Langit masih gelap dan udara benar-benar terasa menusuk tulang saat Rini beserta suami dan anaknya tengah sibuk bersiap pulang kampung. Tengah malam tadi Dwi menelepon jika kondisi Bu Riyati semakin melemah yang membuat mereka berinisiatif pulang saat itu juga. Masih dalam keadaan setengah sadar Ari dan Bagus mengemas pakaian masing-masing ke dalam tas. Begitu juga Rini dan Tanto yang sedang mengemas segala keperluan Rafif. Bepergian membawa bayi memanglah hal yang sangat merepotkan dan nahasnya mereka harus mempersiapkan secara mendadak. Sejak kepulangan Ibu bersama Dwi lebih dari enam bulan yang lalu, Rini memang belum pernah sama sekali membawa Rafif mengunjungi neneknya. Selain karena cuti tahunan Tanto habis, kedua anaknya yang bersekolah juga tak memungkinkan mereka untuk sering bepergian. Apalagi dengan jarak tempuh yang lumayan jauh membuat Rini berpikir ribuan kali untuk membawa bayi yang belum genap berumur setahun itu.Sebenarnya mereka sudah berniat pulang kampung saat l
Tanto menyentuh gundukan tanah merah yang terlihat masih basah dengan banyak taburan bunga yang mulai layu. Tepat seminggu setelah Ibunya tiada Tanto kembali ke tempat pembaringan terakhir wanita terpenting dalam hidupnya. Mungkin setelah ini ia tak bisa sering-sering datang karena esok hari ia dan keluarganya harus kembali ke kota.“Bu, besok Tanto mau berangkat. Tenang disana ya, Bu,” pamitnya sembari mengelus nisan kayu bertulisan Riyati .Memang tak mudah menerima kenyataan jika wanita yang melahirkannya telah berpulang untuk selamanya. Namun kematian adalah hal yang mutlak bagi setiap makhluk yang bernyawa dan jika saat itu datang tak maka tak ada satu pun yang mampu menghindarinya.Tanto berjalan pelan meninggalkan makam Bu Riyati, baru sepuluh langkah ia berhenti dan menoleh sejenak kemudian melayangkan senyum sebagai isyarat jika ia telah mengikhlaskan kepergian Ibunya dan siap menjalani hari-harinya kembali“Sudah siap semuanya, Sayang?” Tanto yang baru saja pulang langsung
Udara benar-benar terasa sejuk saat Ari membonceng adiknya melewati jalan kecil dengan pemandangan sawah dan gunung di kanan kirinya. Kabut tipis dan harum embun benar-benar terasa saat tiupan angin kecil menerpa wajahnya. Pagi sekali Ari berniat mengunjungi Ayah sebelum ia kembali ke kota. Seharusnya ia bisa ke sana sejak kemarin tapi lagi-lagi karena masalah Juwita, ia menjadi malas melakukan apa-apa.“Kak, istri Bapak galak enggak, ya?” bisik Bagus menempelkan dagunya pada pundak kakaknya.“Enggak lah, kalo galak ya kita langsung pulang saja. Lagian kita ke sana juga atas undangan Bapak.”Saat melayat Bu Riyati memang Budi sempat bertemu Ari dan memerintahkan ia untuk berkunjung ke rumahnya karena selama Budi pulang dari luar negeri, kedua anaknya belum pernah mengunjunginya. “Nanti kita panggil apa sama istrinya Bapak?” “Ya tergantung nanti.”“Berarti kita punya dua Bapak sama dua mama ya, kak?”“Ya mau bagaimana lagi, udah takdirnya kayak gitu.”Tak ada seorang pun anak yang in
Tanto mengernyit heran saat melihat wajah istrinya yang terlihat muram. Televisi besar yang menyala di depannya sama sekali tak diperhatikan. Biasanya sepulang kerja Tanto langsung disambut oleh suara merdu Rini yang selalu menanyakan segala hal tentang hari yang dilaluinya, tapi sekarang berbeda karena sedari tadi Rini hanya bicara seperlunya.“Kamu sakit?” Tanto menempelkan telapak tangannya di dahi Rini.“Enggak, Mas, cuma capek aja.”“Capek ngurusin Rafif, ya?” Rafif memang sekarang sedang aktif-aktifnya. Bocah yang baru dua bulan ini bisa berjalan terus saja bergerak dan tak membiarkan Rini beristirahat. Ia hanya akan berhenti saat di gendong atau saat tidur dan hal itulah yang membuat Rini cukup kewalahan.“Bukan capek ngurusin Rafif, tapi aku pusing mikirin Ari.”“Memangnya Ari kenapa? Perasaan enggak ada yang berubah sama kelakuannya.”Akhirnya Rini menceritakan semua hal yang ia tahu tentang perilaku Ari. Juga tentang sikapnya yang mulai mempermainkan seorang gadis. Sebenarn
“Hay, kak,” sapa Juwita pada Fira yang baru saja duduk di jok depan. Gadis berpakaian kaos berwarna soft pink dipadukan celana jeans panjang itu sedikit terkejut karena Ari membawa cewek lain di mobilnya. Wajah yang tadi dihiasi senyum manis berubah datar dan berganti dengan senyum canggung.“Oh, iya, kenalin ini Juwita, anaknya Om Romi dan Tante Dwi. Kebetulan dia sedang liburan di sini. Kamu enggak keberatan, kan, kalo dia ikut. Kasihan tiga hari di sini Cuma di dalam rumah aja,” ucap Ari yang mulai melajukan mobilnya.“Hay, aku Safira, panggil aja Fira.” Dengan sigap Fira mengajak Juwita bersalaman. Ia telah salah sangka karena mengira Juwita adalah selingkuhan Ari.“Ju-juwita.”“Kenapa enggak bilang dari kemarin kalo keponakanmu datang? Kan aku bisa ngajak jalan dari pada di rumah terus. Besok kalo mau kemana-mana ngajak aku aja. Minta nomorku sama Ari.” “I-iya, Fira.” Sejak berpacaran dengan Ari, Fira mulai sedikit pandai berbicara. Tak seperti dulu yang hanya membuka mulut s
Ari melajukan motornya di tengah keramaian jalan yang penuh sorot lampu di kanan kirinya. Demi menemui Fira, ia rela keluar malam dan menerobos udara dingin yang begitu menusuk tulang. Ari memarkirkan motornya di tepi jalan, dan bergegas menghampiri wanita berjaket putih yang sedang menunggunya di bangku sebuah taman kota. “Tumben minta ketemu di sini. Ke Cafe aja, yuk! Dingin banget di sini,” ucap Ari setelah menjatuhkan bobotnya di samping wanita itu.“Pengin suasana baru aja.” Fira mengeratkan jaketnya sembari mengamati beberapa pasangan yang berlalu-lalang di sekitar mereka.Ari merasa ada yang aneh dengan sikap Fira malam ini. Wajahnya yang biasanya berbinar saat bertemu, kini terlihat kusut dan terlihat cuek.“Ada masalah apa?” tanya Ari.“Tak ada apa-apa.”“Jujur saja.” Enam tahun lebih menjadi sepasang kekasih, membuat Ari sedikit paham dengan perubahan sikap Fira. Setiap ada masalah, ia tak mau langsung bicara tanpa Ari memaksanya lebih dulu.“Lebih baik mulai saat ini kita
Ari baru saja membuang puntung kelimanya sebelum beranjak ke tempat tidur. Semenjak pagi tak kurang dari dua bungkus rokok habis ia hisap. Baru saja tiga hari Fira tak menghubungi, tapi ia sudah kelimpungan bak kehilangan setengah nyawa. Ari berbaring sambil memandang langit kamarnya, mengingat-ingat semua kenangan yang telah ia lalui bersama Fira. Ia ingat betul saat pertama kali memutuskan mendekati gadis berkaca mata itu, hingga ia terjebak dalam manisnya hubungan yang tak bertujuan.Ari mencoba memejamkan mata, ia ingin segera beristirahat dan sejenak melupakan perkara yang sedang di hadapinya. Ia tak menyangka bisa dibuat lelah jiwa dan raga hanya karena wanita. Gagal tertidur Ari memutuskan turun ke bawah untuk mengambil segelas air.“Kamu belum tidur?” tanya Rini yang membuat Ari terperanjat.“Belum, Ma.”“Mama lihat beberapa hari ini kamu kusut banget. Ada masalah apa? Kamu sama Fira baik-baik aja, kan?”Ari menggeleng lalu duduk dibangku yang terletak persis di samping Rini
Budi terus menatap mobil yang baru saja pergi dari halaman rumahnya hingga menghilang di belokan. Ia beralih melihat benda putih di tangan dan meremasnya perlahan. Dengan tangan gemetar ia menyobek sedikit ujung benda itu yang langsung menampakkan setumpuk uang berwarna merah yang ditaksir lebih dari dua puluh lembar.Sejam yang lalu Ari datang bersama Bagus untuk meminta restu jika ia akan menikah. Sebagai orang tua ia pasti sangat bahagia dan mendoakan untuk kebaikan anaknya. Namun bukan hanya sekedar doa yang anak sulungnya inginkan, ia juga menginginkan kehadirannya juga Ningsih dan Rio untuk datang ke resepsi pernikahannya.Awalnya Budi menolak dengan berbagai alasan, ia malu karena dengan masa lalunya dengan Rini, apalagi sekarang taraf hidupnya jauh di bawah mantan istrinya. Namun Ari terus memaksanya datang dan malah memberinya sejumlah uang untuk ongkos perjalanan, hal itu membuat Budi merasa sangat malu dan tak berguna. Saat orang tua pada umumnya tak segan menghabiskan uang