Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.
Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.
Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.
Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh dan langsung menemukan tatapan mata anaknya, rupa sang buah hati yang seperti duplikat suaminya membuat hati nyeri oleh rasa rindu, kadang kali membuatnya lupa diri.
“Ma’at...”
“Jangan khawatir soal aku Bunda, aku tidak suka melihat wajah sedihmu,” lelaki remaja ini langsung mengutarakan isi hatinya, “lagipula misi kali ini tidak begitu sulit, aku tidak perlu melawan monster seperti di misi-misi sebelumnya.”
Bunda menghela nafas dan lekat menatap mata anaknya. “Tak peduli kau akan berperang atau hanya mengerjakan pekerjaan rumah, hati seorang ibu akan selalu mengkhawatirkan anaknya. Apa aku salah?”
“Tidak, tapi aku tidak punya pilihan lain selain mengemban misi ini, dengan begitu mereka akan mengembalikan Ayah pada kita.”
“Sudah 106 misi, dan ini misimu yang ke 107, tapi mereka tidak pernah mengembalikan Ayahmu! Mungkin sebaiknya kita pindah ke dimensi lain, dengan nama baru dan kita mulai kehidupan baru. Aku sudah memikirkan...”
“Bunda!”
Kesunyian mengambil alih suasana, membuat kecemasan keduanya sirna dan berganti ke rasa heran, ibu dan anak itu tertegun tanpa melepas tatapan mata.
“Kita tidak perlu melakukan ini lagi, aku sudah lelah,” si anak tampak memohon, “aku sangat suka di sini, kita memang tidak menjadi apa-apa tapi itulah yang kumau, itulah yang kita butuhkan.”
“Baiklah,” Bunda tanpa sengaja meneteskan air matanya, dia tidak pernah mau terlihat lemah di hadapan anaknya, namun kali ini pertahanannya runtuh. “Kau benar, aku hanya terlalu khawatir.”
“Kau tahu aku menyayangimu juga ‘kan, Bunda?” Si lelaki remaja tersenyum kemudian menarik tubuh Bunda ke dalam pelukannya, dan Bunda membalas pelukan itu.
Rasa nyeri akibat rindu pada sang suami yang bersemanyam di hati Bunda kini berganti menjadi rasa kasih yang luar biasa besar pada buah hatinya, dia melepas pelukannya dan menatap lelaki remaja itu dengan pandangan tercerahkan.
“Berhati-hatilah, Ma’at.”
“Iya, pasti...” Si lelaki remaja membalas dengan nada menggantung di akhir, dia sudah lama pansaran akan satu hal namun tak pernah ada niatan untuk bertanya, sebelum saat ini. “Aku tidak pernah paham mengapa Bunda memberiku nama Ma’at, padahal aku hanyalah seorang pengendali kegelapan.”
“Apa kau tahu, semakin jelaga suatu bayangan, maka semakin terang cahaya yang menciptakannya?”
Jawaban Bunda yang bagai teka-teki itu membuatnya tertegun, dia coba mencocokan hal tersebut dengan kemampuannya, tapi sebelum si lelaki remaja mendapat jawaban sebuah getar dari alat komunikasi di belakang daun telinganya menyadarkan lamunan itu.
“Ah iya, Aku lupa aku harus keluar malam ini,” lelaki remaja itu mencium kening Bunda sebelum beranjak, kemudian dia mengenakan sepatu di pintu depan dan masuk ke dalam kegelapan. Tak sampai dua detik tubuhnya sudah berada di samping Lara, di sebuah gang sempit yang berada dekat dengan toko bahan kue.
“Lama sekali kau, Tobias,” Lara mendelik kesal, dia sudah merasa lelah setelah seharian mengawasi gadis incaran mereka.
“Maafkan aku, aku harus menenangkan Bundaku dulu,” balas Tobias yang sudah siap di tempatnya.
Kali ini Lara tidak lagi meluapkan emosinya, dia memaklumi alasan Tobias sebab ibunya pun selalu menyuruhnya berhenti dari misi ini. “Ya sudah, berhubung kau sudah ada di sini, aku mau pu...”
Belum usai ucapan Lara, Tobias tetiba menarik tubuh gadis itu ke pelukannya dan dia menggunakan kamuflase untuk memudar dari sana. Lara yang awalnya hendak memprotes mengurungkan niatan itu ketika melihat Reva baru saja usai dari kegiatannya membeli bahan kue.
Sang incaran melewat dan masuk ke gang tempat keduanya berada, Tobias baru melepaskan pelukannya setelah Reva berlalu cukup jauh dari mereka.
“Lain kali kau tinggal berkata padaku, bukannya sembarangan memelukku!” Lara berkata begitu dengan nada sengit, tatapan tajam ia tusukkan pada lelaki remaja di hadapannya itu, namun ia tertegun kala menemukan bagaimana cara Tobias memandangnya.
‘Apa aku harus mengatakannya sekarang?’ Tobias sendiri terpaku pada pikirannya, sudah lama dia ingin mengatakan satu kebenaran yang dia pendam seorang selama ini. ‘Apa ini waktu yang tepat?’
Kini keduanya hanya saling bungkam, sama-sama merasa bingung dengan perasaan masing-masing. Tobias baru hendak membuka mulutnya dan menyatakan apa yang ada di pikirannya ketika tetiba terdengar suara teriakan wanita tak jauh dari tempat mereka berdiri. Keduanya bergegas ke sumber suara dan mendapati gadis incaran mereka sedang dalam bahaya.
“Astaga! Tobias hendak menolong Reva namun dicegat oleh Lara, dia memelototi gadis yang mencegahnya itu dengan tatapan tidak percaya. “Apa-apaan kau ini?”
“Biarkan dia menggunakan kemampuannya.”
“Apa? Bagaimana kau bisa tahu...”
“Jangan membantah, dia tidak akan membiarkan dirinya dilecehkan.”
Tobias masih tidak mempercayai perkataan Lara, namun dia sendiri penasaran apa yang membuat gadis ini mengincar Reva yang merupakan kawan baiknya sendiri.
Di sisi Reva sendiri dia bergulat habis-habisan dengan tiga pria yang hendak berbuat jahat padanya, namun bagaimanapun kekuatan perempuan tetap tidak mengimbangi pria, gadis itu tersudut dengan perlawanan sia-sia.
Tawa jahat dari tiga pria jahat itu semakin melemahkan nyalinya untuk bertahan, Reva gemetar dan hanya bisa pasrah ketika para pria sudah menjebaknya.
Tetiba saja dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan bagi Reva, salah satu pria jahat ambruk ke tanah tanpa ada yang menyentuhnya, membawa serta keheningan diantara semua orang di situ. Yang terjadi selanjutnya sekelebat bayangan menghajar dua orang sisanya dalam sekali serang, anehnya gerakannya sungguh tak terbaca, seolah sekelebat itu hanyalah angin lalu.
Kini Reva hanya bisa tercengang, dia tidak begitu memahami apa yang terjadi, sampai sang pahlawan mendekat padanya dan memberinya uluran tangan.
“Kau tak apa-apa, Reva?”
“Kau...” Reva sendiri masih kebingungan dengan sosok di depannya tersebut, keadaan sekitarnya yang terlalu temaram membuat pandangannya sedikit tidak jelas, namun dia mengenal suara dari sosok tersebut. “Apa kau Tobias?”
“Cepat, kita harus pergi dari sini,” Tobias langsung menarik Reva keluar dari gang tersebut dan membawanya ke tempat terang.
Di sepanjang perjalanan Tobias mengantar Reva pulang, keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing. Reva masih ragu untuk bercakap dengan Tobias sejak pertandingan basket sehari lalu, walau dia berpura-pura tidak tahu dan memasang wajah polos kala itu, tetap saja hatinya merasa janggal. Di sisi lain Tobias tak henti menggerutu dalam hatinya, dia kesal pada rekannya yang tidak memperdulikan kondisi dari buruan mereka, gadis itu benar-benar seorang psikopat.
“Yap, sudah sampai,” Tobias berhasil mengantar Reva ke rumahnya dengan selamat, mereka agak terdiam di depan pagar dan saling lirik sesekali.
“Apa kau mau minum dulu?” Tawar Reva sekedar basa-basi, padahal sebenarnya dia ingin segera enyah dari hadapan lelaki itu.
“Tidak, aku ada urusan mendesak jadi aku harus segera pergi,” Tobias menolak secara halus, di satu sisi dia menyadari kecanggungan dalam diri Reva padanya.
“Terima kasih sudah menyelamatkanku,” Reva tersenyum tulus dan mulai berjalan ke rumahnya, dia sempatkan melambai tangan pada Tobias di pintu sebelum ia menutup pintu itu.
Tobias bernafas lega, di saat itu juga Lara turun dari atas pohon dengan menjatuhkan diri, rekannya tersebut dapat mendarat dengan dua kakinya seolah dia memiliki kelincahan seperti seekor kucing.
“Aku tidak peduli, tidak ada ketua dalam tim ini, paham!?” Langsung saja Tobias mencecar Lara sebab masih dikuasai emosi, bahkan dia tidak mau menatap rekannya tersebut.
“Aku hanya ingin memastikan saja,” Lara sendiri membalas dengan sikap tak acuh seolah dia tidak membuat kesalahan.
“Kita sudahi saja hari ini,” Tobias tak mau mendengar apapun lagi dan beranjak meninggalkan Lara di tempatnya.
Lara sedikit menggerutu dan juga beranjak dari sana dengan mengambil jalan yang berlawanan dari Tobias.
Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje
Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke
Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be
Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah
"Kami pulang," ujar Reva di pintu, dia melangkah ke salah satu kursi di ruang tamu itu dan melepas sepatu."Hallo sayang," sang Mamah datang dari dalam rumah dan menyambut kedatangan putri semata wayangnya tersebut, celemek sudah tampak kotor di tubuhnya, "kau datang bersama siapa?""Ya siapa lagi Mah," Reva melirik ke arah pintu di saat seseorang itu masuk dengan menenteng sepatu."Samprazan Mah," teman Reva tersebut mengecup punggung tangan Mamah dengan lembut."Rhampiaza Lara," Mamah membalas dengan ramah, bahkan dia sempat membelai belakang rambut gadis itu kala dicium punggung tangannya. "Ayo masuk, bahan kue sudah menunggu."Lara terkikik pelan dan segera mengekori langkah Mamah menuju dapur, sementara Reva berjalan seorang diri ke kamarnya yang berada di loteng. Dalam kepala ia disibukkan dengan ungkapan salam yang dipakai oleh keduanya."Samprazan, Rhampiaza. Bahasa dari planet mana itu?" Reva hanya bisa geleng-geleng jadinya.
"Ingat ya, besok sudah ada di sini sebelum jam empat sore," Mamah mengingatkan Lara, keduanya sedang berpisah di pintu."Iya Mah," Lara membalas dan baru bangkit setelah mengenakan sepatu, seragam putih abu-abunya sedikit lecek oleh tepung dan cipratan kocokan telur, "asal aku tidak dijahili seperti tadi, aku pasti akan datang sedari pagi."Mamah terkikik pelan, dan setelah Lara keluar dari gerbang ia menutup pintu dan menguncinya. Mamah berjalan menuju dapur berniat untuk membantu Reva, namun tampaknya itu tidak perlu.Reva sudah membereskan semua alat masak dengan rapi, juga kue-kue tadi sudah ia bungkus dan disimpan dalam refrigerator. Kini kerja dari gadis itu terbilang lebih cepat dari biasanya. Yah, dia bekerja keras sebab rasa cemburunya pada Lara, gadis yang bisa melakukan segalanya. Sedangkan dirinya?Mamah tersenyum miris menyadari rasa itu menguar kuat dari dalam tubuh anaknya, kekesalan d
Semilir angin dingin dari AC seolah turut andil membekukan waktu di hari yang mulai merangkak tua. Reva terduduk di bangkunya, menghela nafas panjang dan menatap bosan ke pemandangan di luar jendela yang menggodanya untuk memberontak, keluar dari sana dan bebas. Namun tetap dia urungkan sekuat apapun keinginan tersebut.Di sisi lain kelas juga serupa, beberapa siswa sudah mendengkur di bangku bagian belakang, dan yang lain diam-diam memainkan gawai di kolong meja mereka. Terkecuali gadis yang duduk sebangku dengan Reva, dia masih setia memasang telinga untuk mendengar ocehan guru di depan kelas, sesekali kepalanya ikut angguk-angguk mengikuti akhir perkataan sang guru.Mendapati kawannya yang begitu fokus pada pelajaran membosankan ini, Reva hanya bisa kembali menghela nafas panjang, di lembaran buku tulis bagian belakang gadis itu asal mencoretkan isi tinta pulpennya ke sana, menggambar sebentuk rupa dari wajah entah siapa. Kegiatan tersebut membuatnya hanyut dan melu
Reva membaringkan tubuhnya ke atas ranjang tanpa mengganti dulu baju seragam dengan baju rumah, gadis ini bernafas lega tiap kali berhasil terbebas dari Tobias dan ketampanannya.Suasana rumah yang selalu sepi berhasil membawa ketenangan untuk Reva, dia tetap bergeming di sana membiarkan rasa tenang itu semakin merasuk ke dalam tubuhnya hingga membuat kantuk menguasai, namun sebelum rasa itu membuatnya terlena, sebuah dering panggilan masuk berbunyi dan merusak harmoni indah yang bernama kesunyian.Dengan malas Reva meraih gawai dan menerima panggilan tersebut tanpa melihat panggilan dari siapa itu, sebab dia sudah tahu dari siapa.“Hallo sayang?” Suara di ujung sana terdengar lebih dulu.“Ya Mah,” Reva membalas dengan nada lambat, matanya pun masih menutup.“Sudah pulang?”“Ya Mah.”“Mamah sudah simpan ayam di kulkas, nanti goreng sendiri saja ya, tidak perlu menunggu Mamah.&rdquo
"Ingat ya, besok sudah ada di sini sebelum jam empat sore," Mamah mengingatkan Lara, keduanya sedang berpisah di pintu."Iya Mah," Lara membalas dan baru bangkit setelah mengenakan sepatu, seragam putih abu-abunya sedikit lecek oleh tepung dan cipratan kocokan telur, "asal aku tidak dijahili seperti tadi, aku pasti akan datang sedari pagi."Mamah terkikik pelan, dan setelah Lara keluar dari gerbang ia menutup pintu dan menguncinya. Mamah berjalan menuju dapur berniat untuk membantu Reva, namun tampaknya itu tidak perlu.Reva sudah membereskan semua alat masak dengan rapi, juga kue-kue tadi sudah ia bungkus dan disimpan dalam refrigerator. Kini kerja dari gadis itu terbilang lebih cepat dari biasanya. Yah, dia bekerja keras sebab rasa cemburunya pada Lara, gadis yang bisa melakukan segalanya. Sedangkan dirinya?Mamah tersenyum miris menyadari rasa itu menguar kuat dari dalam tubuh anaknya, kekesalan d
"Kami pulang," ujar Reva di pintu, dia melangkah ke salah satu kursi di ruang tamu itu dan melepas sepatu."Hallo sayang," sang Mamah datang dari dalam rumah dan menyambut kedatangan putri semata wayangnya tersebut, celemek sudah tampak kotor di tubuhnya, "kau datang bersama siapa?""Ya siapa lagi Mah," Reva melirik ke arah pintu di saat seseorang itu masuk dengan menenteng sepatu."Samprazan Mah," teman Reva tersebut mengecup punggung tangan Mamah dengan lembut."Rhampiaza Lara," Mamah membalas dengan ramah, bahkan dia sempat membelai belakang rambut gadis itu kala dicium punggung tangannya. "Ayo masuk, bahan kue sudah menunggu."Lara terkikik pelan dan segera mengekori langkah Mamah menuju dapur, sementara Reva berjalan seorang diri ke kamarnya yang berada di loteng. Dalam kepala ia disibukkan dengan ungkapan salam yang dipakai oleh keduanya."Samprazan, Rhampiaza. Bahasa dari planet mana itu?" Reva hanya bisa geleng-geleng jadinya.
Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah
Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be
Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke
Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh
“Kita duduk di sini saja Va.”“Iya.”Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang mas
Kelopak mata Reva membuka perlahan, cahaya yang awalnya menyilaukan turut memudar seiring terbentuknya sebuah siluet di depan pandangannya, siluet itu membentuk sosok lelaki tampan dengan iris hijau zambrut di matanya, wajah itu tak pernah Reva lihat di manapun, namun wajah itu tak terasa asing baginya.Suara-suara kini mulai terdengar oleh telinganya. Suara tangisan, ledakan dan teriakan silih berganti memasuki gendang telinga meski hanya sayup-sayup, namun ada satu suara lembut yang terdengar jelas, sebuah suara dari seseorang yang dengan lembut memanggil namanya.Reva?Hei, bangun Reva.Revalian!Seketika Reva tersadar begitu nama lengkapnya disebut, siluet sosok lelaki bermata hijau zambrut yang ia lihat sebelumnya berganti menjadi wajah Tobias, lelaki remaja itu tampak mendekati dipan dengan kelegaan yang tampak jelas di wajahnya.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” Tobias menyambut baik hal tersebut, “apa kau masih