“Bell, kamu nggak bisa diam gini, terus!” ujar Bu Shanty sore itu saat berkunjung ke rumah putri kesayangannnya. “Kamu harus segera ngeluarin Dewi dari rumahmu ini, perempuan itu bisa jadi ancaman, Bell!” lanjutnya cemas sambil berjalan mondar-mandir di ruang keluarga rumah Mabella.
“Ibu, duduk! Denger, ya!” sahut Mabella resah sambil memegang lengan atas perempuan tua itu dan memintanya untuk duduk di sofa. Bu Shanty menurut dan duduk di sofa, Mabella pun duduk di sebelahnya seraya berkata, “waktu pertama kali dia datang ke rumah ini, aku sama Bitha udah protes waktu Reno mau nampung dia, tapi Reno bilang ini demi kemanusiaan. Jadi bisa apa aku?”
“Kamu itu terlalu lemah! Harusnya kamu itu ngotot dan tetep kekeuh nggak mau nrima perempuan itu di rumahmu ini,” sela Bu Shanty, “Ibu yakin dia itu punya maksud tertentu dengan masuk ke rumahmu ini!”
“Maksud tertentu?” balas Mabella he
“Aku sangat senang karena kalian semua sudah berkumpul di sini, memenuhi undanganku. Aku ucapkan banyak-banyak terimakasih,” ujar Mabella sambil menyeringai lebar, karena siang itu dia berhasil mengumpulkan ayah, ibu, suami dan istri kedua sang suami yang merupakan adik kandungnya sendiri, Tsabitha. Siang ini dia ingin menuntaskan semuanya, Mabella ingin rasa penasarannya terjawab setelah selama beberapa hari ini tertunda karena kedatangan Dewi di rumah mereka. “Memangnya ini ada apa to, Bella? Kamu ini kok tumben-tumben banget sih, manggil kami semua di sini, memangnya ada apa? Apa kamu mau bikin acara special?” sela Bu Shanty penasaran yang sejak tadi sudah bosan menunggu sambil duduk di sofa besar di ruang keluarga di rumah putri kesayangannya, sementara anggota keluarga yang lain duduk di sofa yang lain, mengelilingi meja bundar yang berada tepat di tengah ruangan. “Bukan acara special, Bu. Tapi ada sesuatu yang special yang menggelitik hatiku akhir-akhir ini dan aku yakin kalian
“Bagaimana keadaan Mabella, Dok?” tanya Bu Shanty cemas, saat Dokter Burhan selesai mengecek keadaan putri sulungnya yang sedang dirawat di rumah sakit. “Berdoa saja, Bu. Karena saat ini Nyonya Mabella dalam keadaan kritis, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk memulihkan keadaannya,” sahut Dokter Burhan sambil menatap ke Bu Shanty dan Pak Halim secara bergantian, kemudian berlalu meninggalkan mereka. “Bagaimana ini, Pak? Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama Mabella. Ibu takut.” “Tenang, Bu. Kita berdoa saja semoga keadaan Bella bisa lekas membaik,” sahut Pak Halim yang berusaha menenangkan istrinya. “Tapi hatiku nggak bisa tenang, Pak! Aku takut kalau terjadi sesuatu sama Bella! Dan semua ini gara-gara Bitha!” Tanpa basa-basi Bu Shanty bergegas menghampiri Tsabitha yang saat itu sedang duduk di bangku panjang bareng Moreno. “Ingat yaa, Bitha! Kalau sampai terjadi sesuatu sama Bella, Ibu nggak akan tinggal diam!” bentak perempuan tua itu geram dengan ekspresi wajahnya yang
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa