“Haii, udah lama ya, nunggunya?” tanya Tsabitha pagi itu sambil menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu, ketika Khrisna berkunjung ke rumahnya.“Nggak juga, santai aja lagi, aku cuma mau laporan aja,” sahut Khrisna sambil mengeluarkan sebuah map plastik dari tas ransel.“Oh iya, sorry banget, ya selama seminggu ini aku nggak mampir ke butik, karena minggu-minggu ini kerjaan lagi padat banget di kantor. Belum lagi aku harus ngecek baju-baju yang aku desain untuk keperluan pernikahan adikku itu sudah jadi apa belum. Hhh, benar-benar melelahkan ….”“Memangnya kamu jahit di mana?” tanya Khrisna penasaran.“Aku jahit di langganan jahitku sejak dulu, dia udah hafal banget mauku apa, tapi tetep harus cek and ricek, karena itu ‘kan banyak banget. Mulai dari baju keluarga pengantin, baju pengiring pengantin, belum lagi baju pengantinnya sendiri!”“Semu
[“Gimana, Bith? Kamu sudah ambil keputusan?”] tanya Mabella di ujung telpon siang itu, saat Tsabitha sedang sibuk mendesain motif kain yang baru.“Yaa ampun, Kak. Ini baru seminggu, aku bahkan belum sempet mikirinnya! Saat ini aku masih sibuk, Kak. Kakak bisa ngerti, ‘kan? Aku lagi sibuk nyiapin pernikahan Lidya yang kurang sebulan lagi!” sahut Tsabitha tegas sambil menahan rasa kesalnya dengan mencoret-coret kertas yang ada di atas di meja.[“Aku bisa ngerti, Bith! Tapi kamu tahu ‘kan gimana Reno? Dia butuh kepastian dari kamu, iya-iya, nggak-nggak! Karena kalau kamu nggak mau, dia akan menikahi Dewi! Kamu nggak kasihan sama aku?”] ujar Mabella dengan nada sedih. Tsabitha jadi bingung.“Aarrhhgg! Maunya apa sih itu orang? Kemarin-kemarin cueknya minta ampun, sekarang tiba-tiba aja minta nikah! Mendadak lagi!” batin Tsabitha kesal sambil mencoret-coret kertas yang ada di depannya.Tepat
“Aku heran deh sama laki-laki ini! Maunya apa sih dia? Dulu dia marah-marah sama aku sampai ngebenci aku kayak gitu, ngajak ngomong juga nggak, ketemu juga ogah, menghilang sampai bertahun-tahun! Tahu-tahu sekarang, begitu ketemu, ngajakin nikah! Iiih enak banget!” Tsabitha terus saja menggerutu sambil melajukan mobil memasuki halaman parkir kantor Moreno. Havika yang duduk di sebelahnya, hanya bisa terdiam dan menjadi pendengar setia, tanpa menginterupsi ocehannya. “Tahu gini! Lebih baik waktu itu aku terima aja lamaran Laurent atau Nicholas!” Tsabitha masih saja menggerutu sambil keluar dari mobil, setelah memarkirkan mobil. “Nicholas itu model yang dari Italia?” sela Havika sambil ikut keluar dari mobil dan berjalan menghampirinya. Tsabitha pun mengangguk. “Iya, setiap kali acara fashion show, kalau pake model dia, dia selalu aja deketin aku. Sampai akhirnya dia nekat nglamar aku! Coba aja waktu itu aku iyain, nggak bakalan gini, deh jadinya!” rutuknya kesal sambil berjalan bersis
”Dewi, terima kasih, ya. Karena kamu sudah membantu aku. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu lagi harus minta tolong sama siapa?” ujar Moreno sambil meremas tangan Dewi yang berada di atas meja. Moreno memang sengaja melakukan hal itu, agar Tsabitha yang saat itu sudah duduk di sebrangnya bareng Havika sambil menutupi wajahnya dengan katalog menu, bisa melihat kemesraan palsunya bareng bawahannya ini. Dewi mengulas senyum manis sambil ikut meremas tangan Moreno. “Pak Reno, jangan bicara seperti itu. Jujur aku senang bisa membantu Anda agar bisa kembali lagi sama Tsabitha, meskipun dengan pura-pura pacaran seperti ini, aku suka, bahkan aku sangat menikmatinya. Yaa itung-itung bisa ngerasain pacaran sama Pak Reno, nggak masalah meskipun cuma pura-pura aja.” Laki-laki itu tersenyum tipis sambil melirik ke Tsabitha yang saat itu masih mengintip dari balik katalog menu. Sepertinya rencananya berhasil, Moreno tersenyum puas. “Bitha!” Moreno kaget dan menoleh ke sumber suara yang tiba-tib
Sebulan kemudian, dua minggu setelah pernikahan Lidya dan Surya … “Mbak Bitha!” Tsabitha menoleh, dilihatnya Mbok Inah menghampirinya sambil membawa sebuah amplop kertas coklat besar yang didekapnya di depan dada. “Ada apa, Mbok?” tanyanya heran. Sore itu Tsabitha sedang duduk santai di atas ayunan yang berada di tepi kolam renang sambil mencoret-coret gambar sketsa model baju buatanya. “Ini, Mbak! Ada kiriman foto-foto pernikahannya Mbak Lidya kemarin!” sahut Mbok Inah sambil menyodorkan amplop kertas coklat itu ke majikan mudanya. “Orangnya mana, Mbok? Masih di depan?” tanya Tsabitha penasaran sambil menerima amplop kertas coklat itu. Mbok Inah menggeleng. “Orangnya sudah pergi, Mbak! Katanya yang dikirim itu baru sebagian, yang sebagian lagi baru minggu depan, sekalian sama album foto katanya! Tadi Mbok sudah nyuruh nunggu, tapi orangnya buru-buru, katanya ada kerjaan penting lainnya yang masih nunggu!” “Ya, udah nggak papa, Mbok! Makasih, ya! Oh iya, Mbok, Bapak sama Ibu sud
“Mbok Inah!” bentak Tsabitha lantang. Mbok Inah kaget dan menoleh ke majikan mudanya dengan ekspresi wajah yang bingung. gadis itu sendiri juga hanya terdiam setelah membentak pembantu setianya. Ada rasa tidak terima di hati Tsabitha, saat Mbok Inah menyebut Dewi sebagai ibu Fabian yang akan memberinya seorang adik. “Maaf, Mbak. Mbok lancing, yaa. Maaf, Mbok Inah kelepasan ngomong, nggak seharusnya Mbok ngomong kayak gitu. Maaf, ya, Mbak,” sahut Mbok Inah kikuk dan merasa bersalah ke Jodha. “Maaf, Mbok. Aku nggak bermaksud mbentak Mbok Inah tadi. Aku pergi dulu ya, Mbok! Tolong simpen foto-foto ini dan taruh di kamarku. Makasih, ya, Mbok!” Tsabitha bergegas pergi meninggalkan pembantu itu yang masih berdiri termangu di depannya sambil memberikan semua foto-foto itu ke perempuan tua tersebut. Gadis itu kemudian melajukan mobil menuju ke rumah Moreno dan Mabella. Tujuannya cuma satu, dia akan menerima permintaan laki-laki itu untuk menjadi istri keduanya. Namun, kalau boleh jujur
“Bitha, kenapa kakakmu sampai pingsan seperti ini? Apa yang kamu lakukan padanya? Hah?” tanya Bu Shanty kesal sambil menatap marah pada Tsabitha. Saat itu Mabella sendiri sudah dibawa ke dalam kamar dan sedang dalam perawatan dokter, Moreno pun menemaninya di dalam, sedangkan yang lain berada di luar kamar. “Aku nggak ngapa-ngapain, Bu. Sungguh!” bisik Tsabitha lirih. “Sudah-sudah, sudah, Bu. Ini semua bukan kesalahan Bitha,” sela Pak Halim yang berusaha meredam amarah istrinya yang selalu naik pitam kalau berhubungan dengan putri sulungnya itu. “Bapak yakin itu. Mungkin saja Bella capek dan pingsan pas di depan ruang kerja, bisa jadi, ‘kan?” “Bapak ini! Selalu saja belain Bitha!” sahut Bu Shanty kesal. “Dan kamu, Bitha! Awas, ya! Kalau ada apa-apa sama kakakmu! Kamu harus tanggung jawab! Kamu itu harusnya bersyukur karena Bella mengijinkan kamu untuk jadi istri keduanya Reno!” desis Bu Shanty dengan nada kesal. Tsabitha hanya terdiam dan tidak menanggapi ucapan ibunya. Dia hanya m
Dewi segera berdiri sambil menggendong Fahira, putri kecilnya, ketika Moreno, Tsabitha dan Pak Halim menghampirinya. Sesaat perempuan itu teringat pada percakapannya barusan bareng Bu Shanty yang memintanya untuk tetap mempertahankan rencana pernikahannya dengan Moreno.“Dewi, kamu tahu ‘kan tadi Bitha bilang apa?” tanya Bu Shanty setengah berbisik, seolah-olah takut ada yang mendengar percakapan mereka berdua sambil berjalan menghampiri perempuan itu dan duduk di sebelahnya.“Iya, Bu. Saya tahu dan insyaallah saya bisa mengerti,” sahut Dewi sambil memangku si kecil di pangkuannya.“Kamu itu jangan cuma pasrah kayak gini! Seharusnya kamu itu nolak! Karena Reno ‘kan sudah nglamar kamu duluan, kenapa Bitha seenaknya nyerobot seperti itu! Itu nggak bener! Anak itu harus belajar etika!” Dewi hanya terdiam dan merasa bingung, karena Bu Shanty tampak sekali tidak suka dengan apa yang di