Home / Sci-Fi / SATAPUSPI / Bab 6: Di Pertandingan Basket

Share

Bab 6: Di Pertandingan Basket

last update Last Updated: 2021-07-14 14:50:44

“Kita duduk di sini saja Va.”

“Iya.”

Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.

“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”

“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”

“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang masih menggerogoti hati dan rasa lelah di kaki Lara tetap saja berbuat baik dengan menyerahkan botol minumnya pada Reva, “nih, sebaiknya kau perbanyak minum air mineral biar fokus!”

“Maaf ya,” Reva menerima botol yang diserahkan Lara dengan memasang raut wajah yang dipermasin, sementara Lara memutar bola matanya mendapati tingkah kawannya yang mengesalkan itu.

Tetiba di tengah rasa kesal itu seisi sekolah bersorak dengan riuhnya, Reva dan Lara baru menyadari apa yang terjadi begitu tampak para pemain basket berbondong-bongdong memasuki lapangan basket terbuka ini.

Kedua regu saling berhadapan, kemudian menyebar menuju posisi masing-masing dan bersiap, sementara ketua tim dari kedua regu masih di posisi depan dan seorang wasit sedang menentukan regu mana yang akan menguasai bola lebih dulu. Aura menegangkan kuat terpancar dari pandangan para ketua, serentak meningkatkan adrenalin semua orang di sana.

Rumor-rumor tentang pertangdingan yang akan berlangsung merebak dari sepetak lahan duduk ke sepetak lahan duduk lainnya, para penonton itu ramai membicarakan sebuah kabar jumlah kemenangan yang diperoleh  selalu seimbang antara kedua rival berat ini.

“Di mana Tobias?” Tanya Reva yang tidak begitu mementingkan rumor yang sedang memanas tersebut, matanya dengan jeli mencari sosok Tobias di antara lima orang lainnya di lapangan.

“Itu, di bagian kanan depan,” Lara menunjuk arah di mana Tobias sedang bersiap, dari posisinya sepertinya lelaki idaman itu mengambil peran sebagai penyerang.

“Kenapa bukan dia yang jadi ketuanya? Apa kemampuan bermain basketnya masih kurang?”

“Bukan begitu, untuk menjadi ketua selain mempunyai skill yang mumpuni, juga mampu mengkoordinasi semua regu, dia yang bertugas menjaga kekompakkan semua anggota dan melancarkan strategi yang sudah dibuat. Tobias yang tukang pamer itu mana bisa menjaga regunya, yang ada dia justru akan tebar pesona sana-sini.”

“Oh...” Reva angguk-angguk, dalam hati dia merasakan kejanggalan sebab selama ini Lara selalu mencoba menjodohkan ia dengan Tobias, tapi kenapa kini gadis ini terdengar kesal pada lelaki itu?

Suara peluit panjang menandakan dimulainnya pertandingan pertama bola basket antar kota, kedua tim mulai saling bergerak, terutama si tuan rumah yang terpilih sebagai penguasa bola. Tiga pemain dengan beraninya bergerak serentak ke hadapan musuh mereka, dua dari tiga pemain sebelumnya maju ke titik-titik tertentu.

Pemain pertama tersudut sebab terdapat tiga orang yang menjaganya. Tanpa buang waktu pemain pertama melakukan passing pada kawan terdekatnya, dan pemain tersebut sedikit berkelit di antara musuh-musuh menuju ring lawan, namun sebelum pemain ini mencetak gol ia justru melakukan passing pada kawan seorang lagi yang sedari tadi tidak diperhatikan, dan kawan ini yang sudah berdiri di dekat ring lawan dengan mudahnya berhasil mencetak dua point.

Suara kekecewaan terdengar dari penonton tim basket sekolah Tobias, dan pelatih dari kedua tim tak kalah bersuara kencang untuk menyusun strategi di lapangan sesuai kondisi yang ada.

Kemudian Tobias berhasil merebut basket ketika kedua lawannya sedang passing, lelaki remaja ini segera menuju ring basket, dengan kelincahan tubuhnya dia menghindari musuh yang menghadang. Di luar lingkar pertama Tobias melompat untuk shooting dan...

Waktu seolah berhenti berputar, dengan perasaan berdebar semua orang menantikan hasil akhir dari tembakan Tobias, namun yang terjadi selanjutnya lelaki remaja ini justru jatuh ke lantai lapangan dengan keras karena seorang lawan menubrukkan tubuhnya untuk menghentikan Tobias melakukan shooting.

Sontak kejadian itu menimbulkan kemarahan dari pihak sekolah Tobias, bahkan salah satu teman seregu Tobias memberikan tinju kepada si pelaku dan menimbulkan kericuhan di lapangan, sementara Tobias sendiri hanya meringkuk sambil memegangi bahu dan mengerang kesakitan.

Mengabaikan kericuhan yang sedang terjadi, dua orang penandu masuk ke lapangan dan membawa Tobias pergi dari sana.

“Ayo Reva, kita harus pergi juga,” Lara segera bangkit mendapati dua penandu itu, dia menarik tangan Reva yang masih duduk dengan kebingungan.

“Pergi kemana?” Reva belum akan bangkit sebelum mendapat kepastian.

“Ke ruang UKS, ayo,” kini Lara menarik pakaa tangan kawannya, dan keduanya berjalan cepat menyusul penandu.

Sesampainya kedua gadis ini di tujuan, mereka melihat Tobias yang sedang berpindah dari tandu ke dipan, karena lelaki remaja ini hanya mengalami cedera di bahunya maka dia masih bisa berjalan sendiri. Lara dan Reva langsung menerobos masuk dan berdiri tak jauh dari dipan, tampak seorang perawat wanita cantik sedang membantu Tobias melepas baju.

“Bagaimana kondisinya, kak?” Lara bertanya meski dia sudah melihat sendiri kondisinya.

“Bahu kanannya bergeser, dan kemungkinan besar dia tidak bisa melanjutkan pertandingan,” perawat itu menjelaskan sambil menatap jeri bahu pasiennya, “aku bukannya lebih percaya pengobatan alternatif tapi bahumu ini memang harus diurut.”

“Mungkin untuk sementara waktu kita bisa mengompresnya dulu dengan es batu,” Lara berkesimpulan, kemudian dia menatap Reva yang berada di sampingnya, “coba kau carikan es batu di sekolah ini.”

“Baiklah,” Reva mengangguk dan langsung meninggalkan UKS.

“Kau sendiri, bisa bantu aku?” Tobias berkata begitu pada Lara dan membuat heran perawat cantik yang masih memeriksa bahunya.

Lara memutar bola matanya kemudian dia mejentikkan jari di depan wajah perawat dan berkata, “tugasmu sudah selesai, kau bisa duduk saja dan tak perlu meakukan apapun.”

Tanpa bantahan si perawat beranjak dari tempatnya dan duduk di kursi tunggu, sementara Lara mengaduk-aduk ranselnya, tampak sedang mencari sesuatu di sana.

Tobias hanya bisa menunggu Lara sambil menahan nyeri sampai akhirnya gadis itu mengeluarkan sebuah benda dari ranselnya, sesuatu yang tidak terduga.

“Astaga, aku memintamu untuk menyembuhkanku, bukannya menandaniku dengan bando itu,” Tobias berkata dengan cukup keras, dia geleng-geleng kepala melihat bando hitam di tangan rekan kerjanya itu.

Mendapati perkataan Tobias yang asal bicara, Lara menatap tajam lelaki menyebalkan itu, “kau pikir aku bodoh? Kemarikan tanganmu,” Lara berkata begitu sambil menarik tangan kanan Tobias, dan sontak saja rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh tangan Tobias.

“Aku bisa terbunuh olehmu Lara!”

“Berisik!” Lara segera memasangkan benda yang Tobias kira bando itu ke bahu yang bergeser, secepat detik kemudian dia merentangkan sisi-sisinya. Selanjutnya sebuah cahya lembut terpancar dari ‘bando’ tersebut.

“Apa ini?” Tanya Tobias yang baru menyadari kalau benda yang dia sebut bando itu berguna untuk hal lain.

“Ini alat ciptaanku, fungsinya mengembalikan jaringan yang rusak dengan memberikan sinar serupa matahari, kandungan vitamin D sangat diperlukan tulang untuk membentuk kembali jaringan baru, tapi alat ini juga bisa untuk mengobati goresan kecil,” Lara bersedekap saat menjelaskan hal itu. “Bagaimana, ‘bando’-ku itu sangat berguna ‘kan?”

“Ya, jika kau tidak dengan seenaknya menarik tangan pasienmu, semua orang akan senang,” Tobias sedikit merasa tenang, namun kemudian rasa sakit yang luar biasa justru datang kemudian saat alat penyembuh itu benar-benar bekerja, suara derak tulang terdengar dari bahunya yang bergeser itu.

Melihat Tobias yang tersiksa, Lara justru tertawa puas seperti seorang psikopat, namun dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena memang seperti itu cara kerja dari alat yang diciptakannya.

“Kupikir misi ini akan mudah,” Tobias berkata dengan pandangan mengawang ke langit-langit ruang UKS, “tapi ternyata aku masih saja harus merasakan sakit seperti ini.”

“Jangan manja!” Lara memukul bahu Tobias itu tanpa dosa, sementara Tobias sendiri hanya bisa mengerang tanpa bisa melawan “hanya segini saja kau sudah mengeluh, apa kata Sang Pemimpin nanti kalau aku melaporkanmu?”

“Hei, jangan asal bertindak! Kau mau mendapat masalah dari melaporkan hal tidak penting?”

“Ya ya ya, aku sudah tidak menyukai misi ini sejak tahu kau adalah rekanku, jadi kau cukup turuti saja apa kataku dan bertindak sesuai perintah itu.”

“Siapa yang menentukan pemimpin di tim ini? Kita hanya berdua.”

Lara tidak terima Tobias berkata begitu, mereka berdua saling menatap tajam seolah mereka adalah musuh dan bukannya rekan.

“Apa ini karena kau berpikir punya ide yang lebih baik untuk mendekati Reva?” Lara menyipitkan matanya namun tak melepas pandangannya dari mata Tobias.

“Akan aku beritahu nanti, kau pastikan saja incaranku itu tidak didekati oleh pria lain.” Tobias sedikit melunak di kata-katanya, namun tidak di pandangan matanya.

Namun yang tidak mereka berdua ketahui adalah Reva yang sudah kembali dari kantin dengan sekantung es batu di tangannya, gadis berambut merah itu bersembunyi di balik tirai sambil menguping pembicaraan Lara dan Tobias yang sangat tidak masuk akal baginya, kini rasa heran dan ragu menyelimuti hatinya, dia kebingungan antara sengaja tampil ke depan kawan-kawannya dengan wajah polos atau menghilang saja dari sekolah itu.

“Mengincarku? Untuk apa?”

Related chapters

  • SATAPUSPI   Bab 7: Tobias

    Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh

    Last Updated : 2021-07-25
  • SATAPUSPI   Bab8: Mata Itu

    Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje

    Last Updated : 2021-07-25
  • SATAPUSPI   Bab 9: Tanya

    Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke

    Last Updated : 2021-07-30
  • SATAPUSPI   Bab 10: God Slayer

    Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be

    Last Updated : 2021-07-30
  • SATAPUSPI   Bab 11: Serupa Wajah

    Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah

    Last Updated : 2021-08-06
  • SATAPUSPI   Bab 12: Gundah

    "Kami pulang," ujar Reva di pintu, dia melangkah ke salah satu kursi di ruang tamu itu dan melepas sepatu."Hallo sayang," sang Mamah datang dari dalam rumah dan menyambut kedatangan putri semata wayangnya tersebut, celemek sudah tampak kotor di tubuhnya, "kau datang bersama siapa?""Ya siapa lagi Mah," Reva melirik ke arah pintu di saat seseorang itu masuk dengan menenteng sepatu."Samprazan Mah," teman Reva tersebut mengecup punggung tangan Mamah dengan lembut."Rhampiaza Lara," Mamah membalas dengan ramah, bahkan dia sempat membelai belakang rambut gadis itu kala dicium punggung tangannya. "Ayo masuk, bahan kue sudah menunggu."Lara terkikik pelan dan segera mengekori langkah Mamah menuju dapur, sementara Reva berjalan seorang diri ke kamarnya yang berada di loteng. Dalam kepala ia disibukkan dengan ungkapan salam yang dipakai oleh keduanya."Samprazan, Rhampiaza. Bahasa dari planet mana itu?" Reva hanya bisa geleng-geleng jadinya.

    Last Updated : 2021-08-07
  • SATAPUSPI   Bab 13: Lama

    "Ingat ya, besok sudah ada di sini sebelum jam empat sore," Mamah mengingatkan Lara, keduanya sedang berpisah di pintu."Iya Mah," Lara membalas dan baru bangkit setelah mengenakan sepatu, seragam putih abu-abunya sedikit lecek oleh tepung dan cipratan kocokan telur, "asal aku tidak dijahili seperti tadi, aku pasti akan datang sedari pagi."Mamah terkikik pelan, dan setelah Lara keluar dari gerbang ia menutup pintu dan menguncinya. Mamah berjalan menuju dapur berniat untuk membantu Reva, namun tampaknya itu tidak perlu.Reva sudah membereskan semua alat masak dengan rapi, juga kue-kue tadi sudah ia bungkus dan disimpan dalam refrigerator. Kini kerja dari gadis itu terbilang lebih cepat dari biasanya. Yah, dia bekerja keras sebab rasa cemburunya pada Lara, gadis yang bisa melakukan segalanya. Sedangkan dirinya?Mamah tersenyum miris menyadari rasa itu menguar kuat dari dalam tubuh anaknya, kekesalan d

    Last Updated : 2021-08-11
  • SATAPUSPI   Khendah Eka: Bab 1 Reva

    Semilir angin dingin dari AC seolah turut andil membekukan waktu di hari yang mulai merangkak tua. Reva terduduk di bangkunya, menghela nafas panjang dan menatap bosan ke pemandangan di luar jendela yang menggodanya untuk memberontak, keluar dari sana dan bebas. Namun tetap dia urungkan sekuat apapun keinginan tersebut.Di sisi lain kelas juga serupa, beberapa siswa sudah mendengkur di bangku bagian belakang, dan yang lain diam-diam memainkan gawai di kolong meja mereka. Terkecuali gadis yang duduk sebangku dengan Reva, dia masih setia memasang telinga untuk mendengar ocehan guru di depan kelas, sesekali kepalanya ikut angguk-angguk mengikuti akhir perkataan sang guru.Mendapati kawannya yang begitu fokus pada pelajaran membosankan ini, Reva hanya bisa kembali menghela nafas panjang, di lembaran buku tulis bagian belakang gadis itu asal mencoretkan isi tinta pulpennya ke sana, menggambar sebentuk rupa dari wajah entah siapa. Kegiatan tersebut membuatnya hanyut dan melu

    Last Updated : 2021-07-07

Latest chapter

  • SATAPUSPI   Bab 13: Lama

    "Ingat ya, besok sudah ada di sini sebelum jam empat sore," Mamah mengingatkan Lara, keduanya sedang berpisah di pintu."Iya Mah," Lara membalas dan baru bangkit setelah mengenakan sepatu, seragam putih abu-abunya sedikit lecek oleh tepung dan cipratan kocokan telur, "asal aku tidak dijahili seperti tadi, aku pasti akan datang sedari pagi."Mamah terkikik pelan, dan setelah Lara keluar dari gerbang ia menutup pintu dan menguncinya. Mamah berjalan menuju dapur berniat untuk membantu Reva, namun tampaknya itu tidak perlu.Reva sudah membereskan semua alat masak dengan rapi, juga kue-kue tadi sudah ia bungkus dan disimpan dalam refrigerator. Kini kerja dari gadis itu terbilang lebih cepat dari biasanya. Yah, dia bekerja keras sebab rasa cemburunya pada Lara, gadis yang bisa melakukan segalanya. Sedangkan dirinya?Mamah tersenyum miris menyadari rasa itu menguar kuat dari dalam tubuh anaknya, kekesalan d

  • SATAPUSPI   Bab 12: Gundah

    "Kami pulang," ujar Reva di pintu, dia melangkah ke salah satu kursi di ruang tamu itu dan melepas sepatu."Hallo sayang," sang Mamah datang dari dalam rumah dan menyambut kedatangan putri semata wayangnya tersebut, celemek sudah tampak kotor di tubuhnya, "kau datang bersama siapa?""Ya siapa lagi Mah," Reva melirik ke arah pintu di saat seseorang itu masuk dengan menenteng sepatu."Samprazan Mah," teman Reva tersebut mengecup punggung tangan Mamah dengan lembut."Rhampiaza Lara," Mamah membalas dengan ramah, bahkan dia sempat membelai belakang rambut gadis itu kala dicium punggung tangannya. "Ayo masuk, bahan kue sudah menunggu."Lara terkikik pelan dan segera mengekori langkah Mamah menuju dapur, sementara Reva berjalan seorang diri ke kamarnya yang berada di loteng. Dalam kepala ia disibukkan dengan ungkapan salam yang dipakai oleh keduanya."Samprazan, Rhampiaza. Bahasa dari planet mana itu?" Reva hanya bisa geleng-geleng jadinya.

  • SATAPUSPI   Bab 11: Serupa Wajah

    Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah

  • SATAPUSPI   Bab 10: God Slayer

    Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be

  • SATAPUSPI   Bab 9: Tanya

    Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke

  • SATAPUSPI   Bab8: Mata Itu

    Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje

  • SATAPUSPI   Bab 7: Tobias

    Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh

  • SATAPUSPI   Bab 6: Di Pertandingan Basket

    “Kita duduk di sini saja Va.”“Iya.”Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang mas

  • SATAPUSPI   Bab 5: Memulai

    Kelopak mata Reva membuka perlahan, cahaya yang awalnya menyilaukan turut memudar seiring terbentuknya sebuah siluet di depan pandangannya, siluet itu membentuk sosok lelaki tampan dengan iris hijau zambrut di matanya, wajah itu tak pernah Reva lihat di manapun, namun wajah itu tak terasa asing baginya.Suara-suara kini mulai terdengar oleh telinganya. Suara tangisan, ledakan dan teriakan silih berganti memasuki gendang telinga meski hanya sayup-sayup, namun ada satu suara lembut yang terdengar jelas, sebuah suara dari seseorang yang dengan lembut memanggil namanya.Reva?Hei, bangun Reva.Revalian!Seketika Reva tersadar begitu nama lengkapnya disebut, siluet sosok lelaki bermata hijau zambrut yang ia lihat sebelumnya berganti menjadi wajah Tobias, lelaki remaja itu tampak mendekati dipan dengan kelegaan yang tampak jelas di wajahnya.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” Tobias menyambut baik hal tersebut, “apa kau masih

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status