Dewi segera berdiri sambil menggendong Fahira, putri kecilnya, ketika Moreno, Tsabitha dan Pak Halim menghampirinya. Sesaat perempuan itu teringat pada percakapannya barusan bareng Bu Shanty yang memintanya untuk tetap mempertahankan rencana pernikahannya dengan Moreno.
“Dewi, kamu tahu ‘kan tadi Bitha bilang apa?” tanya Bu Shanty setengah berbisik, seolah-olah takut ada yang mendengar percakapan mereka berdua sambil berjalan menghampiri perempuan itu dan duduk di sebelahnya.
“Iya, Bu. Saya tahu dan insyaallah saya bisa mengerti,” sahut Dewi sambil memangku si kecil di pangkuannya.
“Kamu itu jangan cuma pasrah kayak gini! Seharusnya kamu itu nolak! Karena Reno ‘kan sudah nglamar kamu duluan, kenapa Bitha seenaknya nyerobot seperti itu! Itu nggak bener! Anak itu harus belajar etika!”
Dewi hanya terdiam dan merasa bingung, karena Bu Shanty tampak sekali tidak suka dengan apa yang di
Satu bulan kemudian … “Gimana kerjaan Dessy? Beres?” tanya Havika siang itu, saat dia sedang makan siang di sebuah restaurant bareng Tsabitha. “Dessy? Temannya Khrisna itu? Bagus! Aku suka sama desainnya, lebih perempuan!” sahut Tsabitha sambil menikmati makanan pesanannya. “Dan aku nggak perlu kebanyakan ngasih masukkan ke dia, dia udah ngerti apa yang aku mau, mungkin karena sama-sama perempuan kali, ya?” “Ya iyalah! Kalau Khrisna ‘kan cowok, dia ‘kan butuh banyak masukkan dari kamu. Dia takut salah aja, nanti kamu complain dan kudu desain ulang! Kan sayang banget!” “Tapi aku suka sama desainnya Khrisna di ruko-ku itu, ternyata dia itu bisa nampilin sisi girly juga. Iya, ‘kan? Banyak yang muji lhoo desainnya Khrisna, banyak langgananku yang suka!” ujarnya lagi sambil menyesap air mineral kesukaannya. “Trus, calon suami gimana? Suka juga sama desainnya Dessy?” “Hmm … kalau dia sih, terserah aku saja, dia bilang kalau aku suka, maka dia juga suka. Yang pasti yang ngedesain janga
“Bith, aku mau ngomong sama kamu!” desak Ricky sambil menggeret tangan Tsabitha, saat gadis itu keluar dari ruang kerja Leon. “Apaan sih, Ricky! Lepasin! Kamu mau ngapain sih?” jerit Tsabitha kesal sambil mengibaskan tangan laki-laki itu kasar. Havika pun kaget, karena tiba-tiba saja Ricky menggeret tangan sahabatnya.“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Bith,” sahutnya kesal sambil menatap gadis itu lekat.“Kalau kamu mau ngomong, ngomong saja! Nggak usah pake geret-geret segala!”“Tapi aku mau ngomongnya sama kamu, Bith. Aku pengin ngomong berdua saja sama kamu,” pinta Ricky melas.“Tapi aku nggak pengin ngomong berdua sama kamu, Rick! Kamu bisa ngomong di sini, Havika ‘kan sahabatku. Puspa, tolong kamu keluar dulu, ya. Kamu istirahat dulu aja!” pinta Tsabitha sambil menoleh ke Puspa. Gadis itu pun mengangguk dan bergegas keluar dari ruang kerja tersebut, sementar
Tsabitha lalu mengangkat kepalanya, setelah dirasa cukup untuk menumpahkan semua tangis dan kekesalan pada dirinya sendiri. Gadis itu lalu menyeka kedua pipi dan matanya yang sembab sambil menarik napas perlahan. Moreno yang saat itu masih duduk di sebelahnya, segera menyodorkan sekotak tissue, bergegas diterimanya kotak tissue itu sambil mengulas senyum manis, lalu menyeka matanya yang sembab. Tsabitha sudah siap untuk menerima apapun konsekwensi yang akan diterimanya, setelah menceritakan semua aib yang pernah dialaminya bareng Ricky. “Bith, maafkan aku, nggak seharusnya aku membentakmu tadi.” Moreno mencoba membuka percakapan di antara mereka, setelah dilihatnya gadis itu sudah tenang dan tersenyum ke arahnya. “Nggak papa, Mas. Kamu nggak salah,” sahut Tsabitha sambil tersenyum tipis. “Mas, ada sesuatu yang harus aku katakan ke kamu,” ujarnya lagi sambil menatap laki-laki itu lekat. “Katakan saja, Bith. Aku siap mendengarkan,” sahut Moreno sambil membelai rambut panjang hitam itu
Hari pernikahan Tsabitha dan Moreno akhirnya tiba juga. Pernikahan yang dirancang dengan konsep sederhana tanpa adanya resepsi pernikahan yang besar-besaran seperti pernikahan Lidya dan Surya, akhirnya berjalan lancar. Dengan dandanan sanggul dan kebaya modern yang didesainnya sendiri, gadis itu tampak begitu cantik mempesona. Sang mempelai pria pun tampil memukau juga dengan mengenakan beskap berwarna putih, berbeda dengan gaun pengantin yang dulu mereka kenakan waktu menikah di Jenewa, Swiss.Kedua mempelai benar-benar bagaikan raja dan ratu sehari, semua tamu undangan yang hanya berasal dari keluarga dekat ikut merasakan kebahagiaan pasangan pengantin baru ini, meskipun pesta pernikahan mereka adalah pesta yang sangat sederhana untuk komunitas keluarga Moreno dan Tsabitha. Gadis itu memang sengaja meminta pesta pernikahannya hanya dengan konsep sederhana, hanya ijab dan pesta privat bersama keluarga dan teman terdekat. Moreno pun tidak keberatan, yang penting dia sudah sah
Keesokan hari … Pagi itu Tsabitha masih tidur dengan nyenyak dengan wajah yang polos tanpa dosa. Bau kopi yang menguar di udara bercampur dengan bau bunga melati dan daun pandan yang menghiasi ranjang pengantin mereka, mengusik tidur nyenyak pengantin baru ini, hingga memaksanya untuk membuka mata.“Selamat pagi,” sapa Moreno pagi itu sambil membawa cangkir yang berisi kopi panas, terlihat dari kepulan asap di atasnya.“Selamat pagi, jam berapa ini?” sahut Tsabitha dengan suara paraunya sambil mengulas senyum manis.“Baru jam 9 pagi. Mau kopi?” tanya laki-laki itu sambil menyodorkan cangkir kopi itu ke depannya. Tsabitha pun mengangguk sambil merenggangkan tangan ke atas, lalu duduk di atas tepi ranjang. Moreno menghampirinya dan ikut duduk di tepi ranjang.“Minumnya pelan-pelan, masih panas. Ini kopi buatanku sendiri, namanya kopi cinta,” ujar Moreno sambil menyodorkan cangkir kopi i
“Jadi pada intinya, rasa depresi atau trauma umum itu sudah tidak ada dalam diri Anda, ya?” tanya Dokter Handy, dokter sexology yang dikenalkan istri teman Moreno. Siang itu pasangan pengantin baru tersebut menemui Dokter Handy, seorang pakar sexology yang merupakan teman Inez, istri Prayudha—rekan kerja Moreno. Seorang dokter paruh baya dengan penampilannya yang dandy dan trendy, sehingga meskipun sudah terlihat berapa kerut di sekitar wajahnya, tidak mengurangi sisi maskulinnya yang begitu kuat. Dengan rahang yang kuat dan wajah penuh senyum, plus matanya yang berkilat sempurna, membuat sisa ketampanannya di masa lalu masih terlihat dengan jelas di wajah tua itu yang bermahkota rambut yang telah memutih. Tsabitha merasa nyaman bertemu dengan dokter tua yang trendy ini. “Itu dulu, Dok!” sahut Tsabitha sambil mengangguk pelan. “Dulu itu, aku suka menyalahkan diri sendiri, sedih mulu, marah, putus asa dan merasa dunia ini nggak adil padaku! Bahkan aku sempat nyaris mau bunuh diri.” Mo
Keesokan harinya … Hari ini Tsabitha ada meeting dengan kliennya di butik yang mau fitting baju keluarga pengantin, otomatis seluruh keluarga kedua belah pihak datang ke butik tersebut. “Kamu nggak papa nungguin aku ngurusin klienku nanti?” tanyanya sambil keluar dari mobil. Pagi itu Moreno memaksa mengantar ke butik dan ikut menemaninya di sana. “Kan aku udah bilang, kalau aku bakal nemenin kamu sampai acara kamu selesai. Nggak masalah, lagian di atas ada taman yang bisa buat kongkow, ‘kan?” tanya Moreno sambil menunjukkan jemarinya ke atas. Tsabitha pun mengangguk sambil tersenyum. “Tapi kamu ‘kan nggak usah nungguin juga, kamu bisa pulang dulu ke rumah, main sama Bian atau mungkin doing something di rumah, atau--…” “Aku tetep mau di sini, Nyonya Tsabitha!” sela Moreno dengan mimik wajahnya yang lucu, Tsabitha kembali tersenyum. “Percaya sama aku, kamu nggak usah khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku setia nunggu kamu sampai urusan kamu selesai sama klienmu itu. Okee?” ujarnya
Tiga hari tanpa Moreno di sisinya, membuat hati Tsabitha serasa hampa. Beberapa kegiatan yang sering dilakukannya bareng suaminya itu selama seminggu kemarin, rupanya membuat dia jadi terbiasa, seperti lari pagi, masak bareng di dapur, nonton film di ruang keluarga atau di kamar, juga main bareng Bian, membuat perempuan itu ingin melakukannya setiap hari. Namun, dia sadar, Moreno bukan sepenuhnya miliknya, ada Mabella yang juga ingin berbagi waktu bareng laki-laki itu, hal ini tentu saja membuatnya sedih. Untungnya Moreno senantiasa mengirimkan pesan-pesan mesra ke Tsabitha via ponsel, membuatnya semakin yakin kalau laki-laki itu sangat peduli dan perhatian padanya. “Apa, Mbok? Mas Reno pergi ke luar kota? Kapan?” tanya Tsabitha heran sore itu sepulang kantor, saat Mbok Nah mengabarkan perihal kepergian Moreno ke luar kota. “Yaa, siang tadi, Mbak! Mas Reno kelihatan buru-buru banget. Waktu itu Mbok lagi di depan lagi nyapu teras depan, pas Mas Reno pergi,” sahut Mbok Nah resah. “Pas