“Makan siang apa kita hari ini?” tanya Mabella yang tiba-tiba muncul siang itu di ruang makan di rumah Tsabitha, saat sang adik dan suaminya sedang asyik menikmati makan siang bersama.
“Heii, Kakak! Ayoo, sini! Makan bareng! Mbok Nah bikin rendang sama sayur nangka, enak bangeet!” ajak Tsabitha sambil melambaikan tangan padanya yang masih berdiri di ujung meja makan.
“Ayoo, Bell! Jangan berdiri saja di situ, ayoo masuklah!” Moreno menimpali ucapan Tsabitha sambil menyeringai lebar.
Perempuan itu hanya tersenyum sambil berjalan menghampiri mereka dan duduk di sebelah Moreno, sementara sang adik duduk di sisi lainnya. “Hmm … lihat dari bentuk dan aromanya saja, kelihatannya enak sekali rendang ini,” sahutnya sambil mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan rendang special buatan Mbok Nah. “Semua masakan Mbok Nah itu memang enak! Pantas aja Bitha minta Mbok Nah ikut dengannya, biar dimasakin yang e
“Bapak, Ibu, aku … pingsan lagi, yaa?” tanya Mabella dengan suaranya yang parau dan terbata-bata sambil memegang keningnya yang sedikit pusing.“Sudah, sudah, Bella. Nggak usah banyak ngomong, kamu itu masih capek, istirahat saja dulu, sekarang lebih baik minum obatnya, yaa,” sahut Bu Shanty sambil membelai puncak rambut putri kesayangannya itu. Perempuan itu mengangguk sambil mengangkat tubuhnya, agar bisa duduk, untuk minum obat. Bu Shanty dan Pak Halim lalu membantunya.“Bapak, Reno sama Bitha di mana?” tanyanya lagi setelah selesai minum obat.“Moreno tadi nganter Dokter Burhan ke teras depan trus nggak tahu ke mana, kalau BItha tadi sih lagi gendong Bian, mungkin sekarang lagi nidurin Bian di kamar. Kenapa? Kamu mau ngomong sama mereka?” Mabella mengangguk pelan sambil merebahkan tubuhnya di sandaran bantal yang ditumpuk-tumpuk hingga tersusun tinggi di belakangnya.“Sudah, ngomongnya nggak
Menunggu adalah hal yang paling membosankan untuknya. Namun, sore ini Dewi harus setia menunggu dan menanti jawaban yang akan menentukan masa depannya nanti. Perempuan itu sudah bertekad untuk mengguncang sedikit dunia kecil yang dibangun oleh sang Big Boss bersama kedua istrinya yang kakak beradik itu. Ternyata pukulan keras dari mantan suaminya memberikan sisi baik baginya untuk masuk ke rumah ini. Dewi benar-benar merasa bersyukur, dengan dalih meminta perlindungan, perempuan itu berusaha masuk ke dalam rumah itu. Hatinya berbunga-bunga senang. “Apa? Kamu mau ngajak Dewi tinggal di rumah kita sama anaknya?” ujar Mabella kesal dengan ekspresi wajahnya yang tidak suka saat sang suami mengungkapkan tujuannya membawa anak buahnya masuk ke rumah mereka. Saat itu, Dewi ada di lantai bawah di ruang tamu, menunggu Moreno dan keluarganya yang sedang berdiskusi di lantai atas di ruang kerja Moreno di rumah Mabella. “Iya, Bell! Seperti yang aku bilang tadi, ini demi kemanusiaan!” Mabella me
“Bell, kamu nggak bisa diam gini, terus!” ujar Bu Shanty sore itu saat berkunjung ke rumah putri kesayangannnya. “Kamu harus segera ngeluarin Dewi dari rumahmu ini, perempuan itu bisa jadi ancaman, Bell!” lanjutnya cemas sambil berjalan mondar-mandir di ruang keluarga rumah Mabella.“Ibu, duduk! Denger, ya!” sahut Mabella resah sambil memegang lengan atas perempuan tua itu dan memintanya untuk duduk di sofa. Bu Shanty menurut dan duduk di sofa, Mabella pun duduk di sebelahnya seraya berkata, “waktu pertama kali dia datang ke rumah ini, aku sama Bitha udah protes waktu Reno mau nampung dia, tapi Reno bilang ini demi kemanusiaan. Jadi bisa apa aku?”“Kamu itu terlalu lemah! Harusnya kamu itu ngotot dan tetep kekeuh nggak mau nrima perempuan itu di rumahmu ini,” sela Bu Shanty, “Ibu yakin dia itu punya maksud tertentu dengan masuk ke rumahmu ini!”“Maksud tertentu?” balas Mabella he
“Aku sangat senang karena kalian semua sudah berkumpul di sini, memenuhi undanganku. Aku ucapkan banyak-banyak terimakasih,” ujar Mabella sambil menyeringai lebar, karena siang itu dia berhasil mengumpulkan ayah, ibu, suami dan istri kedua sang suami yang merupakan adik kandungnya sendiri, Tsabitha. Siang ini dia ingin menuntaskan semuanya, Mabella ingin rasa penasarannya terjawab setelah selama beberapa hari ini tertunda karena kedatangan Dewi di rumah mereka. “Memangnya ini ada apa to, Bella? Kamu ini kok tumben-tumben banget sih, manggil kami semua di sini, memangnya ada apa? Apa kamu mau bikin acara special?” sela Bu Shanty penasaran yang sejak tadi sudah bosan menunggu sambil duduk di sofa besar di ruang keluarga di rumah putri kesayangannya, sementara anggota keluarga yang lain duduk di sofa yang lain, mengelilingi meja bundar yang berada tepat di tengah ruangan. “Bukan acara special, Bu. Tapi ada sesuatu yang special yang menggelitik hatiku akhir-akhir ini dan aku yakin kalian
“Bagaimana keadaan Mabella, Dok?” tanya Bu Shanty cemas, saat Dokter Burhan selesai mengecek keadaan putri sulungnya yang sedang dirawat di rumah sakit. “Berdoa saja, Bu. Karena saat ini Nyonya Mabella dalam keadaan kritis, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk memulihkan keadaannya,” sahut Dokter Burhan sambil menatap ke Bu Shanty dan Pak Halim secara bergantian, kemudian berlalu meninggalkan mereka. “Bagaimana ini, Pak? Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama Mabella. Ibu takut.” “Tenang, Bu. Kita berdoa saja semoga keadaan Bella bisa lekas membaik,” sahut Pak Halim yang berusaha menenangkan istrinya. “Tapi hatiku nggak bisa tenang, Pak! Aku takut kalau terjadi sesuatu sama Bella! Dan semua ini gara-gara Bitha!” Tanpa basa-basi Bu Shanty bergegas menghampiri Tsabitha yang saat itu sedang duduk di bangku panjang bareng Moreno. “Ingat yaa, Bitha! Kalau sampai terjadi sesuatu sama Bella, Ibu nggak akan tinggal diam!” bentak perempuan tua itu geram dengan ekspresi wajahnya yang
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini