"Shania? Sekretaris bawaan bos?" Entah sudah berapa kali Angga mondar-mandir di ruang kerjanya. Ia masih belum bisa percaya kalau Shania adalah sekretaris barunya yang Mila bilang bawaan bos mereka."Bagaimana mungkin? Shania? Bawaan bos? Gimana bisa?" Pertanyaan itu terus berulang keluar dari mulut Angga. Lelaki itu sampai menarik dasinya dengan kasar agar lehernya tidak tercekik saking frustasinya. "Apa mungkin Pak Hendra kenalan Om Akbar?" Jari-jarinya memegangi dagu dengan sebelah tangan berkacak pinggang. "Tapi ... mana mungkin? Om Akbar cuma PNS biasa. Gimana ceritanya bisa punya kenalan petinggi perusahaan seperti Pak Hendra. Tapi kalau bukan dari Om Akbar, gimana Shania bisa kenal sama Pak Hendra?"Saking frustasinya, Angga sampai mengacak-acak rambutnya. "Ah, sial!"Sebenarnya tadi Angga ingin sekali bertanya langsung pada Shania. Hanya saja ia tidak enak karena ada Hendra. Angga tidak mau orang lain tahu kalau sebenarnya dirinya tidak mengetahui perihal Shania yang menjadi
"Kamu bohong, kan? Dinas luar kota itu cuma akal-akalanmu aja, kan? Biar kamu bisa leluasa ke rumah mantan istrimu itu?""Enggak, Shan! Enggak gitu." Angga tak terima, meski nyatanya yang dikatakan Shania benar adanya."Kalian itu udah cerai, Mas. Dan aku, istri kamu yang sekarang. Apa kamu benar-benar belum bisa move on dari Mbak Indri? Segitu cintanya kamu sama dia sampai tega bohongin aku demi bisa sama-sama dengan dia?""Enggak, Shan. Enggak! Aku bilang enggak, ya enggak!" bentak Angga."Terus kenapa kamu sampai bohong setiap bulan seperti ini?""Aku enggak ada niat bohong sama kamu, Shan." Angga masih berusaha membela diri dengan mengelak semua tuduhan Shania."Enggak ada niat bohong? Berarti selama ini kamu emang bohong?""Ayo, aku jelasin! Kita duduk dulu!" ajak Angga untuk mereda ketegangan di antara mereka.Shania pun menurut. Mereka duduk di sofa yang ada di ruang kerja Angga."Apa yang mau kamu jelasin?" kejar Shania tidak sabar."Gini, Shan." Angga menghela napas panjang u
"Apa yang harus aku lakukan biar Shania enggak maksa ke Tegal? Oh, Ghosh!" Angga terus mengumpat dalam hati sembari menyetir mobil.Otaknya buntu, pikirannya ruwet seperti benang kusut. Ternyata satu kebohongan membuatnya kelimpungan untuk mencari kebohongan yang lainnya."Gimana ini ke depannya?" gumam Angga dalam hati. "Agrh! Shittt!" "Mas! Awas!" seru Shania saat Angga nyaris menabrak mobil di depannya."Lampu merah, Mas! Kamu kenapa, sih, Mas, ngelamun aja dari tadi?" tanya Shania sembari menatap Angga tidak suka."Enggak. Aku cuma ...." Sejenak Angga memikirkan alasan yang tepat untuk mengelak. "Kayak enggak enak aja sama Pak Hendra, Pak Andreas, dan teman-teman lain. Masa hanya karena kamu teman dan anak kenalan bos, kita kerja sembarangan gini. Apalagi ini hari pertama kamu masuk kerja, loh."Dalam hati Shania membenarkan apa yang Angga katakan. Namun, ia tidak bisa menunda untuk memastikan perkataan Angga. Shania tidak m
"Pak, tolong istri saya! Tolong istri saya!" teriak Angga yang masih terjebak di dalam mobil. Pintu mobil Angga macet sehingga ia tidak bisa keluar. Sementara bagian sisi Shania ringsek. Angga sangat panik karena wajah Shania sudah bersimbah darah dan istrinya itu tidak sadarkan diri."Siapapun tolong!!!" teriak Angga. "Tolong panggil ambulans!!"Orang-orang yang berkerumun untuk membantu Angga dan Shania sebenarnya sudah menelepon ambulans. Hanya saja butuh waktu sampai ambulans datang. Mereka berusaha mengeluarkan Shania dan Angga. Sampai akhirnya saat polisi dan ambulans datang, pintu mobil Angga sudah berhasil dibuka."Selamatkan istri saya! Selamatkan istri saya! Saya mohon, selamatkan istri saya!" Angga sangat panik saat Shania ditandu menuju ambulans. Nyaris sekujur tubuh Shania bersimbah darah. Apalagi bagian kaki."Bapak yang tenang, berdoa agar istri Bapak baik-baik saja!" nasehat perawat.Setelah dilakukan pertolongan pertama, Shania dan Angga langsung dilarikan ke rumah s
"Gimana ceritanya Indri bisa hamil? Sementara aku selalu pakai pengaman?" Pertanyaan itu hanya menggaung di rongga dada Angga."Mas? Kok, malah bengong? Kamu enggak senang?" protes Indri melihat ekspresi Angga.Angga menoleh ke arah Anggita yang sedang duduk sembari memperhatikan ayah dan bundanya. "Ehm, Git, Gita sama Mbak Wati dulu, ya! Ayah mau bicara penting sama Bunda." Gita mengangguk. "Iya, Yah.""Mbak Wati! Tolong ajak Gita main di belakang!" seru Angga.Mbak Wati yang sedang berada di kamar belakang pun tergopoh keluar. Wanita bertubuh gempal itu mengajak Anggita bermain di kamar belakang.Indri menjadi salah tingkah melihat sikap Angga yang seperti itu. Namun, bukan Indri namanya kalau tidak bisa bersikap seolah-olah dia korbannya."Kamu hamil, In?" tanya Angga setelah beberapa saat. "Iya, Mas. Kok, kamu kayak enggak suka gitu, sih?" Indri memasang wajah cemberut."Bukan enggak suk
"Calon CEO? Maksud Bapak apa, ya?" tanya Angga dengan sungkan. Namun, ia tidak bisa lagi menahan diri."Wah, rupanya Pak Angga ini masih belum tau, ya?" tanya salah seorang dari mereka. "Supermarket tempat Pak Angga kerja, kan, punya Bu Shania. Beliau pewaris tunggal dari berbagai bisnis besar milik almarhum Pak Lukman Al Rasyid.""A-apa?" gumam Angga. Kepalanya masih belum mampu mencerna ucapan salah satu petinggi di perusahaan tempatnya bekerja itu.Mungkin jika di ruangan itu tidak ada orang, Angga bisa berteriak saking syoknya. Hanya saja, ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan diri agar tidak bersikap berlebihan."Jadi ... Lukman Al Rasyid itu ayah Shania?" gumam Angga. Angga merasa begitu bodoh karena selama ini tidak pernah memikirkan siapa ayah Shania. Hanya sekadar tahu namanya dan statusnya sudah meninggal. Tidak pernah terbersit sedikitpun di benak Angga bahwa Lukman Al Rasyid ayah Shania adalah Lukman Al Rasyid pe
"Mas, kenapa sih dari tadi kamu bengong aja?" protes Indri.Sejak pulang dari rumah sakit, Angga memang hanya bengong dan tidak banyak bicara. Termasuk malam itu saat ia dan Indri duduk bersantai di ruang keluarga."Mas!" seru Indri sembari menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Angga."Apaan, sih, In!?" Angga sewot karena pikirannya sedang penuh. "Udah, aku mau tidur!"Tanpa memedulikan Indri, Angga melenggang ke kamar. Bak tuan rumah, Indri langsung mengikuti Angga ke kamar utama. Kamar yang menjadi peraduan Angga dan Shania."Aku salah apa sampai kamu sewat sama aku, Mas?" Indri tidak terima. Ia menghadang langkah suaminya."Aku lagi pusing, In! Bisa enggak sih, kamu diem!?""Aku enggak tau apa-apa kamu bentak-bentak kayak gini, Mas?" Indri tidak terima."Aku udah bilang, kan? Aku lagi pusing! Aku ingin tenang! Kamu dengar enggak!?" seru Angga tanpa peduli waktu sudah cukup malam."Aku juga cuma tanya kenapa kamu diemin aku kayak gitu! Tinggal kamu jawab apa susahnya, sih,
"Gila kamu, Ga! Kamu sama aja nyimpan bom waktu, tau!" Damar membentak Angga lewat sambungan telepon. "Selingkuh itu bom waktu, Ga!" lanjut Damar. "Kamu tinggal nunggu, kapan bom itu akan meledak dan bam! Semua hancur!" "Tapi gimana lagi, Dam. Enggak mungkin aku melepas Indri, apalagi Shania. Dua-duanya punya peranan penting buat hidup aku!" Angga berusaha mencari pembenaran.Damar menghela napas panjang. Sebelah tangannya yang tidak memegangi ponsel berkacak pinggang. "Kamu enggak liat sekarang aku kayak gimana, Ga? Endingnya aku sama Dona kayak gimana?"Angga tak menyahut. Tak tahu harus berkata apa karena tahu akhir percintaan temannya itu sehancur apa."Dulu aku juga mikirnya persis kayak yang kamu, Ga. Aku enggak mau kehilangan Tina, tapi aku juga mau sama Dona. Endingnya? Kamu liat sendiri, kan?""Tapi untuk sekarang aku benar-benar belum bisa milih, Dam. Seenggaknya untuk waktu sekarang ini. Please, kamu tolongin aku!"
Entah sudah berapa lama Indri menangis di bawah gerimis. Tatapannya tak lepas dari rumah yang kini gelap gulita di depannya. Padahal sekitar seminggu yang lalu, ia masih nyaman menempati rumah itu. Rumah yang segala kebutuhannya ditanggung sepenuhnya oleh Angga."Mas ...." Indri meratap. Ia ingin sekali bersujud dan memohon ampun kepada Angga."Aku benar-benar minta maaf ...."Entah berapa kali Indri menggumamkan kalimat itu sambil tergugu. Seolah-olah Angga sedang berada di depannya. Sampai akhirnya ponsel di tasnya berdering. Dengan cepat Indri merogoh ponselnya. Kemudian melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini."Mas Angga," gumam Indri. Rasanya ia tak percaya kalau laki-laki yang sedang ia tangisi menghubunginya. Langsung saja Indri mengangkat panggilan tersebut."Ha-halo, Mas," sapa Indri."In ...." Suara berat Angga terdengar dari seberang. Indri tak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat sampai ia
Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man
"Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men
[Shan, aku di rumah Om Akbar. Kamu ada lembur?]Shania menatap layar ponselnya dengan mata yang lelah, lalu tersenyum tipis saat membaca pesan itu.[Enggak, ini lagi siap-siap pulang.][Sip, deh. Nanti temenin aku cari kado, ya?][Oke.]Shania merapikan berkas-berkas di meja. Ruang sekretaris yang menjadi tempat kerja Shania cukup sepi. Hanya tersisa suara gemerisik AC dan detik jam di dinding. Aroma kopi yang samar masih menggantung di udara ketika Hendra mendekat ke arahnya. Dasi laki-laki itu sudah sedikit longgar. Namun, tak mengurangi ketampanannya.“Udah mau pulang, Shan?” tanya Hendra sambil tersenyum manis.“Iya, Hen. Aku duluan nggak apa-apa, ya?” Shania balas tersenyum, tapi ada lelah di matanya yang tak bisa disembunyikan.“Tentu aja, santai.” Hendra melipat tangannya di dada. “Angga udah kasih kabar?”Shania menghela napas lalu menggeleng pelan. “Belum. Tapi soal meeting tadi kayaknya aman dipegang Om Andreas.”“Baguslah. Tapi tetap aja, nggak seharusnya dia ninggalin tang
Tanpa Shania duga, lelaki yang wajahnya penuh lebam itu tiba-tiba berlutut di depannya."Aku mohon, Shan. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku mohon .... Demi ibu, demi Gita, dan demi pernikahan kita berdua. Aku mohon, Shan ...."Shania menggelengkan kepala. "Maaf Mas ....""Shan! Aku mohon!" potong Angga. Ia tidak ingin mendengar penolakan dari Shania. "Oke! Aku ngaku salah. Tapi, tolong beri aku kesempatan, Shan! Aku janji bakal perbaiki semuanya. Aku janji bakal jadi suami yang baik buat kamu."Angga memegangi lutut Shania dengan erat."Shan, kamu tau, aku udah enggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah pergi, apa iya, kamu juga akan pergi ninggalin aku dan Gita? Gimana aku sama Gita harus lanjutin hidup, Shan? Gimana?""Mas, tolong lepas!" Shania berusaha melepas cekalan tangan Angga di lututnya. Namun, Angga justru semakin mempereratnya."Enggak, Shan. Sebelum kamu maafin aku, aku akan terus ka
Shania terdiam mendengar permintaan polos Anggita. Hati kecilnya semakin tersayat. Ia sangat tidak tega saat menatap mata tanpa dosa balita itu."Emang Bunda Gita enggak mau ke sini?" tanya Shania hati-hati.Anggita terdiam dan menatap Shania cukup lama. Sampai akhirnya sorot itu semakin layu, baru kemudian menjawab, "Bunda sama Ayah bertengkar, Bu. Terus ... Gita diajak Ayah pulang ke sini. Bundanya pergi sama Om Hilmi. Tapi ... tadi pas sampai di sini ...." Anggita terlalu sedih untuk melanjutkan perkataannya. Mengingat betapa takutnya ia tadi saat melihat ayahnya dipukuli oleh orang yang selama ini ia panggil Kakek Akbar.Shania semakin merasa bersalah. Kini ia paham dengan nasehat papanya dulu. "Tidak akan ada kebaikan yang kamu dapat, dari mengedepankan emosi. Tahan diri, tunggu tenang sebentar, lalu bicarakan baik-baik. Karena kalau tidak, yang ada semua akan hancur. Tidak hanya yang melakukan kesalahan aja. Tapi, semua orang yang
Ponsel Shania berdering berkali-kali. Panggilan masuk dari Angga sudah lebih dari lima kali. Namun, Shania memilih mengabaikannya. Apalagi saat itu ia sedang makan malam bersama om dan tantenya juga Hamish. Ia tidak mau diganggu oleh Angga.Setelah dering panggilan berhenti beberapa saat, notifikasi pesan di ponsel Shania berbunyi. Dari layar tampak Mbak Sari yang mengirim pesan. Shania pun membukanya tanpa berpikir buruk.[Assalamualaikum, Bu Shania. Saya mau mengabarkan kalau Bu Rani meninggal dunia.]Shania melempar ponselnya. Mata wanita itu melebar, sementara kedua tangannya gemetaran."Ada apa, Shan?" tanya Renata. Shania hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.Renata pun memungut ponsel Shania di lantai. Dibacanya pesan dari Mbak Sari yang masih terbuka tersebut."Innalilahi! Ini benar enggak?" teriak Renata."Apa, Ma?" tanya Akbar ikut panik.Hamish pun menatap Renata dengan penasaran."Bu Rani, Pa ....""Bu Rani kenapa?" kejar Akbar."Bu Rani ... meninggal d
Melihat Shania menarik dua koper berukuran besar, Angga pun sangat terkejut. "S-Shan, kenapa kamu ...."Shania menghela napas, kemudian berkata dengan tenang, "Semua sudah cukup gamblang, Mas Angga. Enggak ada yang perlu dijelaskan lagi dan enggak ada juga yang perlu dipertahankan lagi. Dari awal niat menikah Mas Angga sudah enggak baik, jadi lebih baik kita akhiri pernikahan ini, agar semua bisa kembali berjalan di tempatnya masing-masing."Angga tercengang mendengar penuturan Shania itu."Mas Angga masih sangat mencintai Mbak Indri, kan? Kalian ingin Gita tumbuh besar tanpa merasakan kekurangan kasih sayang kedua orang tua, kan? Silakan, Mas! Aku enggak akan menjadi penghalang di antara kalian.""Enggak, Shan. Enggak gitu. Ini salah paham. Tolong kamu dengerin aku dulu!" Angga benar-benar takut Shania meninggalkannya. Lelaki itu langsung memegangi kedua bahu Shania.Shania tersenyum sembari menyingkirkan tangan Angga dari bahunya. "Engg
Melihat ayahnya dipukul sampai nyaris terjatuh, Anggita ketakutan. Apalagi saat melihat ada darah di sudut bibir Angga, Anggita langsung menangis histeris."Ayah .... Ayah .... Ayah ...."Angga merengkuh bahu Anggita yang berguncang. Kemudian ia menatap Shania dengan wajah memelas. Berharap Shania akan mengasihaninya. Setidaknya peduli dengan Anggita.Namun, tanpa memedulikan itu, Akbar kembali menarik kerah kemeja Angga, dan mendaratkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke pipi Angga. "Laki-laki brengs*k! Kurang aj*r! Enggak tau diuntung!" hardik Akbar bak orang kesetanan.Anggita pun semakin histeris. "Ayah! Ayah!" Balita itu berjingkat-jingkat ketakutan.Angga yang nyaris terjengkang langsung memeluk putrinya. Sementara matanya menatap Shania dengan nelangsa. Angga sangat berharap Shania segera menolongnya.Shania kemudian bangkit dari sofa.Melihat itu, Angga bernapas lega. Ternyata meski Shania marah kepadanya, wanita