“Mbok Inah!” bentak Tsabitha lantang. Mbok Inah kaget dan menoleh ke majikan mudanya dengan ekspresi wajah yang bingung. gadis itu sendiri juga hanya terdiam setelah membentak pembantu setianya. Ada rasa tidak terima di hati Tsabitha, saat Mbok Inah menyebut Dewi sebagai ibu Fabian yang akan memberinya seorang adik. “Maaf, Mbak. Mbok lancing, yaa. Maaf, Mbok Inah kelepasan ngomong, nggak seharusnya Mbok ngomong kayak gitu. Maaf, ya, Mbak,” sahut Mbok Inah kikuk dan merasa bersalah ke Jodha. “Maaf, Mbok. Aku nggak bermaksud mbentak Mbok Inah tadi. Aku pergi dulu ya, Mbok! Tolong simpen foto-foto ini dan taruh di kamarku. Makasih, ya, Mbok!” Tsabitha bergegas pergi meninggalkan pembantu itu yang masih berdiri termangu di depannya sambil memberikan semua foto-foto itu ke perempuan tua tersebut. Gadis itu kemudian melajukan mobil menuju ke rumah Moreno dan Mabella. Tujuannya cuma satu, dia akan menerima permintaan laki-laki itu untuk menjadi istri keduanya. Namun, kalau boleh jujur
“Bitha, kenapa kakakmu sampai pingsan seperti ini? Apa yang kamu lakukan padanya? Hah?” tanya Bu Shanty kesal sambil menatap marah pada Tsabitha. Saat itu Mabella sendiri sudah dibawa ke dalam kamar dan sedang dalam perawatan dokter, Moreno pun menemaninya di dalam, sedangkan yang lain berada di luar kamar. “Aku nggak ngapa-ngapain, Bu. Sungguh!” bisik Tsabitha lirih. “Sudah-sudah, sudah, Bu. Ini semua bukan kesalahan Bitha,” sela Pak Halim yang berusaha meredam amarah istrinya yang selalu naik pitam kalau berhubungan dengan putri sulungnya itu. “Bapak yakin itu. Mungkin saja Bella capek dan pingsan pas di depan ruang kerja, bisa jadi, ‘kan?” “Bapak ini! Selalu saja belain Bitha!” sahut Bu Shanty kesal. “Dan kamu, Bitha! Awas, ya! Kalau ada apa-apa sama kakakmu! Kamu harus tanggung jawab! Kamu itu harusnya bersyukur karena Bella mengijinkan kamu untuk jadi istri keduanya Reno!” desis Bu Shanty dengan nada kesal. Tsabitha hanya terdiam dan tidak menanggapi ucapan ibunya. Dia hanya m
Dewi segera berdiri sambil menggendong Fahira, putri kecilnya, ketika Moreno, Tsabitha dan Pak Halim menghampirinya. Sesaat perempuan itu teringat pada percakapannya barusan bareng Bu Shanty yang memintanya untuk tetap mempertahankan rencana pernikahannya dengan Moreno.“Dewi, kamu tahu ‘kan tadi Bitha bilang apa?” tanya Bu Shanty setengah berbisik, seolah-olah takut ada yang mendengar percakapan mereka berdua sambil berjalan menghampiri perempuan itu dan duduk di sebelahnya.“Iya, Bu. Saya tahu dan insyaallah saya bisa mengerti,” sahut Dewi sambil memangku si kecil di pangkuannya.“Kamu itu jangan cuma pasrah kayak gini! Seharusnya kamu itu nolak! Karena Reno ‘kan sudah nglamar kamu duluan, kenapa Bitha seenaknya nyerobot seperti itu! Itu nggak bener! Anak itu harus belajar etika!” Dewi hanya terdiam dan merasa bingung, karena Bu Shanty tampak sekali tidak suka dengan apa yang di
Satu bulan kemudian … “Gimana kerjaan Dessy? Beres?” tanya Havika siang itu, saat dia sedang makan siang di sebuah restaurant bareng Tsabitha. “Dessy? Temannya Khrisna itu? Bagus! Aku suka sama desainnya, lebih perempuan!” sahut Tsabitha sambil menikmati makanan pesanannya. “Dan aku nggak perlu kebanyakan ngasih masukkan ke dia, dia udah ngerti apa yang aku mau, mungkin karena sama-sama perempuan kali, ya?” “Ya iyalah! Kalau Khrisna ‘kan cowok, dia ‘kan butuh banyak masukkan dari kamu. Dia takut salah aja, nanti kamu complain dan kudu desain ulang! Kan sayang banget!” “Tapi aku suka sama desainnya Khrisna di ruko-ku itu, ternyata dia itu bisa nampilin sisi girly juga. Iya, ‘kan? Banyak yang muji lhoo desainnya Khrisna, banyak langgananku yang suka!” ujarnya lagi sambil menyesap air mineral kesukaannya. “Trus, calon suami gimana? Suka juga sama desainnya Dessy?” “Hmm … kalau dia sih, terserah aku saja, dia bilang kalau aku suka, maka dia juga suka. Yang pasti yang ngedesain janga
“Bith, aku mau ngomong sama kamu!” desak Ricky sambil menggeret tangan Tsabitha, saat gadis itu keluar dari ruang kerja Leon. “Apaan sih, Ricky! Lepasin! Kamu mau ngapain sih?” jerit Tsabitha kesal sambil mengibaskan tangan laki-laki itu kasar. Havika pun kaget, karena tiba-tiba saja Ricky menggeret tangan sahabatnya.“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Bith,” sahutnya kesal sambil menatap gadis itu lekat.“Kalau kamu mau ngomong, ngomong saja! Nggak usah pake geret-geret segala!”“Tapi aku mau ngomongnya sama kamu, Bith. Aku pengin ngomong berdua saja sama kamu,” pinta Ricky melas.“Tapi aku nggak pengin ngomong berdua sama kamu, Rick! Kamu bisa ngomong di sini, Havika ‘kan sahabatku. Puspa, tolong kamu keluar dulu, ya. Kamu istirahat dulu aja!” pinta Tsabitha sambil menoleh ke Puspa. Gadis itu pun mengangguk dan bergegas keluar dari ruang kerja tersebut, sementar
Tsabitha lalu mengangkat kepalanya, setelah dirasa cukup untuk menumpahkan semua tangis dan kekesalan pada dirinya sendiri. Gadis itu lalu menyeka kedua pipi dan matanya yang sembab sambil menarik napas perlahan. Moreno yang saat itu masih duduk di sebelahnya, segera menyodorkan sekotak tissue, bergegas diterimanya kotak tissue itu sambil mengulas senyum manis, lalu menyeka matanya yang sembab. Tsabitha sudah siap untuk menerima apapun konsekwensi yang akan diterimanya, setelah menceritakan semua aib yang pernah dialaminya bareng Ricky. “Bith, maafkan aku, nggak seharusnya aku membentakmu tadi.” Moreno mencoba membuka percakapan di antara mereka, setelah dilihatnya gadis itu sudah tenang dan tersenyum ke arahnya. “Nggak papa, Mas. Kamu nggak salah,” sahut Tsabitha sambil tersenyum tipis. “Mas, ada sesuatu yang harus aku katakan ke kamu,” ujarnya lagi sambil menatap laki-laki itu lekat. “Katakan saja, Bith. Aku siap mendengarkan,” sahut Moreno sambil membelai rambut panjang hitam itu
Hari pernikahan Tsabitha dan Moreno akhirnya tiba juga. Pernikahan yang dirancang dengan konsep sederhana tanpa adanya resepsi pernikahan yang besar-besaran seperti pernikahan Lidya dan Surya, akhirnya berjalan lancar. Dengan dandanan sanggul dan kebaya modern yang didesainnya sendiri, gadis itu tampak begitu cantik mempesona. Sang mempelai pria pun tampil memukau juga dengan mengenakan beskap berwarna putih, berbeda dengan gaun pengantin yang dulu mereka kenakan waktu menikah di Jenewa, Swiss.Kedua mempelai benar-benar bagaikan raja dan ratu sehari, semua tamu undangan yang hanya berasal dari keluarga dekat ikut merasakan kebahagiaan pasangan pengantin baru ini, meskipun pesta pernikahan mereka adalah pesta yang sangat sederhana untuk komunitas keluarga Moreno dan Tsabitha. Gadis itu memang sengaja meminta pesta pernikahannya hanya dengan konsep sederhana, hanya ijab dan pesta privat bersama keluarga dan teman terdekat. Moreno pun tidak keberatan, yang penting dia sudah sah
Keesokan hari … Pagi itu Tsabitha masih tidur dengan nyenyak dengan wajah yang polos tanpa dosa. Bau kopi yang menguar di udara bercampur dengan bau bunga melati dan daun pandan yang menghiasi ranjang pengantin mereka, mengusik tidur nyenyak pengantin baru ini, hingga memaksanya untuk membuka mata.“Selamat pagi,” sapa Moreno pagi itu sambil membawa cangkir yang berisi kopi panas, terlihat dari kepulan asap di atasnya.“Selamat pagi, jam berapa ini?” sahut Tsabitha dengan suara paraunya sambil mengulas senyum manis.“Baru jam 9 pagi. Mau kopi?” tanya laki-laki itu sambil menyodorkan cangkir kopi itu ke depannya. Tsabitha pun mengangguk sambil merenggangkan tangan ke atas, lalu duduk di atas tepi ranjang. Moreno menghampirinya dan ikut duduk di tepi ranjang.“Minumnya pelan-pelan, masih panas. Ini kopi buatanku sendiri, namanya kopi cinta,” ujar Moreno sambil menyodorkan cangkir kopi i