"Calon CEO? Maksud Bapak apa, ya?" tanya Angga dengan sungkan. Namun, ia tidak bisa lagi menahan diri.
"Wah, rupanya Pak Angga ini masih belum tau, ya?" tanya salah seorang dari mereka. "Supermarket tempat Pak Angga kerja, kan, punya Bu Shania. Beliau pewaris tunggal dari berbagai bisnis besar milik almarhum Pak Lukman Al Rasyid.""A-apa?" gumam Angga. Kepalanya masih belum mampu mencerna ucapan salah satu petinggi di perusahaan tempatnya bekerja itu.Mungkin jika di ruangan itu tidak ada orang, Angga bisa berteriak saking syoknya. Hanya saja, ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan diri agar tidak bersikap berlebihan."Jadi ... Lukman Al Rasyid itu ayah Shania?" gumam Angga.Angga merasa begitu bodoh karena selama ini tidak pernah memikirkan siapa ayah Shania. Hanya sekadar tahu namanya dan statusnya sudah meninggal.Tidak pernah terbersit sedikitpun di benak Angga bahwa Lukman Al Rasyid ayah Shania adalah Lukman Al Rasyid pe"Mas, kenapa sih dari tadi kamu bengong aja?" protes Indri.Sejak pulang dari rumah sakit, Angga memang hanya bengong dan tidak banyak bicara. Termasuk malam itu saat ia dan Indri duduk bersantai di ruang keluarga."Mas!" seru Indri sembari menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Angga."Apaan, sih, In!?" Angga sewot karena pikirannya sedang penuh. "Udah, aku mau tidur!"Tanpa memedulikan Indri, Angga melenggang ke kamar. Bak tuan rumah, Indri langsung mengikuti Angga ke kamar utama. Kamar yang menjadi peraduan Angga dan Shania."Aku salah apa sampai kamu sewat sama aku, Mas?" Indri tidak terima. Ia menghadang langkah suaminya."Aku lagi pusing, In! Bisa enggak sih, kamu diem!?""Aku enggak tau apa-apa kamu bentak-bentak kayak gini, Mas?" Indri tidak terima."Aku udah bilang, kan? Aku lagi pusing! Aku ingin tenang! Kamu dengar enggak!?" seru Angga tanpa peduli waktu sudah cukup malam."Aku juga cuma tanya kenapa kamu diemin aku kayak gitu! Tinggal kamu jawab apa susahnya, sih,
"Gila kamu, Ga! Kamu sama aja nyimpan bom waktu, tau!" Damar membentak Angga lewat sambungan telepon. "Selingkuh itu bom waktu, Ga!" lanjut Damar. "Kamu tinggal nunggu, kapan bom itu akan meledak dan bam! Semua hancur!" "Tapi gimana lagi, Dam. Enggak mungkin aku melepas Indri, apalagi Shania. Dua-duanya punya peranan penting buat hidup aku!" Angga berusaha mencari pembenaran.Damar menghela napas panjang. Sebelah tangannya yang tidak memegangi ponsel berkacak pinggang. "Kamu enggak liat sekarang aku kayak gimana, Ga? Endingnya aku sama Dona kayak gimana?"Angga tak menyahut. Tak tahu harus berkata apa karena tahu akhir percintaan temannya itu sehancur apa."Dulu aku juga mikirnya persis kayak yang kamu, Ga. Aku enggak mau kehilangan Tina, tapi aku juga mau sama Dona. Endingnya? Kamu liat sendiri, kan?""Tapi untuk sekarang aku benar-benar belum bisa milih, Dam. Seenggaknya untuk waktu sekarang ini. Please, kamu tolongin aku!"
"Ayah, Bunda di kamar lagi nangis. Gita ajak keluar, Bunda enggak mau. Kata Bunda, Bunda enggak mau makan," adu Anggita pada Angga.Gadis kecil itu memang sebelumnya Angga minta untuk memanggil bundanya keluar kamar untuk makan malam. Karena sejak peristiwa sore tadi, Indri mengurung diri di kamar.Meski Angga sejak tadi sangat ingin menemui Indri dan membujuk wanita yang sedang merajuk itu, tetapi ia menahan diri karena Shania ada di rumah."Ya udah, Gita makan dulu aja, ya! Biar nanti Bunda nyusul," putus Angga.Balita itu menurut, meski masih berantakan saat harus makan sendiri.Sebenarnya Shania biasa menyuapi Anggita saat anak itu diajak Angga ke rumah. Bahkan mengurus semua keperluan Anggita mulai mandi dan semuanya. Namun, kali ini ia memutuskan tidak menyuapi Anggita karena Indri ada di rumah itu.Angga memandangi Shania. Dapat dilihat dengan jelas kalau lelaki itu sangat gusar. Ia ingin sekali menemui Indri dan menenangkan wanita yang sedang merajuk itu.Namun, Shania memilih
"Hamish .... Ternyata kamu di sini?"Shania benar-benar tidak menyangka, pada akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan lelaki yang dulu pernah sangat ia rindukan. Lelaki yang dulu siang malam ia nanti kedatangannya. Lelaki yang seharusnya ada di sisinya saat kedua orang tuanya berpulang, tetapi justru malah menghilang. Ternyata lelaki itu bersembunyi di kota ini.Shania tersenyum getir.Apalagi saat berpikir kemungkinan Hamish sekarang telah memiliki anak dan istri. Luka yang telah sekian tahun ia kubur dalam, hari ini kembali terbuka lebar.Buliran bening pun berjatuhan dari pelupuk mata Shania. Ia masih ingat betul hari dimana acara pertunangannya dengan Hamish berlangsung. Bahkan saat itu tanggal pernikahan mereka pun telah ditentukan. Namun, pada saat kedua orang tua Shania meninggal, Hamish tidak menampakkan batang hidungnya. Sama sekali.Shania membuang muka dan menyeka pipinya.Melihat itu, tentu saja jantung Hamish berdeny
"Kamu bilang apa pada istriku!?" Bak orang kesetanan Angga menantang Hamish. Wajahnya menengadah karena Hamish lebih tinggi darinya.Sementara Hamish menanggapinya dengan santai. Lelaki itu hanya mengedikkan bahu sembari tersenyum sinis."Bisa-bisanya seorang Shania punya suami kayak kamu," ucap Hamish."Kurang ajar sekali kamu!" Kalau tidak ditahan Damar, Angga nyaris memukul wajah Hamish."Sekalian aku mau bilang, aku enggak pernah tertarik dengan ajakan kerja sama kamu. Dari awal. Apalagi setelah tau, kamu lakukan ini untuk membohongi Shania. Sorry!"Tanpa menunggu respon Angga, Hamish kembali ke ruang kerjanya."Shit!!!" umpat Angga. Kemudian menendang pintu ruang kerja Hamish. Setelahnya Angga langsung pergi tanpa berkata apa-apa pada Damar.Di pinggir jalan, Angga memesan ojek online. Ia menuju tempat pemesanan travel karena mobil yang tadi ia kendarai dibawa pergi oleh Shania.Tujuan Angga kali ini rumah
"Bagus! Luar biasa kamu, In!"Kontan Indri langsung menoleh dan terkejut melihat keberadaan Angga."M-Mas Angga?"Mata Angga nyalang menatap Indri dan Hilmi. Kedua telapak tangannya mengepal, sampai tulang pada buku-buku jarinya seperti hendak mencuat keluar."Brengs*k kalian!" teriak Angga bak orang kesetanan.Lelaki itu kemudian memporak-porandakan semua barang yang ada di ruang tamu rumah Indri. Lengan kokohnya menyapu seketika semua pernak pernik pajangan yang tertata rapi di meja hias ruangan itu. Diangkatnya meja marmer tersebut, kemudian dibantingnya dengan sekuat tenaga."Prang!"Lantai marmer ruangan itu pun pecah seketika, bersamaan dengan jatuhnya meja tersebut.Tak cukup sampai di situ, Angga juga meraih pajangan dinding yang ada di dekatnya. Baik itu foto-foto kebersamaannya dengan Indri dan Anggita, juga segala hiasan yang menempel di sana. Satu persatu barang-barang itu ditarik dan dibanting sampa
"Mas, aku minta maaf .... Aku minta maaf ...." Indri bersimpuh dan berusaha meraih kaki Angga, menahan agar laki-laki yang sudah menalaknya itu tidak pergi."Lepas!" Angga mengibaskan tangan Indri."Enggak, Mas. Enggak! Aku benar-benar minta maaf. Aku minta maaf. Aku khilaf, Mas. Aku khilaf ....""Khilaf sampai hamil? Gila kamu! Pergi kamu dari rumah ini!""Enggak! Enggak, Mas!""Pergi!" teriak Angga yang sudah tak bisa mengendalikan amarahnya.Sementara Hilmi hanya bisa memegangi kedua bahu Indri dari belakang tanpa bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mau berbuat sesuatu, sementara selama ini hidupnya ditanggung sepenuhnya oleh Indri. Dan pemasukan Indri didapat dari Angga. Jadi jika ia melawan Angga, yang ada nanti keadaan semakin runyam."Aku ingatkan kamu, In! Segera pergi dari rumah ini! Karena setelah ini, rumah ini akan aku jual secepatnya!""Mas!" teriak Indri yang sangat terkejut dengan keputusan Angga. "Enggak, Mas! Jangan! Aku mohon! Silakan bawa Gita, tapi aku mohon jangan ju
Melihat ayahnya dipukul sampai nyaris terjatuh, Anggita ketakutan. Apalagi saat melihat ada darah di sudut bibir Angga, Anggita langsung menangis histeris."Ayah .... Ayah .... Ayah ...."Angga merengkuh bahu Anggita yang berguncang. Kemudian ia menatap Shania dengan wajah memelas. Berharap Shania akan mengasihaninya. Setidaknya peduli dengan Anggita.Namun, tanpa memedulikan itu, Akbar kembali menarik kerah kemeja Angga, dan mendaratkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke pipi Angga. "Laki-laki brengs*k! Kurang aj*r! Enggak tau diuntung!" hardik Akbar bak orang kesetanan.Anggita pun semakin histeris. "Ayah! Ayah!" Balita itu berjingkat-jingkat ketakutan.Angga yang nyaris terjengkang langsung memeluk putrinya. Sementara matanya menatap Shania dengan nelangsa. Angga sangat berharap Shania segera menolongnya.Shania kemudian bangkit dari sofa.Melihat itu, Angga bernapas lega. Ternyata meski Shania marah kepadanya, wanita
Entah sudah berapa lama Indri menangis di bawah gerimis. Tatapannya tak lepas dari rumah yang kini gelap gulita di depannya. Padahal sekitar seminggu yang lalu, ia masih nyaman menempati rumah itu. Rumah yang segala kebutuhannya ditanggung sepenuhnya oleh Angga."Mas ...." Indri meratap. Ia ingin sekali bersujud dan memohon ampun kepada Angga."Aku benar-benar minta maaf ...."Entah berapa kali Indri menggumamkan kalimat itu sambil tergugu. Seolah-olah Angga sedang berada di depannya. Sampai akhirnya ponsel di tasnya berdering. Dengan cepat Indri merogoh ponselnya. Kemudian melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini."Mas Angga," gumam Indri. Rasanya ia tak percaya kalau laki-laki yang sedang ia tangisi menghubunginya. Langsung saja Indri mengangkat panggilan tersebut."Ha-halo, Mas," sapa Indri."In ...." Suara berat Angga terdengar dari seberang. Indri tak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat sampai ia
Shania terpaku mendengar suara lirih itu. Kata 'Bunda' terucap begitu pelan, tetapi cukup jelas di pendengaran Shania. "Gita, Gita ingin ketemu Bunda?" tanya Shania.Namun, gadis kecil itu kembali tidak merespon. Sama sekali."Ayo, bangun, Sayang! Ayo kita ketemu Bunda! Bangun, Sayang!" Shania terus berbicara di dekat telinga Anggita, tetapi balita itu sama sekali tidak merespon.Setelah beberapa saat mencoba membangunkan Anggita dan tidak berhasil, Shania bergegas melangkah keluar. Ia ingin memberitahu Angga kalau Anggita memanggil-manggil bundanya."Mas! Mas Angga!" panggil Shania begitu keluar dari pintu.Angga dan Hamish yang sejak tadi duduk diam langsung berdiri dan mengejar Shania."Ada apa, Shan? Gita gimana?" Angga sangat panik takut terjadi sesuatu dengan putrinya."Gita ... dia ... manggil-manggil bundanya, Mas. Dia manggil-manggil bundanya."Bahu Angga langsung terkulai lemas. "Gita udah siuman?" tanya Hamish.Shania menggeleng. "Belum. Tapi dia beberapa kali manggil-man
"Kita ke rumah sakit sekarang!""Tapi, Ham ....""Kita liat dulu kondisi Gita. Setelahnya kita bisa putusin nanti mau gimana."Meski sebenarnya Shania merasa sangat tidak enak dengan Hamish, tetapi ia sangat terharu dengan keputusan yang Hamish ambil."Iya, Shan. Benar. Kalian ke rumah sakit aja dulu sekarang!" titah Renata. Ia tak tega jika sampai terjadi sesuatu dengan Anggita. Lebih tepatnya Renata masih trauma dengan kematian Bu Rani, takut kalau-kalau Anggita akan mengalami hal serupa dengan neneknya."Ya udah, kami pamit ke rumah sakit dulu, Tan, Om," pamit Hamish."Titip Shania, Ham," ucap Akbar yang sedari tadi hanya diam. Lelaki itu merasa dilema. Ia tidak ingin Shania terus berurusan dengan Angga, tetapi juga tidak tega dengan Anggita."Siap, Om."Shania dan Hamish kemudian berjalan keluar menuju mobil Hamish. Menapaki barisan paving yang masih basah. Beberapa kali mereka harus melompat kecil untuk men
[Shan, aku di rumah Om Akbar. Kamu ada lembur?]Shania menatap layar ponselnya dengan mata yang lelah, lalu tersenyum tipis saat membaca pesan itu.[Enggak, ini lagi siap-siap pulang.][Sip, deh. Nanti temenin aku cari kado, ya?][Oke.]Shania merapikan berkas-berkas di meja. Ruang sekretaris yang menjadi tempat kerja Shania cukup sepi. Hanya tersisa suara gemerisik AC dan detik jam di dinding. Aroma kopi yang samar masih menggantung di udara ketika Hendra mendekat ke arahnya. Dasi laki-laki itu sudah sedikit longgar. Namun, tak mengurangi ketampanannya.“Udah mau pulang, Shan?” tanya Hendra sambil tersenyum manis.“Iya, Hen. Aku duluan nggak apa-apa, ya?” Shania balas tersenyum, tapi ada lelah di matanya yang tak bisa disembunyikan.“Tentu aja, santai.” Hendra melipat tangannya di dada. “Angga udah kasih kabar?”Shania menghela napas lalu menggeleng pelan. “Belum. Tapi soal meeting tadi kayaknya aman dipegang Om Andreas.”“Baguslah. Tapi tetap aja, nggak seharusnya dia ninggalin tang
Tanpa Shania duga, lelaki yang wajahnya penuh lebam itu tiba-tiba berlutut di depannya."Aku mohon, Shan. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku mohon .... Demi ibu, demi Gita, dan demi pernikahan kita berdua. Aku mohon, Shan ...."Shania menggelengkan kepala. "Maaf Mas ....""Shan! Aku mohon!" potong Angga. Ia tidak ingin mendengar penolakan dari Shania. "Oke! Aku ngaku salah. Tapi, tolong beri aku kesempatan, Shan! Aku janji bakal perbaiki semuanya. Aku janji bakal jadi suami yang baik buat kamu."Angga memegangi lutut Shania dengan erat."Shan, kamu tau, aku udah enggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah pergi, apa iya, kamu juga akan pergi ninggalin aku dan Gita? Gimana aku sama Gita harus lanjutin hidup, Shan? Gimana?""Mas, tolong lepas!" Shania berusaha melepas cekalan tangan Angga di lututnya. Namun, Angga justru semakin mempereratnya."Enggak, Shan. Sebelum kamu maafin aku, aku akan terus ka
Shania terdiam mendengar permintaan polos Anggita. Hati kecilnya semakin tersayat. Ia sangat tidak tega saat menatap mata tanpa dosa balita itu."Emang Bunda Gita enggak mau ke sini?" tanya Shania hati-hati.Anggita terdiam dan menatap Shania cukup lama. Sampai akhirnya sorot itu semakin layu, baru kemudian menjawab, "Bunda sama Ayah bertengkar, Bu. Terus ... Gita diajak Ayah pulang ke sini. Bundanya pergi sama Om Hilmi. Tapi ... tadi pas sampai di sini ...." Anggita terlalu sedih untuk melanjutkan perkataannya. Mengingat betapa takutnya ia tadi saat melihat ayahnya dipukuli oleh orang yang selama ini ia panggil Kakek Akbar.Shania semakin merasa bersalah. Kini ia paham dengan nasehat papanya dulu. "Tidak akan ada kebaikan yang kamu dapat, dari mengedepankan emosi. Tahan diri, tunggu tenang sebentar, lalu bicarakan baik-baik. Karena kalau tidak, yang ada semua akan hancur. Tidak hanya yang melakukan kesalahan aja. Tapi, semua orang yang
Ponsel Shania berdering berkali-kali. Panggilan masuk dari Angga sudah lebih dari lima kali. Namun, Shania memilih mengabaikannya. Apalagi saat itu ia sedang makan malam bersama om dan tantenya juga Hamish. Ia tidak mau diganggu oleh Angga.Setelah dering panggilan berhenti beberapa saat, notifikasi pesan di ponsel Shania berbunyi. Dari layar tampak Mbak Sari yang mengirim pesan. Shania pun membukanya tanpa berpikir buruk.[Assalamualaikum, Bu Shania. Saya mau mengabarkan kalau Bu Rani meninggal dunia.]Shania melempar ponselnya. Mata wanita itu melebar, sementara kedua tangannya gemetaran."Ada apa, Shan?" tanya Renata. Shania hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.Renata pun memungut ponsel Shania di lantai. Dibacanya pesan dari Mbak Sari yang masih terbuka tersebut."Innalilahi! Ini benar enggak?" teriak Renata."Apa, Ma?" tanya Akbar ikut panik.Hamish pun menatap Renata dengan penasaran."Bu Rani, Pa ....""Bu Rani kenapa?" kejar Akbar."Bu Rani ... meninggal d
Melihat Shania menarik dua koper berukuran besar, Angga pun sangat terkejut. "S-Shan, kenapa kamu ...."Shania menghela napas, kemudian berkata dengan tenang, "Semua sudah cukup gamblang, Mas Angga. Enggak ada yang perlu dijelaskan lagi dan enggak ada juga yang perlu dipertahankan lagi. Dari awal niat menikah Mas Angga sudah enggak baik, jadi lebih baik kita akhiri pernikahan ini, agar semua bisa kembali berjalan di tempatnya masing-masing."Angga tercengang mendengar penuturan Shania itu."Mas Angga masih sangat mencintai Mbak Indri, kan? Kalian ingin Gita tumbuh besar tanpa merasakan kekurangan kasih sayang kedua orang tua, kan? Silakan, Mas! Aku enggak akan menjadi penghalang di antara kalian.""Enggak, Shan. Enggak gitu. Ini salah paham. Tolong kamu dengerin aku dulu!" Angga benar-benar takut Shania meninggalkannya. Lelaki itu langsung memegangi kedua bahu Shania.Shania tersenyum sembari menyingkirkan tangan Angga dari bahunya. "Engg
Melihat ayahnya dipukul sampai nyaris terjatuh, Anggita ketakutan. Apalagi saat melihat ada darah di sudut bibir Angga, Anggita langsung menangis histeris."Ayah .... Ayah .... Ayah ...."Angga merengkuh bahu Anggita yang berguncang. Kemudian ia menatap Shania dengan wajah memelas. Berharap Shania akan mengasihaninya. Setidaknya peduli dengan Anggita.Namun, tanpa memedulikan itu, Akbar kembali menarik kerah kemeja Angga, dan mendaratkan kepalan tangannya sekuat tenaga ke pipi Angga. "Laki-laki brengs*k! Kurang aj*r! Enggak tau diuntung!" hardik Akbar bak orang kesetanan.Anggita pun semakin histeris. "Ayah! Ayah!" Balita itu berjingkat-jingkat ketakutan.Angga yang nyaris terjengkang langsung memeluk putrinya. Sementara matanya menatap Shania dengan nelangsa. Angga sangat berharap Shania segera menolongnya.Shania kemudian bangkit dari sofa.Melihat itu, Angga bernapas lega. Ternyata meski Shania marah kepadanya, wanita