“Mbok Nah, di mana Bitha?” tanya Moreno dengan nada cemas, ketika sudah tiba di rumah. Mbok Nah yang baru saja kebingungan melihat sikap Tsabitha yang tidak biasa, jadi semakin bingung saat melihat tuan mudanya yang terlihat cemas dan terburu-buru. “Ada di kamar, Mas,” sahut Mbok Nah sambil menunjuk ke lantai atas. Moreno pun mengangguk dan bergegas naik ke lantai atas, menuju ke kamar sang istri. Setibanya di kamar, dilihatnya perempuan itu sedang terbaring di ranjang membelakangiya sambil menutupi wajah dengan bantal. Moreno lalu melepas jas, sepatu dan kaos kaki yang dikenakan, kemudian menggulung lengan kemeja hingga ke siku, ini sudah fix kalau Tsabitha ngambek. “Sayang, aku sudah pulang,” sapa Moreno sambil membelai rambut hitam itu dan duduk di tepi ranjang. Tsabitha yang baru menyadari kehadiran sang suami segera beringsut menjauh darinya, laki-laki itu pun tersenyum. “Kok malah menjauh sih?” ujarnya sambil naik ke atas ranjang dan mendekati sang istri lalu memegang bahunya.
“Mbok, siapa yang punya akses masuk ke kamar Tsabitha selain mereka berdua?” tanya Mabella yang semakin penasaran dengan apa yang dilakukan oleh kedua pasangan pengantin baru itu di dalam kamar, hingga sampai siang ini belum keluar juga. Mabella tahu betul kalau pintu kamar itu hanya akan terbuka kalau disentuh dengan finger prints atau sidik jari pemiliknya atau menggunakan kartu yang digesek, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan Moreno yang suka menggunakan akses finger prints dan hanya Mbok Nah yang mempunyai akses kartu gesek tersebut.“Saya yang bawa akses kartu geseknya, . Kenapa, Mbak?” sahut Mbok Nah heran.“Aku pinjam! Aku mau masuk ke kamar Bitha!” sela Mabella tidak sabar.“Tapi, Mbak. Mereka berdua sedang ada di kamar. Pamali kalau Mbak Bella mau masuk ke sana, apa nggak sebaiknya Mbak Bella nunggu dulu di sini saja atau mungkin pintunya diketuk, biar mereka tahu kalau Mbak Bella datang?&r
“Makan siang apa kita hari ini?” tanya Mabella yang tiba-tiba muncul siang itu di ruang makan di rumah Tsabitha, saat sang adik dan suaminya sedang asyik menikmati makan siang bersama.“Heii, Kakak! Ayoo, sini! Makan bareng! Mbok Nah bikin rendang sama sayur nangka, enak bangeet!” ajak Tsabitha sambil melambaikan tangan padanya yang masih berdiri di ujung meja makan.“Ayoo, Bell! Jangan berdiri saja di situ, ayoo masuklah!” Moreno menimpali ucapan Tsabitha sambil menyeringai lebar.Perempuan itu hanya tersenyum sambil berjalan menghampiri mereka dan duduk di sebelah Moreno, sementara sang adik duduk di sisi lainnya. “Hmm … lihat dari bentuk dan aromanya saja, kelihatannya enak sekali rendang ini,” sahutnya sambil mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan rendang special buatan Mbok Nah. “Semua masakan Mbok Nah itu memang enak! Pantas aja Bitha minta Mbok Nah ikut dengannya, biar dimasakin yang e
“Bapak, Ibu, aku … pingsan lagi, yaa?” tanya Mabella dengan suaranya yang parau dan terbata-bata sambil memegang keningnya yang sedikit pusing.“Sudah, sudah, Bella. Nggak usah banyak ngomong, kamu itu masih capek, istirahat saja dulu, sekarang lebih baik minum obatnya, yaa,” sahut Bu Shanty sambil membelai puncak rambut putri kesayangannya itu. Perempuan itu mengangguk sambil mengangkat tubuhnya, agar bisa duduk, untuk minum obat. Bu Shanty dan Pak Halim lalu membantunya.“Bapak, Reno sama Bitha di mana?” tanyanya lagi setelah selesai minum obat.“Moreno tadi nganter Dokter Burhan ke teras depan trus nggak tahu ke mana, kalau BItha tadi sih lagi gendong Bian, mungkin sekarang lagi nidurin Bian di kamar. Kenapa? Kamu mau ngomong sama mereka?” Mabella mengangguk pelan sambil merebahkan tubuhnya di sandaran bantal yang ditumpuk-tumpuk hingga tersusun tinggi di belakangnya.“Sudah, ngomongnya nggak
Menunggu adalah hal yang paling membosankan untuknya. Namun, sore ini Dewi harus setia menunggu dan menanti jawaban yang akan menentukan masa depannya nanti. Perempuan itu sudah bertekad untuk mengguncang sedikit dunia kecil yang dibangun oleh sang Big Boss bersama kedua istrinya yang kakak beradik itu. Ternyata pukulan keras dari mantan suaminya memberikan sisi baik baginya untuk masuk ke rumah ini. Dewi benar-benar merasa bersyukur, dengan dalih meminta perlindungan, perempuan itu berusaha masuk ke dalam rumah itu. Hatinya berbunga-bunga senang. “Apa? Kamu mau ngajak Dewi tinggal di rumah kita sama anaknya?” ujar Mabella kesal dengan ekspresi wajahnya yang tidak suka saat sang suami mengungkapkan tujuannya membawa anak buahnya masuk ke rumah mereka. Saat itu, Dewi ada di lantai bawah di ruang tamu, menunggu Moreno dan keluarganya yang sedang berdiskusi di lantai atas di ruang kerja Moreno di rumah Mabella. “Iya, Bell! Seperti yang aku bilang tadi, ini demi kemanusiaan!” Mabella me
“Bell, kamu nggak bisa diam gini, terus!” ujar Bu Shanty sore itu saat berkunjung ke rumah putri kesayangannnya. “Kamu harus segera ngeluarin Dewi dari rumahmu ini, perempuan itu bisa jadi ancaman, Bell!” lanjutnya cemas sambil berjalan mondar-mandir di ruang keluarga rumah Mabella.“Ibu, duduk! Denger, ya!” sahut Mabella resah sambil memegang lengan atas perempuan tua itu dan memintanya untuk duduk di sofa. Bu Shanty menurut dan duduk di sofa, Mabella pun duduk di sebelahnya seraya berkata, “waktu pertama kali dia datang ke rumah ini, aku sama Bitha udah protes waktu Reno mau nampung dia, tapi Reno bilang ini demi kemanusiaan. Jadi bisa apa aku?”“Kamu itu terlalu lemah! Harusnya kamu itu ngotot dan tetep kekeuh nggak mau nrima perempuan itu di rumahmu ini,” sela Bu Shanty, “Ibu yakin dia itu punya maksud tertentu dengan masuk ke rumahmu ini!”“Maksud tertentu?” balas Mabella he
“Aku sangat senang karena kalian semua sudah berkumpul di sini, memenuhi undanganku. Aku ucapkan banyak-banyak terimakasih,” ujar Mabella sambil menyeringai lebar, karena siang itu dia berhasil mengumpulkan ayah, ibu, suami dan istri kedua sang suami yang merupakan adik kandungnya sendiri, Tsabitha. Siang ini dia ingin menuntaskan semuanya, Mabella ingin rasa penasarannya terjawab setelah selama beberapa hari ini tertunda karena kedatangan Dewi di rumah mereka. “Memangnya ini ada apa to, Bella? Kamu ini kok tumben-tumben banget sih, manggil kami semua di sini, memangnya ada apa? Apa kamu mau bikin acara special?” sela Bu Shanty penasaran yang sejak tadi sudah bosan menunggu sambil duduk di sofa besar di ruang keluarga di rumah putri kesayangannya, sementara anggota keluarga yang lain duduk di sofa yang lain, mengelilingi meja bundar yang berada tepat di tengah ruangan. “Bukan acara special, Bu. Tapi ada sesuatu yang special yang menggelitik hatiku akhir-akhir ini dan aku yakin kalian
“Bagaimana keadaan Mabella, Dok?” tanya Bu Shanty cemas, saat Dokter Burhan selesai mengecek keadaan putri sulungnya yang sedang dirawat di rumah sakit. “Berdoa saja, Bu. Karena saat ini Nyonya Mabella dalam keadaan kritis, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk memulihkan keadaannya,” sahut Dokter Burhan sambil menatap ke Bu Shanty dan Pak Halim secara bergantian, kemudian berlalu meninggalkan mereka. “Bagaimana ini, Pak? Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama Mabella. Ibu takut.” “Tenang, Bu. Kita berdoa saja semoga keadaan Bella bisa lekas membaik,” sahut Pak Halim yang berusaha menenangkan istrinya. “Tapi hatiku nggak bisa tenang, Pak! Aku takut kalau terjadi sesuatu sama Bella! Dan semua ini gara-gara Bitha!” Tanpa basa-basi Bu Shanty bergegas menghampiri Tsabitha yang saat itu sedang duduk di bangku panjang bareng Moreno. “Ingat yaa, Bitha! Kalau sampai terjadi sesuatu sama Bella, Ibu nggak akan tinggal diam!” bentak perempuan tua itu geram dengan ekspresi wajahnya yang
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern