Lucca diam, mendengar suara pintu tertutup dan mengangkat ponsel Abigail di tangan. Duduk di tepi ranjang dengan kepala meneleng memperhatikan setiap inci wajah Abi kemudian mendengus setelahnya. Di bukanya ponsel Abigail, langsung menampilkan foto dua wanita cantik yang mirip sedang tersenyum lebar dan saling merangkul bahu. Dibukanya semua galeri yang ada di sana juga sosial medianya,memperhatikan satu persatu foto dan tertegun saat menemukan satu foto Abigail memakai sayap malaikat dalam suatu photoshoot yang diunggah seseorang bernama Arsen Marvello. Akun milik seorang Lelaki yang kebanyakan fotonya bersama kembaran Abigail, Shine Aurora.Arsen MarvelloAku percaya adanya malaikat saat aku melihat sosokmu. Iblis sekalipun, akan terganggu dengan kebaikan hatimu, Abigail Rosaline.Lucca menjatuhkan ponsel Abigail begitu saja hingga membentur lantai marmer dan berdiri dengan gerakan kaku. Memandang nanar Abigail seraya berusaha keras menahan sengatan emosi di dadanya. Tangannya meng
Lucca tidak sanggup berkata-kata saat mendengar namanya di ucapkan seseorang yang nampaknya tidak takut menghadapinya. Setelah mengatasi kekagetannya, Lucca tersenyum miring dan melipat lengannya di dada memandangi lekat Abigail."Baguslah kalau kau sudah sadar.""Apa yang terjadi pada Riley hingga dia seperti itu?" tembaknya langsung, masih nampak shock dengan kenyataan kalau dialah yang membunuh temannya sendiri."Demi uang, seseorang bisa melakukan apa saja termasuk menikam temannya sendiri.""Bohong!" lirihnya, air matanya mengalir. "Kenapa, kau membunuhnya?" tanya Lucca balik."Dia—” Abigail mengatupkan bibirnya, "Kenapa kau menyelamatkan lelaki yang menawanmu dalam sangkar emas. Kalau kau membiarkan dia membunuhku, aku yakin saat ini kau sudah berada di dalam pesawat menuju rumah bukannya berdiri dengan tampilan menyedihkan menangisi teman yang kau bunuh seperti itu."Lucca memperhatikan mata merah itu yang tidak berhenti mengeluarkan air mata hingga isakannya terdengar, Ditut
Bandar Udara Internasional Barajas Madrid "Kau mengambil keputusan yang tepat." Lucca tersenyum mengejek. "Setiap orang jelas lebih mementingkan hidupnya lebih dulu." "Tolong, bebaskan Dom," pinta Abigail. "Bukan kami pelakuknya." Mereka berdiri saling berhadapan di dalam ruangan private bandara untuk saling mengucapkan kalimat perpisahan. "Kau tidak bisa mengaturku harus berbuat apa untuk orangku. Aku masih tidak bisa memaafkan orang yang menghancurkan bunga mawarku begitu saja. Aku melepasmu saat ini semata-mata karena aku tidak mau memiliki hutang budi, terlebih dengan seseorang seperti dirimu." "Kenapa? Apa hal itu mengusik egomu?" Lucca terdiam. "Tidak menyangka kalau wanita sepertiku bisa melakukan hal itu." Lucca maju, menghunuskan tatapan tajamnya dengan nada peringatan yang jelas, "Sebaiknya setelah ini, kau tidak lagi muncul di hadapanku atau hidupmu tidak akan pernah mudah. Camkan itu!" Lucca menyeringai, Abigail bergeming lalu berbalik pergi menuju ke pesawat priba
Abigail memeriksa pesan dan sosial medianya yang kebanyakan dikirim oleh teman-temannya sampai dia menemukan satu pesan baru yang dikirim tidak lebih dari setengah jam yang lalu. Pesan dari seseorang yang seketika membuat dadanya sesak. Pada satu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun. Rasa sakitnya seakan menghimpit dadanya. Kepalanya yang luka bahkan mulai berdenyut. Kejadian penembakan itu murni salahnya yang panik dan tidak menyangka kalau Riley bisa menjadi seorang pembunuh meski lelaki itu memang memiliki perkerjaan di dunia hitam yang tidak jelas dia ketahui. Seharusnya Abigail menanyakan lebih dulu apa yang terjadi bukannya malah menembaknya seperti itu. Air matanya merebak lagi, menggenggam ponselnya dengan kedua tangan yang gemetar setelah membaca pesan panjang yang menyayat hatinya, dan menangis tanpa suara. Bahunya bergetar hebat, perasaan bersalah itu menyeruak dan tidak tahu harus bagaimana membalas pesan itu. Abigail mengangkat kepalanya dengan satu pemikiran yang m
Lucca mengeryit, menatapnya dengan heran, "Apa yang kau—" "Aku mohon agar kau mau menanggung biaya hidup adik perempuan dan juga ibunya Riley yang saat ini menderita." Lucca Alonzo sukses tercengang. "Adiknya membutuhkan donor agar bisa sembuh dan ibunya butuh jaminan untuk keluar dari penjara juga bimbingan dari panti rehabilitasi untuk kecanduannya terhadap minuman keras sampai sembuh dan setelah itu, tolong carikan pekerjaan untuknya agar mereka bisa melanjutkan hidup." Abigail menarik napas panjang, menatap balik mata Lucca tanpa gentar. "Sebagai gantinya, aku akan kembali ikut denganmu ke Napoli." Abigail menatap Lucca yang tidak juga bereaksi dengan permintaannya. Tahu dengan jelas apa yang dipikirkan laki-laki itu di dalam kepalanya. "Kau—" Lucca nampak tidak percaya dengan pilihan yang diambilnya. "Sadar dengan apa yang kau katakan tadi?" "Ya." "Apa yang membuatmu yakin kalau aku akan menuruti permintaanmu ini?" "Kau punya hutang budi padaku." Abigail mengingatkan. "Ja
Abigail keluar dari mobil setelah sampai di mansion dan bergegas mendekati Lucca yang sebelumnya memang berada di mobil yang berbeda dengannya sedang berjalan memasuki area rumah utama. Mereka sampai saat waktu hampir menunjukkan tengah malam."Lucca, tunggu!"Lucca berhenti, menoleh ke arahnya dengan tatapan tidak suka seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana, "Aku sudah membayar hutang budiku jadi jangan lagi kau mengungkit hal itu!""Tidak. Bukan itu!"Lucca menghadapnya, melipat lengannya di dada dan memandanginya intens. "Posisimu di sini masih tetap sama. Kau harus melayani wanita-wanita murahan yang ada di sana. Suka atau tidak suka..""Kapan kau akan membebaskan Dom?" sela Abigail, Lucca bergeming. "Dia tidak bersalah.""Jadi sekarang sisi kemanusiaanmu beralih mencemaskan dia?" tanyanya dengan suara tajam."Tidak seharusnya dia berada di sana. Aku yang membuatnya ikut menemaniku untuk melihat di mana—"Lucca maju, Abigail mengatupkan bibir, "Kenapa kau begitu yakin b
Bellatrix melepas cengkaramannya dan menamparnya dengan keras. Tidak hanya sampai di situ, rambutnya di jambak dan dia terdorong hingga terhempas di lantai membuat pandangan Abigail mengabur. Sakitnya sungguh luar biasa. "MATI SAJA SANA!!" teriak Bellatrix dengan kebencian yang nyata. "Arrgghh—" Abigail memegangi kepalanya yang berdenyut sakit, mencoba untuk bangkit dan berjalan dengan sempoyongan ke kamarnya untuk mengambil obat di bawah tawa para wanita itu tanpa ada satupun yang membantu. Dengan sisa tenaga yang dia miliki menapaki satu persatu anak tangga yang terasa jauh baginya sampai rasanya dia sudah tidak sanggup berjalan. Samar-samar di dengarnya suara terkesiap kelima wanita itu sebelum cekalannya di pegangan tangga terlepas hingga terjatuh. Jika saja tidak ada seseorang yang menangkapnya lebih dulu, dia sudah berguling dan terkapar di lantai. Kepalanya tidak main-main sakitnya. "BRENGSEK, APA YANG KALIAN LAKUKAN, HAH?!" Suara Lucca Alonzo yang menggelegar begitu deka
Abigail baru menyadari hari sudah gelap saat dia keluar dari kamar dan berdiri di depan pintu mansion pribadi Lucca."Kau tidak boleh berada di sini!" ucap Serafine yang mencegatnya."Aku ingin bertemu dengannya.""Dia sedang beristirahat.""Sebentar saja, please. Aku tidak bisa membiarkan Bellatrix berada di ruang bawah tanah seperti itu."Serafine menatapnya heran, "Dia memang pantas mendapatkannya. Kau tidak perlu terlalu besar kepala. Tuan Lucca tidak pernah suka dengan kekacauan seperti yang Bellatrix lakukan. Kebetulan saja saat Tuan datang ke sana, kejadian itu sedang terjadi.""Tapi tetap saja—" Abigail meremas tangannya sendiri. "Aku harus berbicara dengan Lucca.""Pergilah!!" Serafine mengusirnya. "Aku akan menyampaikan ke Tuan Lucca kalau kau ingin bicara nanti."Abigail terdiam sesaat lalu mengatupkan bibir dan mengangguk. "Baiklah.""Jangan terus paksakaan keberuntunganmu, Abigail. Kau bisa mendapatkan masalah nantinya. Lebih baik kau pikirkan hidupmu sendiri bukannya ter
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj