Reva berjalan melewati pagar dan mengetuk pintu rumah, beberapa saat kemudian terdengar suara dari dalam dibarengi dengan pintu yang terbuka.
“Eh non Reva,” seorang wanita berusia 30-an menyambut dengan ramah, bajunya yang kumuh tak mampu menghilangkan kecantikan di wajahnya, “mari masuk.”
“Bu, aku ‘kan sudah bilang untuk tidak memanggilku dengan sebutan Non,” Reva memprotes, namun dia tetap tak lupa untuk mencium tangan wanita di depannya.
“Iya, Ibu lupa, kebiasaan.” Ibu tertawa kecil, “mau minum apa?’
“Tidak perlu Bu, nanti akan kuambil sendiri. Di mana Lara?”
“Lara sedang ada di kamarnya, masuk saja.”
“Terima kasih Bu.”
Tanpa basa-basi lagi Reva berjalan menuju kamar orang yang dituju. Rumah ini selain tampak sederhana dari luar, juga minimalis di dalamnya, tak ada banyak ruang dan kelokan seperti rumah milik Reva, gadis ini pun tak perlu berjalan terlalu jauh, cukup sedikit berbelok ke kanan maka kamar kawannya akan terkemukan, sementara dapur dan kamar Ibu berada di sisi lain rumah.
Gordin yang dijadikan pintu untuk kamar Lara Reva sibak, kemudian ia menemukan kawannya yang sedang sibuk menghitung dan menulis.
“Hei, kau sudah mulai tanpaku?” Reva mendekati meja belajar kawannya yang berupa meja lipat kecil dan melihat apa yang sedang ia kerjakan.
“Kau ‘kan tahu pekerjaan rumah tidak hanya kudapatkan dari sekolah,” sekilas Lara menengok ke arah kawannya dan kembali menulis, “tunggulah sebentar lagi, aku hampir selesai mengerjakan satu soal ini.”
“Ya, lagipula aku ingin meregangkan otot kakiku dulu,” segera Reva menaruh ransel di atas lantai dan merebahkan tubuhnya ke kasur kapuk yang berada di pojok ruangan, begitu tubuhnya sampai di sana, sensasi hangat dan bau matahari langsung terasa. “Apa kau baru menjemur kasur ini?”
“Tidak baru saja, aku menjemur sebelum berangkat sekolah, kuangkat dan kurapikan setelah pulang les. Dan kini kasurku sudah berantakan lagi olehmu.”
“Maaf, he he he. Lanjutkanlah pekerjaan rumahmu.”
Lara tidak membalas, tidak jua menengok ke belakang, tapi dia justru menumpuk buku-buku dari rak buku usang dan mengambil satu meja lipat lain.
“Ayo bangun, sebelum kasurku makin tidak karuan sebab kau,” Lara berkata begitu sambil menyodorkan meja lipat lain bergambar Putri Aurora yang serba merah muda. Reva nyengir kemudian bangkit dan menerima meja lipat tersebut.
Keberadaan Lara sudah seperti saudara kandung bagi Reva, mereka sudah berkawan sejak keduanya berada di bangku Sekolah Menengah Pertama dan hingga kini keduanya tidak terpisahkan. Meski Lara bukanlah orang yang bisa disandingkan dengan Reva dalam hal finansial, gadis ini memiliki sifat ramah yang dapat membuat semua orang disekitarnya nyaman, jauh sekali dengan Reva yang introvert dan pemalu.
Namun terkadang ada saja hal yang membuat Reva jengah pada Lara.
“Aku heran, mengapa kau selalu berusaha menghindari Tobias?” Tanya Lara disela kegiatan mereka mengisi soal pekerjaan rumah, matanya coba menelisik raut di wajah Reva, tampak gadis itu merasa malas dengan menghela nafas panjang.
“Bagaimana ya, aku sendiri tidak yakin,” jawab Reva masih dengan ekspresi yang sama, “entah mengapa aku tiba-tiba merasa malas saja tiap kali bertemu dengannya.”
“Tapi bukankah dia tampan? Wajahnya tidak membuat orang bosan.”
“Iya sih, tapi aku selalu merasa janggal dengan matanya.”
“Matanya? Ada apa dengan matanya?’
“Entahlah, seperti ada pusaran yang selalu menarikku ke sana.”
“Hmm, matanya ya,” Lara termenung mencoba mendapat arti dari perkataan kawannya itu. ”Mungkin kau jatuh cinta padanya.”
“Tidak, bukan seperti itu, rasanya membuatku tidak nyaman.”
“Aneh kau ini, kebanyakan orang pasti akan mengejar lelaki itu.”
“Kebanyakan orang, bukan aku.”
Lara terbungkam oleh perkataan Reva, dia pun memutuskan untuk berhenti mencari tahu dan kembali mengisi soal. Tepat saat itu suara Ibu terdengar memanggil namanya, suara Ibu pun terdengar tidak begitu jauh, di satu sisi Reva merasa lega karena Lara tidak akan lagi membicarakan Tobias, hal yang selalu membuatnya jengah pada Lara.
“Hei, kamu tidak membeli camilan untuk Reva?” Wajah Ibu muncul dari balik gordin.
“Dia membawa camilan sendiri,” balas Lara sedikit menoleh pada Ibunya kemudian memandang Reva, “iya ’kan?”
“i—iya,” Reva membalas sambil mengeluarkan camilan yang dimaksud, dua bungkus besar camilan asin dari dalam ranselnya.
“Ouh,” Ibu sedikit terdiam, tampak di wajahnya dia sedang mencari topik lain untuk dibahas, “kau mau menginap kan sayang?”
“Iya Bu, kalau boleh.”
“Ya tentu, kalau begitu. Lara, bawakan kasur tambahan dari kamar depan untuk Reva.”
“Tidak perlu Bu, aku akan tidur di lantai saja, hari ini udara terasa panas sekali.”
“Tidak boleh, nanti kamu masuk angin.”
“Ya ampun Bu, Reva biasa tidur dengan udara AC di rumahnya, hanya tidur di lantai tak akan membuatnya terserang penyakit.”
“Ok deh,” Ibu menyerah, “Ibu masak dulu, nanti kalian berdua makan, jangan menolak alasan dengan takut gendut.”
“Iya Bu,” Reva membalas sambil sedikit tertawa.
Ibu membalas dengan senyuman kemudian menghilang ke balik gordin. Sementara Reva menatap heran ke arah Lara.
“Bagaimana kau tahu kalau aku membawa camilan?” Reva bertanya, namun kawannya itu hanya tersenyum sambil menunjuk kepalanya lalu tertawa. “Dasar, terus saja kau tonton anime Conan itu, menyesal juga aku bertanya,” ujar Reva selanjutnya dengan wajah malas.
Hari Kamis itu terasa semakin horror dengan diadakannya ujian matematika dadakan oleh guru, cerahnya pagi itu seolah sirna sebab suasana muram yang dipancarkan anak-anak kelas XII IPA B, terutama Reva yang sangat membenci matematika dan memasak, dia akan terserang alergi akut jika bertemu dengan keduanya.Di sisi meja lainnya ada Lara yang sangat menikmati ujian itu, dia dapat menjawab satu per satu soalan tanpa perlu menghitungnya lebih dulu di atas kertas, hingga kelima puluh soal mampu ia selesaikan dalam waktu lima belas menit saja, namun dia belum boleh beranjak dari kursinya sebab dia tak mau orang-orang menaruh curiga padanya, jadi dia tetap berdiam di situ sampai satu jam kedepan.Bagi Lara, soal ujian yang baru saja dikerjakan sudah serupa kawan sedari kecil, Lara akrab dengan matematika, fisika dan kimia sejak menginjak umur lima tahun, karena dia hanya seorang manusia biasa dia terus berusaha agar bisa menyimbangi anak-anak lain di lingkungannya dengan caran
Kelopak mata Reva membuka perlahan, cahaya yang awalnya menyilaukan turut memudar seiring terbentuknya sebuah siluet di depan pandangannya, siluet itu membentuk sosok lelaki tampan dengan iris hijau zambrut di matanya, wajah itu tak pernah Reva lihat di manapun, namun wajah itu tak terasa asing baginya.Suara-suara kini mulai terdengar oleh telinganya. Suara tangisan, ledakan dan teriakan silih berganti memasuki gendang telinga meski hanya sayup-sayup, namun ada satu suara lembut yang terdengar jelas, sebuah suara dari seseorang yang dengan lembut memanggil namanya.Reva?Hei, bangun Reva.Revalian!Seketika Reva tersadar begitu nama lengkapnya disebut, siluet sosok lelaki bermata hijau zambrut yang ia lihat sebelumnya berganti menjadi wajah Tobias, lelaki remaja itu tampak mendekati dipan dengan kelegaan yang tampak jelas di wajahnya.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” Tobias menyambut baik hal tersebut, “apa kau masih
“Kita duduk di sini saja Va.”“Iya.”Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang mas
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh
Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje
Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke
Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be
Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah
"Ingat ya, besok sudah ada di sini sebelum jam empat sore," Mamah mengingatkan Lara, keduanya sedang berpisah di pintu."Iya Mah," Lara membalas dan baru bangkit setelah mengenakan sepatu, seragam putih abu-abunya sedikit lecek oleh tepung dan cipratan kocokan telur, "asal aku tidak dijahili seperti tadi, aku pasti akan datang sedari pagi."Mamah terkikik pelan, dan setelah Lara keluar dari gerbang ia menutup pintu dan menguncinya. Mamah berjalan menuju dapur berniat untuk membantu Reva, namun tampaknya itu tidak perlu.Reva sudah membereskan semua alat masak dengan rapi, juga kue-kue tadi sudah ia bungkus dan disimpan dalam refrigerator. Kini kerja dari gadis itu terbilang lebih cepat dari biasanya. Yah, dia bekerja keras sebab rasa cemburunya pada Lara, gadis yang bisa melakukan segalanya. Sedangkan dirinya?Mamah tersenyum miris menyadari rasa itu menguar kuat dari dalam tubuh anaknya, kekesalan d
"Kami pulang," ujar Reva di pintu, dia melangkah ke salah satu kursi di ruang tamu itu dan melepas sepatu."Hallo sayang," sang Mamah datang dari dalam rumah dan menyambut kedatangan putri semata wayangnya tersebut, celemek sudah tampak kotor di tubuhnya, "kau datang bersama siapa?""Ya siapa lagi Mah," Reva melirik ke arah pintu di saat seseorang itu masuk dengan menenteng sepatu."Samprazan Mah," teman Reva tersebut mengecup punggung tangan Mamah dengan lembut."Rhampiaza Lara," Mamah membalas dengan ramah, bahkan dia sempat membelai belakang rambut gadis itu kala dicium punggung tangannya. "Ayo masuk, bahan kue sudah menunggu."Lara terkikik pelan dan segera mengekori langkah Mamah menuju dapur, sementara Reva berjalan seorang diri ke kamarnya yang berada di loteng. Dalam kepala ia disibukkan dengan ungkapan salam yang dipakai oleh keduanya."Samprazan, Rhampiaza. Bahasa dari planet mana itu?" Reva hanya bisa geleng-geleng jadinya.
Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah
Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be
Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke
Rasa kesal masih menguasai Lara walau dia sudah berada cukup jauh dari Tobias, dia kesal pada lelaki remaja itu yang tidak pernah menurut padanya dan selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, soal semacam ketua dalam tim atau memerintah. Lara selalu benci di saat ada orang sombong di dekatnya.Namun Lara pun tidak mempungkiri dirinya hampir membuat kesalahan tadi, sebab rasa penasarannya Lara nyaris membiarkan Reva dalam masalah, dan dia bersyukur juga Tobias berhasil menyelamatkan buruan mereka.Untuk mengusir rasa kesalnya Lara menyumbat kedua telinga dengan headset dan mendengarkan sebuah rancangan gelang yang dapat membuat penggunanya seperti memiliki kemampuan telekinetik, benda itu memanfaatkan sederet sensorelectromyographic(EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan. Digabungkan dengangyroscope,accelerometerdanmagnetometer, gelang itu sanggup menerje
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh
“Kita duduk di sini saja Va.”“Iya.”Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang mas
Kelopak mata Reva membuka perlahan, cahaya yang awalnya menyilaukan turut memudar seiring terbentuknya sebuah siluet di depan pandangannya, siluet itu membentuk sosok lelaki tampan dengan iris hijau zambrut di matanya, wajah itu tak pernah Reva lihat di manapun, namun wajah itu tak terasa asing baginya.Suara-suara kini mulai terdengar oleh telinganya. Suara tangisan, ledakan dan teriakan silih berganti memasuki gendang telinga meski hanya sayup-sayup, namun ada satu suara lembut yang terdengar jelas, sebuah suara dari seseorang yang dengan lembut memanggil namanya.Reva?Hei, bangun Reva.Revalian!Seketika Reva tersadar begitu nama lengkapnya disebut, siluet sosok lelaki bermata hijau zambrut yang ia lihat sebelumnya berganti menjadi wajah Tobias, lelaki remaja itu tampak mendekati dipan dengan kelegaan yang tampak jelas di wajahnya.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” Tobias menyambut baik hal tersebut, “apa kau masih