Lucca memukul meja conter dengan kepalan tangannya dan tatapan bengis membuat Abigail mundur."Maaf.""Jaga batasanmu!!" desisnya. "Kau tidak bisa mengaturku di dalam mansionku sendiri!"Abigail menundukkan pandangan, tidak mau menatap Lucca yang marah."Aku pergi menemuimu tadi untuk memberitahukan kalau Ibu Riley sudah bebas dan mendapatkan psikiater pribadi sementara adiknya akan segera di operasi. Itukan yang kau inginkan!""Benarkah itu?" Abigail jelas senang mendengarnya."Jaga sikapmu setelah ini dan jangan merasa besar kepala. Camkan itu!!" tunjuk Lucca disertai ancaman."Maaf kalau aku sudah lancang tapi terima kasih."Lucca mendengkus, "Dasar wanita lemah." Lalu tatapannya melihat ke arah kue brownies di depannya dan mencibir. "Aku yakin dia akan bahagia mendapatkan kiriman kue yang kau buat dengan cinta ini.”"Apa kau mau mencicipinya?" sela Abigail dan langsung mendapatkan tatapan tajam Lucca."Apa kau pikir aku mau memakan sesuatu yang dibuat untuk orang lain?" Abigail me
Abigail menghela napas, mengikuti langkah kelimanya di tempat paling belakang menuju area pribadi Lucca sampai tiba di salah satu pintu yang pernah Abigail masukin. Serafine membukanya, mereka masuk dan tercengang saat menemukan Bellatrix juga Dominic sudah lebih dulu berada di sana dan berdiri saling bersisian."Dom," bisik Abigail yang berdiri di samping Dom. "Kau tidak apa-apa?"Dom tersenyum, mengelus puncak kepala Abigail dan menggelang, "Aku tidak apa-apa.""Syukurlah.""Semuanya sudah berkumpul, tuan."Abigail menoleh ke depan, Lucca duduk di kursi besarnya membelakangi mereka semua dan berputar setelahnya. Tatapannya memindai semua yang ada di sana satu persatu sembari tangannya membersikan senjatanya dengan sehelai kain. Wujudnya tetap tampan seperti biasanya."Aku rasa Bellatrix sudah cukup menikmati masa hukumannya dan siap kembali ke tempat tidur denganku."Bellatrix jelas sumringah, "Siap Tuan. Kapanpun ada inginkan."Abigail ingin muntah mendengarnya."Kalau kau melakuka
Seminggu berlalu menjadi pelayan pribadi The Black Rose, cukup baginya untuk berpikir jika sikap diam, acuh, kejam, dingin dan menakutkan yang dia perlihatkan hanyalah sebentuk perisai. Menurutnya, lelaki yang tidak gentar menghadapi kematian itu lebih takut jika hatinya yang menderita karena itu akan mematahkannya lebih kejam. Memilih untuk mengeraskan hati hingga terlihat tidak berperasaan. Meski nampak tidak memiliki kelemahan justru Abigail bisa melihat celah itu dengan jelas. Sejelas bayangan rasa kesepian yang terpampang di matanya. Abigail bergidik saat melihat Lucca memakan daging steak favoritnya yang masih merah dan ada darahnya karena dimasak dengan kematangan rare. Terlihat sangat menikmati meski dia satu-satunya orang yang duduk di ruang makan pribadinya yang besar. Abigail tentu saja menemani di pojokan sembari berdiri dengan sikap siaga jika Lucca membutuhkan sesuatu. Semingguan ini lelaki itu membuatnya hanya bisa bernapas saat malam ketika hendak tidur. Ada saja pek
"Aku yakin, salah satu dari lima wanita itu yang merusak bunga-bunga Tuan Lucca." Abigail yang mengunyah spaghetti buatan Dom di dalam pantry mengeryit, "Untuk apa melakukan sesuatu yang membuat Lucca marah?" Dom memajukan tubuhnya dan melipat kedua lengannya di atas conter dapur di depan Abigail, "Apa kau belum menyadari kalau mungkin saja kau yang memicunya?" Abigail berhenti mengunyah untuk beberapa saat lalu menelannya dengan capat, "Aku? Memangnya aku kenapa?" "Ck—" Dom menekan dahinya dengan ujung jari "Kau masih bertanya kenapa? Mungkin dia terganggu dengan kehadiranmu dan berniat memprovokasi Lucca agar mengusirmu dari sini. Sebelum kau datang, tidak pernah ada kejadiaan seperti ini. Aku mencoba menebak-nebak, siapakah orangnya." Abigail diam, membenarkan dalam hati, "Bisa siapa saja. Mereka memang tidak menyukaiku karena dianggap mencuri perhatian Lucca." Wajahnya menampakkan kesedihan yang nyata. "Padahal aku tidak pernah melakukan itu." "Kau harus berhati-hati. Seka
"Ti—" Abigail menelan salivanya. "Tentu saja tidak. Maaf. Memang saya yang salah. Tolong, biarkan saya kembali." Lucca mencekal dagunya, "Baguslah kalau kau menyadari kesalahanmu." Dipandanginya mata Abigail bergantian sampai sebelah alisnya terangkat naik. "Selama ini kau ternyata selalu memakai lensa. Coba lepas!" "Ap—" Abigail mengerjapkan mata. "Tidak. Ini—" "Buka atau aku congkel matamu yang indah itu," ucapnya santai. Lucca mundur, Abigail memegangi lehernya, "Untuk apa kau mau tahu?" "Lepas!" Abigail tidak memiliki pilihan lain, ditundukkannya pandangan untuk mengeluarkan lensa yang menempel di mata kanannya. "Dua-duanya," tambahnya lagi. Abigail berdecak pelan dan melakukan perintahnya kemudian mendongak menatap balik Lucca yang terdiam sesaat kemudian menaikkan alis. "Bukan asli asia rupanya?" "Itu bukanlah urusanmu!!" "Tidak ada yang bisa menyembunyikan sesuatu dariku sekecil apapun itu." "Oh ya. Tapi kau sama sekali tidak tahu siapa musuh dalam selimut yang tingga
Abigail merasakan tubuhnya masih bergetar dan bayangan tatapan mata Bellatrix yang membekas dalam ingatan tidak juga bisa dia hilangkan meski jasadnya sudah dibawa entah kemana. Duduk di salah satu sofa sembari menundukkan wajah dan memeluk tubuhnya yang terasa mengigil dengan tangannya sendiri. Siapa yang tega melakukannya?Awalnya dia pikir, wanita itulah yang menerornya karena terlalu membenci kehadirannya di dalam mansion Lucca namun dia tidak pernah menyangka melihat kematian Bellatrix di depan matanya sendiri.Siapa pelaku sebenarnya?Abigail mengangkat pandangan, memperhatikan satu persatu pelacurnya Lucca yang memandanginya dengan ekspresi berbeda. Kendra dan Berta menatap penuh kebencian sementara Brianna dan Rosetta menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Jelas sekali kalau pelakunya pasti salah satu dari mereka, karena pintu mansion terkunci setelah Melanie mengantar Bellatrix kembali ke kamarnya. Apakah Melanie?Abigail menatap wanita paruh baya itu yang n
"Siapa yang merusak CCTV-nya?""Ti—dak tahu T—uan," ucapanya terbata. Lucca menginjak kepalanya lebih kencang hingga lelaki itu tidak berdaya. Abigail meremas tangannya sendiri karena tidak tega melihatnya. Tersentak kaget saat tangannya di genggam erat dan menemukan tatapan Dom yang hangat. Ada perasaan aman tapi juga keragu-raguan. Entah apa yang begitu mengusiknya dari sosok Dom yang begitu baik padanya."Katakan apa yang terjadi?""Se—seorang mung-kin mem-asukkan ses-uatu ke kopi milik sa-ya hingga tertidur se-saat. Ke-tika ba-ngun, cctvnya sudah di ru-sak."Lucca mengalihkan tatapannya ke Dom, "Siapa yang memberimu kopi?""Say-a mem-buat-nya sen-diri.""Hmm, jadi begitu," decaknya."Kenapa kau menatapku seperti mengisyaratkan kalau akulah yang tertuduh," ucap Dom."Bukankah kau pernah melakukan sesuatu seperti ini juga?""Saat itu aku melakukannya hanya untuk membantu Abigail.""Mungkin saat ini juga begitu," sela Lucca. "Untuk menutupi kelakuannya."Dom menarik genggaman tangan
"Kau tidur di sini saja malam ini." Abigail tersentak dari lamunannya saat tengah memandangi sinar bulan di luar melalui jendela kamar ketika Dom masuk. Setelah Lucca pergi dengan kalimatnya yang begitu menakutkan, Abigail yang menangis tidak sadar kalau Dom membawanya ke kamar miliknya untuk menenangkan diri. Meskipun di sisi lain, Abigail memang sangat membutuhkan hal itu karena dia begitu ketakutan. "Tidak. Aku tidak mau merepotkanmu. Lagipula aku punya kamar sendiri." "Abi.." Abigail mengatupkan bibirnya saat melihat wajah serius Dom yang duduk di sampingnya. "Dengarkan perkataanku kali ini saja. Aku tahu kalau kau begitu ketakutan untuk kembali ke kamarmu." "Ah tidak," elak Abigail. "Tidak ada apa-apa di sana. Apa yang harus aku takutkan." "Teror itu.." Abigial terdiam. "Aku mempercayaimu meski Tuan Lucca tidak. Pasti ada seseorang yang sudah merencanakannya dengan sangat baik." Abigail duduk menyandar dan menghela napas panjang, "Hanya menunggu waktu sampai aku akhirnya ma