Lucca tidak sanggup berkata-kata saat mendengar namanya di ucapkan seseorang yang nampaknya tidak takut menghadapinya. Setelah mengatasi kekagetannya, Lucca tersenyum miring dan melipat lengannya di dada memandangi lekat Abigail."Baguslah kalau kau sudah sadar.""Apa yang terjadi pada Riley hingga dia seperti itu?" tembaknya langsung, masih nampak shock dengan kenyataan kalau dialah yang membunuh temannya sendiri."Demi uang, seseorang bisa melakukan apa saja termasuk menikam temannya sendiri.""Bohong!" lirihnya, air matanya mengalir. "Kenapa, kau membunuhnya?" tanya Lucca balik."Dia—” Abigail mengatupkan bibirnya, "Kenapa kau menyelamatkan lelaki yang menawanmu dalam sangkar emas. Kalau kau membiarkan dia membunuhku, aku yakin saat ini kau sudah berada di dalam pesawat menuju rumah bukannya berdiri dengan tampilan menyedihkan menangisi teman yang kau bunuh seperti itu."Lucca memperhatikan mata merah itu yang tidak berhenti mengeluarkan air mata hingga isakannya terdengar, Ditut
Bandar Udara Internasional Barajas Madrid "Kau mengambil keputusan yang tepat." Lucca tersenyum mengejek. "Setiap orang jelas lebih mementingkan hidupnya lebih dulu." "Tolong, bebaskan Dom," pinta Abigail. "Bukan kami pelakuknya." Mereka berdiri saling berhadapan di dalam ruangan private bandara untuk saling mengucapkan kalimat perpisahan. "Kau tidak bisa mengaturku harus berbuat apa untuk orangku. Aku masih tidak bisa memaafkan orang yang menghancurkan bunga mawarku begitu saja. Aku melepasmu saat ini semata-mata karena aku tidak mau memiliki hutang budi, terlebih dengan seseorang seperti dirimu." "Kenapa? Apa hal itu mengusik egomu?" Lucca terdiam. "Tidak menyangka kalau wanita sepertiku bisa melakukan hal itu." Lucca maju, menghunuskan tatapan tajamnya dengan nada peringatan yang jelas, "Sebaiknya setelah ini, kau tidak lagi muncul di hadapanku atau hidupmu tidak akan pernah mudah. Camkan itu!" Lucca menyeringai, Abigail bergeming lalu berbalik pergi menuju ke pesawat priba
Abigail memeriksa pesan dan sosial medianya yang kebanyakan dikirim oleh teman-temannya sampai dia menemukan satu pesan baru yang dikirim tidak lebih dari setengah jam yang lalu. Pesan dari seseorang yang seketika membuat dadanya sesak. Pada satu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun. Rasa sakitnya seakan menghimpit dadanya. Kepalanya yang luka bahkan mulai berdenyut. Kejadian penembakan itu murni salahnya yang panik dan tidak menyangka kalau Riley bisa menjadi seorang pembunuh meski lelaki itu memang memiliki perkerjaan di dunia hitam yang tidak jelas dia ketahui. Seharusnya Abigail menanyakan lebih dulu apa yang terjadi bukannya malah menembaknya seperti itu. Air matanya merebak lagi, menggenggam ponselnya dengan kedua tangan yang gemetar setelah membaca pesan panjang yang menyayat hatinya, dan menangis tanpa suara. Bahunya bergetar hebat, perasaan bersalah itu menyeruak dan tidak tahu harus bagaimana membalas pesan itu. Abigail mengangkat kepalanya dengan satu pemikiran yang m
Lucca mengeryit, menatapnya dengan heran, "Apa yang kau—" "Aku mohon agar kau mau menanggung biaya hidup adik perempuan dan juga ibunya Riley yang saat ini menderita." Lucca Alonzo sukses tercengang. "Adiknya membutuhkan donor agar bisa sembuh dan ibunya butuh jaminan untuk keluar dari penjara juga bimbingan dari panti rehabilitasi untuk kecanduannya terhadap minuman keras sampai sembuh dan setelah itu, tolong carikan pekerjaan untuknya agar mereka bisa melanjutkan hidup." Abigail menarik napas panjang, menatap balik mata Lucca tanpa gentar. "Sebagai gantinya, aku akan kembali ikut denganmu ke Napoli." Abigail menatap Lucca yang tidak juga bereaksi dengan permintaannya. Tahu dengan jelas apa yang dipikirkan laki-laki itu di dalam kepalanya. "Kau—" Lucca nampak tidak percaya dengan pilihan yang diambilnya. "Sadar dengan apa yang kau katakan tadi?" "Ya." "Apa yang membuatmu yakin kalau aku akan menuruti permintaanmu ini?" "Kau punya hutang budi padaku." Abigail mengingatkan. "Ja
Abigail keluar dari mobil setelah sampai di mansion dan bergegas mendekati Lucca yang sebelumnya memang berada di mobil yang berbeda dengannya sedang berjalan memasuki area rumah utama. Mereka sampai saat waktu hampir menunjukkan tengah malam."Lucca, tunggu!"Lucca berhenti, menoleh ke arahnya dengan tatapan tidak suka seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana, "Aku sudah membayar hutang budiku jadi jangan lagi kau mengungkit hal itu!""Tidak. Bukan itu!"Lucca menghadapnya, melipat lengannya di dada dan memandanginya intens. "Posisimu di sini masih tetap sama. Kau harus melayani wanita-wanita murahan yang ada di sana. Suka atau tidak suka..""Kapan kau akan membebaskan Dom?" sela Abigail, Lucca bergeming. "Dia tidak bersalah.""Jadi sekarang sisi kemanusiaanmu beralih mencemaskan dia?" tanyanya dengan suara tajam."Tidak seharusnya dia berada di sana. Aku yang membuatnya ikut menemaniku untuk melihat di mana—"Lucca maju, Abigail mengatupkan bibir, "Kenapa kau begitu yakin b
Bellatrix melepas cengkaramannya dan menamparnya dengan keras. Tidak hanya sampai di situ, rambutnya di jambak dan dia terdorong hingga terhempas di lantai membuat pandangan Abigail mengabur. Sakitnya sungguh luar biasa. "MATI SAJA SANA!!" teriak Bellatrix dengan kebencian yang nyata. "Arrgghh—" Abigail memegangi kepalanya yang berdenyut sakit, mencoba untuk bangkit dan berjalan dengan sempoyongan ke kamarnya untuk mengambil obat di bawah tawa para wanita itu tanpa ada satupun yang membantu. Dengan sisa tenaga yang dia miliki menapaki satu persatu anak tangga yang terasa jauh baginya sampai rasanya dia sudah tidak sanggup berjalan. Samar-samar di dengarnya suara terkesiap kelima wanita itu sebelum cekalannya di pegangan tangga terlepas hingga terjatuh. Jika saja tidak ada seseorang yang menangkapnya lebih dulu, dia sudah berguling dan terkapar di lantai. Kepalanya tidak main-main sakitnya. "BRENGSEK, APA YANG KALIAN LAKUKAN, HAH?!" Suara Lucca Alonzo yang menggelegar begitu deka
Abigail baru menyadari hari sudah gelap saat dia keluar dari kamar dan berdiri di depan pintu mansion pribadi Lucca."Kau tidak boleh berada di sini!" ucap Serafine yang mencegatnya."Aku ingin bertemu dengannya.""Dia sedang beristirahat.""Sebentar saja, please. Aku tidak bisa membiarkan Bellatrix berada di ruang bawah tanah seperti itu."Serafine menatapnya heran, "Dia memang pantas mendapatkannya. Kau tidak perlu terlalu besar kepala. Tuan Lucca tidak pernah suka dengan kekacauan seperti yang Bellatrix lakukan. Kebetulan saja saat Tuan datang ke sana, kejadian itu sedang terjadi.""Tapi tetap saja—" Abigail meremas tangannya sendiri. "Aku harus berbicara dengan Lucca.""Pergilah!!" Serafine mengusirnya. "Aku akan menyampaikan ke Tuan Lucca kalau kau ingin bicara nanti."Abigail terdiam sesaat lalu mengatupkan bibir dan mengangguk. "Baiklah.""Jangan terus paksakaan keberuntunganmu, Abigail. Kau bisa mendapatkan masalah nantinya. Lebih baik kau pikirkan hidupmu sendiri bukannya ter
Lucca memukul meja conter dengan kepalan tangannya dan tatapan bengis membuat Abigail mundur."Maaf.""Jaga batasanmu!!" desisnya. "Kau tidak bisa mengaturku di dalam mansionku sendiri!"Abigail menundukkan pandangan, tidak mau menatap Lucca yang marah."Aku pergi menemuimu tadi untuk memberitahukan kalau Ibu Riley sudah bebas dan mendapatkan psikiater pribadi sementara adiknya akan segera di operasi. Itukan yang kau inginkan!""Benarkah itu?" Abigail jelas senang mendengarnya."Jaga sikapmu setelah ini dan jangan merasa besar kepala. Camkan itu!!" tunjuk Lucca disertai ancaman."Maaf kalau aku sudah lancang tapi terima kasih."Lucca mendengkus, "Dasar wanita lemah." Lalu tatapannya melihat ke arah kue brownies di depannya dan mencibir. "Aku yakin dia akan bahagia mendapatkan kiriman kue yang kau buat dengan cinta ini.”"Apa kau mau mencicipinya?" sela Abigail dan langsung mendapatkan tatapan tajam Lucca."Apa kau pikir aku mau memakan sesuatu yang dibuat untuk orang lain?" Abigail me