Rini memindai tubuhnya yang semakin melebar di depan cermin. Ia tersenyum melihat perut buncitnya dibalik daster pink bermotif bunga yang ia kenakan. Kehamilannya yang sudah menginjak sembilan bulan membuat semakin payah dalam bergerak yang membuat wajahnya terlihat pucat karena kelelahan. Ia terkadang heran mengapa sering merasa lelah padahal pekerjaannya sehari-hari tak begitu banyak. Rini setiap hari hanya bertugas memasak karena Tanto memperkerjakan orang untuk mencuci dan bersih-bersih rumah yang akan datang dua hari sekali.Pandangan Rini beralih pada jam dinding yang sudah menunjuk angka sebelas. Ia terus mondar-mandir di dalam rumah karena ia sama sekali belum mengantuk. Seharusnya tubuhnya yang lelah membuatnya cepat memejamkan mata, namun semua itu tak bisa Rini lakukan karena suaminya belum pulang. Ini memang bukan pertama kalinya Tanto pulang larut malam, tapi kali ini Rini merasa sedikit khawatir karena suaminya tak membalas pesan juga tak mengangkat teleponnya sejak emp
Tanto terus memandang bayi merah yang terbaring lemah dalam bok kaca. Hatinya yang tadi dipenuhi rasa bahagia seketika berubah nelangsa saat dokter mengabarkan jika anak yang baru saja di lahirkan memerlukan penanganan khusus karena ada organ dalam yang belum sempurna yang diakibatkan oleh usia kandungan yang belum cukup bulan. Hatinya benar-benar hancur saat melihat beberapa alat yang dipasang pada tubuh bayinya. Tangannya terulur menyentuh dan menempelkan dahinya ke jendela kaca dan tak lagi memedulikan rasa sakit dan perih di wajahnya saat bergesekan dengan benda bening di depannya.“Kuat ya, Sayang. Ayah di sini, Nak,” gumam Tanto dengan bibir bergetar.Orang tua mana yang tak hancur melihat buah hatinya yang baru saja di lahirkan harus berjuang sendiri di tempat berukuran kurang dari satu meter itu. “Mana anak kita, Mas? Kenapa enggak langsung dibawa ke sini?” Pekik Rini saat melihat Tanto datang dengan wajah kacau. Semua kekhawatiran Rini pada suaminya seakan hilang berganti d
"Kalo kamu yang hamil, aku oke saja. Lagian kamu juga enggak nemenin aku lahiran, ayah macam apa kamu?” Rini memandang tajam pada lelaki yang memasang wajah tak berdosa di sampingnya. Sejak semalam pembahasan mereka tentang menambah anak belum juga selesai.Wajah Tanto yang tadinya semringah sembari memandang wajah bayi yang sama persis dengannya seketika berubah menciut. Rasa bersalah kembali muncul dihatinya karena membiarkan istrinya berjuang sendiri. Ia bahkan sama sekali tak tahu kondisi Rini sebelum memasuki ruang operasi. “Maaf ....”“Tak apa, Mas. Berjanjilah untuk tidak bertindak gegabah lagi. Semua permasalahan pasti mempunyai jalan keluar tanpa harus menggunakan kekerasan.”“Iya, Sayang ...” Tanto mengecup lembut bibir Rini. Ia selalu gemas saat Rini berbicara sok bijak.“Heh, Tahan! Istri baru seminggu lahiran udah nyosor aja,” pekik salah seorang lelaki yang baru saja masuk diikuti beberapa orang di belakangnya.“Siapa yang nyuruh kalian masuk?” Tanto menghampiri beberap
Langit masih gelap dan udara benar-benar terasa menusuk tulang saat Rini beserta suami dan anaknya tengah sibuk bersiap pulang kampung. Tengah malam tadi Dwi menelepon jika kondisi Bu Riyati semakin melemah yang membuat mereka berinisiatif pulang saat itu juga. Masih dalam keadaan setengah sadar Ari dan Bagus mengemas pakaian masing-masing ke dalam tas. Begitu juga Rini dan Tanto yang sedang mengemas segala keperluan Rafif. Bepergian membawa bayi memanglah hal yang sangat merepotkan dan nahasnya mereka harus mempersiapkan secara mendadak. Sejak kepulangan Ibu bersama Dwi lebih dari enam bulan yang lalu, Rini memang belum pernah sama sekali membawa Rafif mengunjungi neneknya. Selain karena cuti tahunan Tanto habis, kedua anaknya yang bersekolah juga tak memungkinkan mereka untuk sering bepergian. Apalagi dengan jarak tempuh yang lumayan jauh membuat Rini berpikir ribuan kali untuk membawa bayi yang belum genap berumur setahun itu.Sebenarnya mereka sudah berniat pulang kampung saat l
Tanto menyentuh gundukan tanah merah yang terlihat masih basah dengan banyak taburan bunga yang mulai layu. Tepat seminggu setelah Ibunya tiada Tanto kembali ke tempat pembaringan terakhir wanita terpenting dalam hidupnya. Mungkin setelah ini ia tak bisa sering-sering datang karena esok hari ia dan keluarganya harus kembali ke kota.“Bu, besok Tanto mau berangkat. Tenang disana ya, Bu,” pamitnya sembari mengelus nisan kayu bertulisan Riyati .Memang tak mudah menerima kenyataan jika wanita yang melahirkannya telah berpulang untuk selamanya. Namun kematian adalah hal yang mutlak bagi setiap makhluk yang bernyawa dan jika saat itu datang tak maka tak ada satu pun yang mampu menghindarinya.Tanto berjalan pelan meninggalkan makam Bu Riyati, baru sepuluh langkah ia berhenti dan menoleh sejenak kemudian melayangkan senyum sebagai isyarat jika ia telah mengikhlaskan kepergian Ibunya dan siap menjalani hari-harinya kembali“Sudah siap semuanya, Sayang?” Tanto yang baru saja pulang langsung
Udara benar-benar terasa sejuk saat Ari membonceng adiknya melewati jalan kecil dengan pemandangan sawah dan gunung di kanan kirinya. Kabut tipis dan harum embun benar-benar terasa saat tiupan angin kecil menerpa wajahnya. Pagi sekali Ari berniat mengunjungi Ayah sebelum ia kembali ke kota. Seharusnya ia bisa ke sana sejak kemarin tapi lagi-lagi karena masalah Juwita, ia menjadi malas melakukan apa-apa.“Kak, istri Bapak galak enggak, ya?” bisik Bagus menempelkan dagunya pada pundak kakaknya.“Enggak lah, kalo galak ya kita langsung pulang saja. Lagian kita ke sana juga atas undangan Bapak.”Saat melayat Bu Riyati memang Budi sempat bertemu Ari dan memerintahkan ia untuk berkunjung ke rumahnya karena selama Budi pulang dari luar negeri, kedua anaknya belum pernah mengunjunginya. “Nanti kita panggil apa sama istrinya Bapak?” “Ya tergantung nanti.”“Berarti kita punya dua Bapak sama dua mama ya, kak?”“Ya mau bagaimana lagi, udah takdirnya kayak gitu.”Tak ada seorang pun anak yang in
Tanto mengernyit heran saat melihat wajah istrinya yang terlihat muram. Televisi besar yang menyala di depannya sama sekali tak diperhatikan. Biasanya sepulang kerja Tanto langsung disambut oleh suara merdu Rini yang selalu menanyakan segala hal tentang hari yang dilaluinya, tapi sekarang berbeda karena sedari tadi Rini hanya bicara seperlunya.“Kamu sakit?” Tanto menempelkan telapak tangannya di dahi Rini.“Enggak, Mas, cuma capek aja.”“Capek ngurusin Rafif, ya?” Rafif memang sekarang sedang aktif-aktifnya. Bocah yang baru dua bulan ini bisa berjalan terus saja bergerak dan tak membiarkan Rini beristirahat. Ia hanya akan berhenti saat di gendong atau saat tidur dan hal itulah yang membuat Rini cukup kewalahan.“Bukan capek ngurusin Rafif, tapi aku pusing mikirin Ari.”“Memangnya Ari kenapa? Perasaan enggak ada yang berubah sama kelakuannya.”Akhirnya Rini menceritakan semua hal yang ia tahu tentang perilaku Ari. Juga tentang sikapnya yang mulai mempermainkan seorang gadis. Sebenarn
“Hay, kak,” sapa Juwita pada Fira yang baru saja duduk di jok depan. Gadis berpakaian kaos berwarna soft pink dipadukan celana jeans panjang itu sedikit terkejut karena Ari membawa cewek lain di mobilnya. Wajah yang tadi dihiasi senyum manis berubah datar dan berganti dengan senyum canggung.“Oh, iya, kenalin ini Juwita, anaknya Om Romi dan Tante Dwi. Kebetulan dia sedang liburan di sini. Kamu enggak keberatan, kan, kalo dia ikut. Kasihan tiga hari di sini Cuma di dalam rumah aja,” ucap Ari yang mulai melajukan mobilnya.“Hay, aku Safira, panggil aja Fira.” Dengan sigap Fira mengajak Juwita bersalaman. Ia telah salah sangka karena mengira Juwita adalah selingkuhan Ari.“Ju-juwita.”“Kenapa enggak bilang dari kemarin kalo keponakanmu datang? Kan aku bisa ngajak jalan dari pada di rumah terus. Besok kalo mau kemana-mana ngajak aku aja. Minta nomorku sama Ari.” “I-iya, Fira.” Sejak berpacaran dengan Ari, Fira mulai sedikit pandai berbicara. Tak seperti dulu yang hanya membuka mulut s