku kasih? Kamu enggak terima aku kasih segitu?" Angga tak mau kalah. "Enggak!" bantah Shania. "Aku enggak akan protes! Tapi, aku enggak mau lagi nerima uang sisa gaji kamu itu!""Hoh!? Songong sekali kamu, Shan! Kamu pikir kamu siapa, hah
"Loh, Mas, tumben kamu ke sini?" Indri sangat terkejut melihat Angga yang mengetuk pintu malam-malam. Padahal lelaki itu sama sekali tidak mengabari kalau mau datang."Iya, aku pusing di rumah," jawab Angga masih dengan wajah suntuk.Indri masih tertegun di depan pintu. Bahkan tidak mempersilakan Angga masuk. Sampai laki-laki itu menyelonong sendiri."Gita udah tidur?""Udah." Indri sibuk dengan ponselnya sekejap, lalu mengikuti langkah Angga."Buatin kopi, sama sekalian siapin makan malam, ya!" pinta Angga sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang keluarga."Oke." Indri ke kamar terlebih dahulu untuk menaruh ponsel. Baru kemudian ke dapur untuk membuatkan Angga kopi dan menyiapkan makan malam untuk Angga.Saat menunggu kopi, perut Angga tiba-tiba mulas. Lelaki berkaos hitam itu kemudian ke kamar mandi yang ada di kamar Indri. Setelahnya ia merebahkan badan di atas ranjang kamar Indri. Pikiran Angga begitu penat memikirkan pertengkarannya dengan Shania. Ia masih belum percaya kalau
"Bu, kenalin ini Mbak Wati. Dia yang nanti akan nemenin Ibu selama aku kerja," ucap Shania.Rani mengangguk dan tersenyum ramah kepada Wati. Sementara Wati langsung menyalami majikan barunya."Nitip Ibu ya, Mbak. Kalau apa yang tadi aku jelasin ada yang Mbak Wati tanyakan, nanti bisa hubungi nomor yang udah aku kasih itu," ucap Shania lagi."Baik, Bu," jawab wanita 40 tahun itu. Wati tadi datang setelah Angga berangkat, jadi lelaki itu tidak tahu perihal pengasuh ibunya dan juga Shania yang hari ini akan mulai menjadi sekretarisnya."Ya udah, aku tinggal siap-siap dulu, ya? Ibu ngobrol-ngobrol dulu aja sama Mbak Wati biar akrab."Rani tersenyum hangat pada menantunya itu sembari mengangguk.***Jalanan cukup macet pagi ini. Untungnya Angga berangkat ke kantor dari rumah, sehingga ia bisa tiba tepat waktu.Setelah selesai memarkir mobil, ponsel Angga berdering. Tampak nama Indri muncul di layar ponsel lelaki berkemeja biru itu."Iya, In. Gimana?""Kamu udah di kantor, Mas?""Udah, ini
Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man
"Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men
[Shan, aku di rumah Om Akbar. Kamu ada lembur?]Shania menatap layar ponselnya dengan mata yang lelah, lalu tersenyum tipis saat membaca pesan itu.[Enggak, ini lagi siap-siap pulang.][Sip, deh. Nanti temenin aku cari kado, ya?][Oke.]Shania merapikan berkas-berkas di meja. Ruang sekretaris yang menjadi tempat kerja Shania cukup sepi. Hanya tersisa suara gemerisik AC dan detik jam di dinding. Aroma kopi yang samar masih menggantung di udara ketika Hendra mendekat ke arahnya. Dasi laki-laki itu sudah sedikit longgar. Namun, tak mengurangi ketampanannya.“Udah mau pulang, Shan?” tanya Hendra sambil tersenyum manis.“Iya, Hen. Aku duluan nggak apa-apa, ya?” Shania balas tersenyum, tapi ada lelah di matanya yang tak bisa disembunyikan.“Tentu aja, santai.” Hendra melipat tangannya di dada. “Angga udah kasih kabar?”Shania menghela napas lalu menggeleng pelan. “Belum. Tapi soal meeting tadi kayaknya aman dipegang Om Andreas.”“Baguslah. Tapi tetap aja, nggak seharusnya dia ninggalin tang
Tanpa Shania duga, lelaki yang wajahnya penuh lebam itu tiba-tiba berlutut di depannya."Aku mohon, Shan. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku mohon .... Demi ibu, demi Gita, dan demi pernikahan kita berdua. Aku mohon, Shan ...."Shania menggelengkan kepala. "Maaf Mas ....""Shan! Aku mohon!" potong Angga. Ia tidak ingin mendengar penolakan dari Shania. "Oke! Aku ngaku salah. Tapi, tolong beri aku kesempatan, Shan! Aku janji bakal perbaiki semuanya. Aku janji bakal jadi suami yang baik buat kamu."Angga memegangi lutut Shania dengan erat."Shan, kamu tau, aku udah enggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah pergi, apa iya, kamu juga akan pergi ninggalin aku dan Gita? Gimana aku sama Gita harus lanjutin hidup, Shan? Gimana?""Mas, tolong lepas!" Shania berusaha melepas cekalan tangan Angga di lututnya. Namun, Angga justru semakin mempereratnya."Enggak, Shan. Sebelum kamu maafin aku, aku akan terus ka
Shania terdiam mendengar permintaan polos Anggita. Hati kecilnya semakin tersayat. Ia sangat tidak tega saat menatap mata tanpa dosa balita itu."Emang Bunda Gita enggak mau ke sini?" tanya Shania hati-hati.Anggita terdiam dan menatap Shania cukup lama. Sampai akhirnya sorot itu semakin layu, baru kemudian menjawab, "Bunda sama Ayah bertengkar, Bu. Terus ... Gita diajak Ayah pulang ke sini. Bundanya pergi sama Om Hilmi. Tapi ... tadi pas sampai di sini ...." Anggita terlalu sedih untuk melanjutkan perkataannya. Mengingat betapa takutnya ia tadi saat melihat ayahnya dipukuli oleh orang yang selama ini ia panggil Kakek Akbar.Shania semakin merasa bersalah. Kini ia paham dengan nasehat papanya dulu. "Tidak akan ada kebaikan yang kamu dapat, dari mengedepankan emosi. Tahan diri, tunggu tenang sebentar, lalu bicarakan baik-baik. Karena kalau tidak, yang ada semua akan hancur. Tidak hanya yang melakukan kesalahan aja. Tapi, semua orang yang
Ponsel Shania berdering berkali-kali. Panggilan masuk dari Angga sudah lebih dari lima kali. Namun, Shania memilih mengabaikannya. Apalagi saat itu ia sedang makan malam bersama om dan tantenya juga Hamish. Ia tidak mau diganggu oleh Angga.Setelah dering panggilan berhenti beberapa saat, notifikasi pesan di ponsel Shania berbunyi. Dari layar tampak Mbak Sari yang mengirim pesan. Shania pun membukanya tanpa berpikir buruk.[Assalamualaikum, Bu Shania. Saya mau mengabarkan kalau Bu Rani meninggal dunia.]Shania melempar ponselnya. Mata wanita itu melebar, sementara kedua tangannya gemetaran."Ada apa, Shan?" tanya Renata. Shania hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.Renata pun memungut ponsel Shania di lantai. Dibacanya pesan dari Mbak Sari yang masih terbuka tersebut."Innalilahi! Ini benar enggak?" teriak Renata."Apa, Ma?" tanya Akbar ikut panik.Hamish pun menatap Renata dengan penasaran."Bu Rani, Pa ....""Bu Rani kenapa?" kejar Akbar."Bu Rani ... meninggal d
Melihat Shania menarik dua koper berukuran besar, Angga pun sangat terkejut. "S-Shan, kenapa kamu ...."Shania menghela napas, kemudian berkata dengan tenang, "Semua sudah cukup gamblang, Mas Angga. Enggak ada yang perlu dijelaskan lagi dan enggak ada juga yang perlu dipertahankan lagi. Dari awal niat menikah Mas Angga sudah enggak baik, jadi lebih baik kita akhiri pernikahan ini, agar semua bisa kembali berjalan di tempatnya masing-masing."Angga tercengang mendengar penuturan Shania itu."Mas Angga masih sangat mencintai Mbak Indri, kan? Kalian ingin Gita tumbuh besar tanpa merasakan kekurangan kasih sayang kedua orang tua, kan? Silakan, Mas! Aku enggak akan menjadi penghalang di antara kalian.""Enggak, Shan. Enggak gitu. Ini salah paham. Tolong kamu dengerin aku dulu!" Angga benar-benar takut Shania meninggalkannya. Lelaki itu langsung memegangi kedua bahu Shania.Shania tersenyum sembari menyingkirkan tangan Angga dari bahunya. "Engg
Melihat ayahnya dipukul sampai nyaris terjatuh, Anggita ketakutan. Apalagi saat melihat ada darah di sudut bibir Angga, Anggita langsung menangis histeris."Ayah .... Ayah .... Ayah ...."Angga merengkuh bahu Anggita yang berguncang. Kemudian ia menatap Shania dengan wajah memelas. Berharap Shania akan mengasihaninya. Setidaknya peduli dengan Anggita.Namun, tanpa memedulikan itu, Akbar kembali menarik kerah kemeja Angga, dan mendaratkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke pipi Angga. "Laki-laki brengs*k! Kurang aj*r! Enggak tau diuntung!" hardik Akbar bak orang kesetanan.Anggita pun semakin histeris. "Ayah! Ayah!" Balita itu berjingkat-jingkat ketakutan.Angga yang nyaris terjengkang langsung memeluk putrinya. Sementara matanya menatap Shania dengan nelangsa. Angga sangat berharap Shania segera menolongnya.Shania kemudian bangkit dari sofa.Melihat itu, Angga bernapas lega. Ternyata meski Shania marah kepadanya, wanita
"Mas, aku minta maaf .... Aku minta maaf ...." Indri bersimpuh dan berusaha meraih kaki Angga, menahan agar laki-laki yang sudah menalaknya itu tidak pergi."Lepas!" Angga mengibaskan tangan Indri."Enggak, Mas. Enggak! Aku benar-benar minta maaf. Aku minta maaf. Aku khilaf, Mas. Aku khilaf ....""Khilaf sampai hamil? Gila kamu! Pergi kamu dari rumah ini!""Enggak! Enggak, Mas!""Pergi!" teriak Angga yang sudah tak bisa mengendalikan amarahnya.Sementara Hilmi hanya bisa memegangi kedua bahu Indri dari belakang tanpa bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mau berbuat sesuatu, sementara selama ini hidupnya ditanggung sepenuhnya oleh Indri. Dan pemasukan Indri didapat dari Angga. Jadi jika ia melawan Angga, yang ada nanti keadaan semakin runyam."Aku ingatkan kamu, In! Segera pergi dari rumah ini! Karena setelah ini, rumah ini akan aku jual secepatnya!""Mas!" teriak Indri yang sangat terkejut dengan keputusan Angga. "Enggak, Mas! Jangan! Aku mohon! Silakan bawa Gita, tapi aku mohon jangan ju