Semilir angin dingin dari AC seolah turut andil membekukan waktu di hari yang mulai merangkak tua. Reva terduduk di bangkunya, menghela nafas panjang dan menatap bosan ke pemandangan di luar jendela yang menggodanya untuk memberontak, keluar dari sana dan bebas. Namun tetap dia urungkan sekuat apapun keinginan tersebut.
Di sisi lain kelas juga serupa, beberapa siswa sudah mendengkur di bangku bagian belakang, dan yang lain diam-diam memainkan gawai di kolong meja mereka. Terkecuali gadis yang duduk sebangku dengan Reva, dia masih setia memasang telinga untuk mendengar ocehan guru di depan kelas, sesekali kepalanya ikut angguk-angguk mengikuti akhir perkataan sang guru.
Mendapati kawannya yang begitu fokus pada pelajaran membosankan ini, Reva hanya bisa kembali menghela nafas panjang, di lembaran buku tulis bagian belakang gadis itu asal mencoretkan isi tinta pulpennya ke sana, menggambar sebentuk rupa dari wajah entah siapa. Kegiatan tersebut membuatnya hanyut dan melupakan jenuh yang sebelum ini dia rasakan, perkataan guru kini hanya terdengar sayup-sayup, begitu pula dering bel pulang sekolah dan sorak riang siswa-siswa.
"Reva," Lara, kawan di samping gadis tersebut menepuk pundaknya, hingga tanpa disangka membuat orang yang dipanggilnya terkejut. "Sedang apa? Serius sekali."
"Bukan apa-apa," seiring dengan perkataan itu Reva segera menutup bukunya. Barulah dia menyadari keadaan kelas yang sudah sepi. "Kemana orang-orang?"
"Ya pulang dong," balas Lara yang baru selesai merapikan mejanya. "Kamu kenapa masih diam saja? Apa kamu mau menginap?"
"Kau saja yang menginap," Reva segera merapikan alat tulisnya, dia lakukan itu dengan cepat dan teliti agar tak ada yang terlewat, bahkan kolong meja pun tak luput dari matanya, sekian kemudian dia dan sang kawan keluar dari kelas mereka.
Kelas XII IPA B tempat Reva dan Lara menuntut ilmu berada di lantai tiga gedung sekolah bagian utara. Kelas yang diapit oleh kelas XII IPA A dan kelas XII IPA C tersebut menjadi kelas populer sebab ada Reva dan Lara di sana, dua gadis jelita dengan tubuh ideal bak aktris Hollywood itu merupakan primadonna di sekolah, terutama Reva dengan rambut merah bergelombang dan iris mata berwarna jingga.
Suasana ramai sepulang sekolah mengapit kedua kawan kita di dalam kerumunan, namun seramai apapun jalur pulang kepadatan itu tak mampu mengalahkan penuh sesaknya area lapangan basket dan sorak sorai yang bersumber dari sana seolah menandakan sedang terjadi peristiwa penting. Hal tersebut pun menarik perhatian Reva dan Lara yang masih berjalan lambat ke gerbang depan.
"Ada apa sih di sana?" Lara bertanya lebih dulu, "jangan-jangan sedang terjadi perkelahian!?"
"Tidak mungkin, kalau iya, pasti akan ada guru yang melerai dan membubarkan mereka," jawab Reva yang tak bisa melepas matanya dari kerumunan itu.
"Benar juga," timpal Lara menyetujui deduksi Reva tadi, kemudian dia menarik tangan kawannya, "ayo kita lihat lebih dekat!"
Walau enggan namun Reva tak bisa mencegah keinginan sang sahabat, dengan sedikit berkilah dan senggol sana-sini akhirnya mereka tiba di barisan depan. Begitu mendapati hal apa yang menarik orang-orang ini terpaku ke lapangan, Reva mendengus,dia merasa bosan dengan ini.
Sebuah pertandingan basket antar kelas sedang memanas, score seimbang di waktu-waktu penentuan menegangkan adrenalin semua pemain dan juga penontonnya. Namun bukan hal tersebutlah yang menjadi alasan para penonton yang didominasi kaum hawa berkumpul di situ dan meneriakkan sebuah nama.
To-bi-as!
To-bi-as!
To-bi-as!
Ya, lelaki remaja itulah yang menjadi pusat tontonan seolah dialah sang pemeran utama dari sebuah drama. Lelaki remaja dengan tinggi 175 itu memiliki bentuk wajah serupa Dewa Adonis dan senyum manis yang pasti membuat wanita meleleh kala melihatnya. Kini lelaki remaja tersebut tengah bergerak lincah di antara tubuh-tubuh lawan dengan tangan yang sibuk men-dribble bola basket, kemudian ia melakukan lay up shoot dan…
Goooll!!
Riuh penonton dan cetak score itu sekaligus menandakan berakhirnya pertandingan, tim Tobias mengungguli dua score dari lawannya sehingga terlihat jelas siapa pemenangnya.
Wasit sekaligus guru olahraga menggut-menggut menyaksikan hasil akhir dari pertandingan, sebuah pertandingan yang tidak hanya untuk pengisi jam pelajaran olahraga, tapi juga sebagai penentu bakat-bakat terbaik guna membentuk tim basket sekolah, yang nantinya akan bertanding di kejuaraan antar sekolah tingkat kota.
Kedua tim saling menjabat tangan, yang kalah mengucapkan selamat kepada yang menang dan yang menang memberi semangat pada yang kalah, kemudian mereka saling memecah diri menuju barang masing-masing yang tergeletak di sisi lapangan basket. Tampak lelaki remaja yang dicap sebagai ‘Most Wanted’ itu berjalan mendekat ke tempat Reva dan Lara berdiri, sontak para kaum hawa yang juga berada di sekitar mereka menjerit tertahan melihat idola mereka mendekat.
Memang Tobias memiliki wajah yang rupawan dan tubuh yang proporsional, terutama warna matanya yang senada dengan warna rambutnya, hitam legam itu selalu tampak menghipnotis orang-orang yang memandang ke sana, namun entah mengapa Reva sendiri merasa janggal dengan mata itu.
“Hai Lara,” Tobias mengembangkan senyumnya setelah berada tepat di hadapan kedua gadis primadonna sekolah, suaranya terdengar lembut dan ramah. “Hai Reva.”
“Hai Tobias,” hanya Lara yang membalas sapaan, sementara Reva justru membuang muka.
“Bagaimana menurut kalian pertandingan tadi?”
“Ker—“
“Mana kami tahu, kami baru saja tiba.”
Lara hanya mampu menelan kembali kata-kata yang sudah terpotong sebelumnya, dan Reva bersikap tak acuh.
“Apa karena pertanyaan itu kau datang kemari?” Reva bertanya dan masih mempertahankan sikap yang sama.
“Tidak juga, aku hendak mengambil barang-barangku di sini,” sambil berkata begitu, Tobias sedikit merunduk untuk mengambil barang yang dia maksud.
Dahi Reva mengkerut melihatnya, ‘bagaimana bisa ada barang di situ? Aku tidak melihat barang apapun sebelumnya.’
“Jadi… Apa kalian mau ikut makan-makan bersama timku?” Ajak Tobias setelah ia merapikan barang-barangnya ke dalam ransel sekolah, dia menatap kedua gadis itu dengan harapan penuh, “untuk merayakan kemenangan kecil ini.”
“Bol—“
“Tidak,” jawab Reva cepat, kembali memotong perkataan kawannya. “Hari ini banyak guru yang memberikan pekerjaan rumah, aku tidak mau menunda-nunda sampai berujung lupa.”
“Oh, oke, tak masalah.” Meski ditolak mentah-mentah Tobias tetap membalas dengan senyum ramah.
“Ayo Lara, kita pulang,” Reva tak bisa menyembunyikan rasa jengahnya pada lelaki remaja di depannya ini, dia bosan dengan dia yang selalu disebut-sebut oleh semua wanita di sekolah, termasuk dengan ibu-ibu kantin.
“Aku tidak bisa pulang bersamamu Reva,” Lara menbalas dengan raut wajah tidak enak hati.
“Kenapa?”
“Aku ada les tambahan, mungkin aku baru pulang di jam setengah empat sore,” Lara menengok jam di gawainya.
“Tapi bukankah kau ingin belajar bersama tadi?”
“Ya, setelah pulang les,” Lara sedikit terdiam sebelum melanjutkan. “Atau mungkin kau bisa ikut dengan Tobias selama menungguku.”
“Mmm, tidak deh,” Reva memutuskan untuk beranjak. “Terima kasih.”
Gadis itu mulai meninggalkan kerumunan sekaligus kawan baiknya di sana, sementara Lara dan Tobias saling lirik menerima perlakuan Reva tersebut.
“Susah juga mendekatinya,” simpul Lara setelah Reva menghilang dari pandangannya, wajah lugu yang sedari tadi terpancar darinya mendadak sirna begitu saja.
“Ya, sudah lebih dari tiga tahun kita berusaha,” balas Tobias, dia bersedekap dengan pandangan mata yang mengawang ke arah Reva pergi, “tapi kita tidak bisa berhenti berusaha.”
Lara hanya mengangguk menyetujui perkataan Tobias dan matanya mengikuti arah pandang lelaki tersebut.
Reva membaringkan tubuhnya ke atas ranjang tanpa mengganti dulu baju seragam dengan baju rumah, gadis ini bernafas lega tiap kali berhasil terbebas dari Tobias dan ketampanannya.Suasana rumah yang selalu sepi berhasil membawa ketenangan untuk Reva, dia tetap bergeming di sana membiarkan rasa tenang itu semakin merasuk ke dalam tubuhnya hingga membuat kantuk menguasai, namun sebelum rasa itu membuatnya terlena, sebuah dering panggilan masuk berbunyi dan merusak harmoni indah yang bernama kesunyian.Dengan malas Reva meraih gawai dan menerima panggilan tersebut tanpa melihat panggilan dari siapa itu, sebab dia sudah tahu dari siapa.“Hallo sayang?” Suara di ujung sana terdengar lebih dulu.“Ya Mah,” Reva membalas dengan nada lambat, matanya pun masih menutup.“Sudah pulang?”“Ya Mah.”“Mamah sudah simpan ayam di kulkas, nanti goreng sendiri saja ya, tidak perlu menunggu Mamah.&rdquo
Reva berjalan melewati pagar dan mengetuk pintu rumah, beberapa saat kemudian terdengar suara dari dalam dibarengi dengan pintu yang terbuka.“Eh non Reva,” seorang wanita berusia 30-an menyambut dengan ramah, bajunya yang kumuh tak mampu menghilangkan kecantikan di wajahnya, “mari masuk.”“Bu, aku ‘kan sudah bilang untuk tidak memanggilku dengan sebutan Non,” Reva memprotes, namun dia tetap tak lupa untuk mencium tangan wanita di depannya.“Iya, Ibu lupa, kebiasaan.” Ibu tertawa kecil, “mau minum apa?’“Tidak perlu Bu, nanti akan kuambil sendiri. Di mana Lara?”“Lara sedang ada di kamarnya, masuk saja.”“Terima kasih Bu.”Tanpa basa-basi lagi Reva berjalan menuju kamar orang yang dituju. Rumah ini selain tampak sederhana dari luar, juga minimalis di dalamnya, tak ada banyak ruang dan kelokan seperti rumah milik Reva, gadis ini pun ta
Hari Kamis itu terasa semakin horror dengan diadakannya ujian matematika dadakan oleh guru, cerahnya pagi itu seolah sirna sebab suasana muram yang dipancarkan anak-anak kelas XII IPA B, terutama Reva yang sangat membenci matematika dan memasak, dia akan terserang alergi akut jika bertemu dengan keduanya.Di sisi meja lainnya ada Lara yang sangat menikmati ujian itu, dia dapat menjawab satu per satu soalan tanpa perlu menghitungnya lebih dulu di atas kertas, hingga kelima puluh soal mampu ia selesaikan dalam waktu lima belas menit saja, namun dia belum boleh beranjak dari kursinya sebab dia tak mau orang-orang menaruh curiga padanya, jadi dia tetap berdiam di situ sampai satu jam kedepan.Bagi Lara, soal ujian yang baru saja dikerjakan sudah serupa kawan sedari kecil, Lara akrab dengan matematika, fisika dan kimia sejak menginjak umur lima tahun, karena dia hanya seorang manusia biasa dia terus berusaha agar bisa menyimbangi anak-anak lain di lingkungannya dengan caran
Kelopak mata Reva membuka perlahan, cahaya yang awalnya menyilaukan turut memudar seiring terbentuknya sebuah siluet di depan pandangannya, siluet itu membentuk sosok lelaki tampan dengan iris hijau zambrut di matanya, wajah itu tak pernah Reva lihat di manapun, namun wajah itu tak terasa asing baginya.Suara-suara kini mulai terdengar oleh telinganya. Suara tangisan, ledakan dan teriakan silih berganti memasuki gendang telinga meski hanya sayup-sayup, namun ada satu suara lembut yang terdengar jelas, sebuah suara dari seseorang yang dengan lembut memanggil namanya.Reva?Hei, bangun Reva.Revalian!Seketika Reva tersadar begitu nama lengkapnya disebut, siluet sosok lelaki bermata hijau zambrut yang ia lihat sebelumnya berganti menjadi wajah Tobias, lelaki remaja itu tampak mendekati dipan dengan kelegaan yang tampak jelas di wajahnya.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” Tobias menyambut baik hal tersebut, “apa kau masih
“Kita duduk di sini saja Va.”“Iya.”Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang mas
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh
Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje
Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke
"Ingat ya, besok sudah ada di sini sebelum jam empat sore," Mamah mengingatkan Lara, keduanya sedang berpisah di pintu."Iya Mah," Lara membalas dan baru bangkit setelah mengenakan sepatu, seragam putih abu-abunya sedikit lecek oleh tepung dan cipratan kocokan telur, "asal aku tidak dijahili seperti tadi, aku pasti akan datang sedari pagi."Mamah terkikik pelan, dan setelah Lara keluar dari gerbang ia menutup pintu dan menguncinya. Mamah berjalan menuju dapur berniat untuk membantu Reva, namun tampaknya itu tidak perlu.Reva sudah membereskan semua alat masak dengan rapi, juga kue-kue tadi sudah ia bungkus dan disimpan dalam refrigerator. Kini kerja dari gadis itu terbilang lebih cepat dari biasanya. Yah, dia bekerja keras sebab rasa cemburunya pada Lara, gadis yang bisa melakukan segalanya. Sedangkan dirinya?Mamah tersenyum miris menyadari rasa itu menguar kuat dari dalam tubuh anaknya, kekesalan d
"Kami pulang," ujar Reva di pintu, dia melangkah ke salah satu kursi di ruang tamu itu dan melepas sepatu."Hallo sayang," sang Mamah datang dari dalam rumah dan menyambut kedatangan putri semata wayangnya tersebut, celemek sudah tampak kotor di tubuhnya, "kau datang bersama siapa?""Ya siapa lagi Mah," Reva melirik ke arah pintu di saat seseorang itu masuk dengan menenteng sepatu."Samprazan Mah," teman Reva tersebut mengecup punggung tangan Mamah dengan lembut."Rhampiaza Lara," Mamah membalas dengan ramah, bahkan dia sempat membelai belakang rambut gadis itu kala dicium punggung tangannya. "Ayo masuk, bahan kue sudah menunggu."Lara terkikik pelan dan segera mengekori langkah Mamah menuju dapur, sementara Reva berjalan seorang diri ke kamarnya yang berada di loteng. Dalam kepala ia disibukkan dengan ungkapan salam yang dipakai oleh keduanya."Samprazan, Rhampiaza. Bahasa dari planet mana itu?" Reva hanya bisa geleng-geleng jadinya.
Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah
Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be
Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke
Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh
“Kita duduk di sini saja Va.”“Iya.”Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang mas
Kelopak mata Reva membuka perlahan, cahaya yang awalnya menyilaukan turut memudar seiring terbentuknya sebuah siluet di depan pandangannya, siluet itu membentuk sosok lelaki tampan dengan iris hijau zambrut di matanya, wajah itu tak pernah Reva lihat di manapun, namun wajah itu tak terasa asing baginya.Suara-suara kini mulai terdengar oleh telinganya. Suara tangisan, ledakan dan teriakan silih berganti memasuki gendang telinga meski hanya sayup-sayup, namun ada satu suara lembut yang terdengar jelas, sebuah suara dari seseorang yang dengan lembut memanggil namanya.Reva?Hei, bangun Reva.Revalian!Seketika Reva tersadar begitu nama lengkapnya disebut, siluet sosok lelaki bermata hijau zambrut yang ia lihat sebelumnya berganti menjadi wajah Tobias, lelaki remaja itu tampak mendekati dipan dengan kelegaan yang tampak jelas di wajahnya.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” Tobias menyambut baik hal tersebut, “apa kau masih