"Ti—" Abigail menelan salivanya. "Tentu saja tidak. Maaf. Memang saya yang salah. Tolong, biarkan saya kembali." Lucca mencekal dagunya, "Baguslah kalau kau menyadari kesalahanmu." Dipandanginya mata Abigail bergantian sampai sebelah alisnya terangkat naik. "Selama ini kau ternyata selalu memakai lensa. Coba lepas!" "Ap—" Abigail mengerjapkan mata. "Tidak. Ini—" "Buka atau aku congkel matamu yang indah itu," ucapnya santai. Lucca mundur, Abigail memegangi lehernya, "Untuk apa kau mau tahu?" "Lepas!" Abigail tidak memiliki pilihan lain, ditundukkannya pandangan untuk mengeluarkan lensa yang menempel di mata kanannya. "Dua-duanya," tambahnya lagi. Abigail berdecak pelan dan melakukan perintahnya kemudian mendongak menatap balik Lucca yang terdiam sesaat kemudian menaikkan alis. "Bukan asli asia rupanya?" "Itu bukanlah urusanmu!!" "Tidak ada yang bisa menyembunyikan sesuatu dariku sekecil apapun itu." "Oh ya. Tapi kau sama sekali tidak tahu siapa musuh dalam selimut yang tingga
Abigail merasakan tubuhnya masih bergetar dan bayangan tatapan mata Bellatrix yang membekas dalam ingatan tidak juga bisa dia hilangkan meski jasadnya sudah dibawa entah kemana. Duduk di salah satu sofa sembari menundukkan wajah dan memeluk tubuhnya yang terasa mengigil dengan tangannya sendiri. Siapa yang tega melakukannya?Awalnya dia pikir, wanita itulah yang menerornya karena terlalu membenci kehadirannya di dalam mansion Lucca namun dia tidak pernah menyangka melihat kematian Bellatrix di depan matanya sendiri.Siapa pelaku sebenarnya?Abigail mengangkat pandangan, memperhatikan satu persatu pelacurnya Lucca yang memandanginya dengan ekspresi berbeda. Kendra dan Berta menatap penuh kebencian sementara Brianna dan Rosetta menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Jelas sekali kalau pelakunya pasti salah satu dari mereka, karena pintu mansion terkunci setelah Melanie mengantar Bellatrix kembali ke kamarnya. Apakah Melanie?Abigail menatap wanita paruh baya itu yang n
"Siapa yang merusak CCTV-nya?""Ti—dak tahu T—uan," ucapanya terbata. Lucca menginjak kepalanya lebih kencang hingga lelaki itu tidak berdaya. Abigail meremas tangannya sendiri karena tidak tega melihatnya. Tersentak kaget saat tangannya di genggam erat dan menemukan tatapan Dom yang hangat. Ada perasaan aman tapi juga keragu-raguan. Entah apa yang begitu mengusiknya dari sosok Dom yang begitu baik padanya."Katakan apa yang terjadi?""Se—seorang mung-kin mem-asukkan ses-uatu ke kopi milik sa-ya hingga tertidur se-saat. Ke-tika ba-ngun, cctvnya sudah di ru-sak."Lucca mengalihkan tatapannya ke Dom, "Siapa yang memberimu kopi?""Say-a mem-buat-nya sen-diri.""Hmm, jadi begitu," decaknya."Kenapa kau menatapku seperti mengisyaratkan kalau akulah yang tertuduh," ucap Dom."Bukankah kau pernah melakukan sesuatu seperti ini juga?""Saat itu aku melakukannya hanya untuk membantu Abigail.""Mungkin saat ini juga begitu," sela Lucca. "Untuk menutupi kelakuannya."Dom menarik genggaman tangan
"Kau tidur di sini saja malam ini." Abigail tersentak dari lamunannya saat tengah memandangi sinar bulan di luar melalui jendela kamar ketika Dom masuk. Setelah Lucca pergi dengan kalimatnya yang begitu menakutkan, Abigail yang menangis tidak sadar kalau Dom membawanya ke kamar miliknya untuk menenangkan diri. Meskipun di sisi lain, Abigail memang sangat membutuhkan hal itu karena dia begitu ketakutan. "Tidak. Aku tidak mau merepotkanmu. Lagipula aku punya kamar sendiri." "Abi.." Abigail mengatupkan bibirnya saat melihat wajah serius Dom yang duduk di sampingnya. "Dengarkan perkataanku kali ini saja. Aku tahu kalau kau begitu ketakutan untuk kembali ke kamarmu." "Ah tidak," elak Abigail. "Tidak ada apa-apa di sana. Apa yang harus aku takutkan." "Teror itu.." Abigial terdiam. "Aku mempercayaimu meski Tuan Lucca tidak. Pasti ada seseorang yang sudah merencanakannya dengan sangat baik." Abigail duduk menyandar dan menghela napas panjang, "Hanya menunggu waktu sampai aku akhirnya ma
"Siapa Tuan muda Geovani juga Tuan besar Greffy?" Abigail jelas penasaran dengan dua nama asing yang baru didengarnya itu. Berjalan di samping Dom yang mendorong meja berjalan berisi hidangan sarapan untuk tamu The Black Rose. Semenjak menjadi pelayan pribadi Lucca, Abigail tidak pernah melihat ada sanak saudara yang mengunjunginya seakan-akan di dunia ini dia hanya sendirian. "Mungkin kau berpikir, dia sudah tidak memiliki keluarga lagi. Kau salah. Dia hanya tidak peduli dengan mereka. Memilih menjauhkan dirinya agar tidak direpotkan dengan keluarganya yang lain. Sikap mereka ke Tuan Lucca pun seperti itu. Kadang datang, hanya untuk meminta tolong atau menginginkan sesuatu. Jarang ada yang datang dengan sukarela mengunjungi layaknya saudara jauh. Diantara yang jarang itu ada kedua orang ini. Secara rutin, setahun dua kali, Tuan muda Geovani dan Ayahnya, Tuan Greffy datang berkunjung untuk melihat keponakannya. Ibunya Tuan muda Geovani merupakan adik kandung dari ibunya Tuan Lucca.
Abigail mundur, mengambilkan sarapan berupa spaghetti untuk Lucca dan menuangkan wine ke gelasnya yang kosong dan langsung diminumnya sampai habis. Abigail mengisinya lagi dan mundur untuk membuat kopi di bar kecil yang ada di sisi lain ruang makan."Melanie tidak lagi bertanggungjawab melayani Tuan Lucca seperti biasanya. Abigail yang sekarang menjabat sebagai pelayan pribadi Tuan Lucca." Abigail mendengar Dom memberitahu fungsinya di mansion Lucca."Pelayan pribadi?" Untuk kesekian kalinya, Geovani kaget. "Seriously, brother? Tadinya aku pikir dia hanya pelayanmu yang biasa. Dia—" Abigail merunduk saat Geovani menunjuknya. "Pelayan pribadimu?" Geovani tertawa. "Benar-benar untuk melayani dirimu sendiri.""Kau terlalu banyak bicara, Dom. Pergilah!!" Desis Lucca."Baik. Saya permisi undur diri. Silahkan kalian nikmati sarapannya dan saya akan datang lagi nanti membawa pencuci mulut."Dom berbalik pergi, terdengar suara denting piring yang menandakan mereka mulai menyantap sarapan masi
Ketiganya langsung menatapnya, begitu juga Lucca. Geovani bersorak riang. "Good. Kau benar-benar memiliki pelayan yang serba guna Luc." Geovani berdiri dari duduknya, menarik tangan Abigail yang terkesiap dan mendudukkanya di depan piano. Dipandanginya tuts hitam dan putihnya agak lama. "Apa yang harus aku mainkan?" Tanyanya saat mendongak, menatap Geovani yang berdiri menyandarkan sikunya di atas piano. "Terserah. Kau bisa mengejutkan kami dengan hal itu." Abigail menelan salivanya, melihat ke arah Lucca yang memandanginya dalam diam lalu menatap deretan tuts piano. Direnggangkannya kesepuluh jemarinya dan mulai menekan tutsnya hingga menciptakan satu harmoni lengkap yang indah namun juga menyayat hati. "Ahh, love story. Pilihan yang bijak, Abi," decak Geovani. Abigail tersenyum, mulai nyaman memainkan lagu yang dia bisa untuk sekedar menyenangkan ketiganya meski Lucca terlihat tidak peduli. Sibuk menghabiskan winenya tanpa ekspresi. "Bravooo!!!" Geovani menepuk tangannya sa
Abigail terkesiap, bergerak cepat tapi hati-hati agar tidak ketahuan dan mencari sumber suara. Melewati banyaknya buku-buku usang yang sudah cukup lama tidak tersentuh tangan seseorang dan dibiarkan saja terkubur di bawah kapel. Saat hampir mencapai bagian terujung ruangan, Abigail berdiri membeku di balik rak tidak jauh dari sofa yang diatur menghadap figura yang cukup besar dan menjadi satu-satunya figura yang ada di sana. Abigail tidak tahu siapa potret yang ada di dalam sana karena tertutup oleh tirai hitam. "Yeah, i'm come back." Abigail menutup mulutnya saat menyadari jika yang berbicara adalah Lucca Alonzo. Duduk menyandar di sofa dengan tangan yang lain memegang botol minuman terlihat berbicara sendiri. "Apa kau begitu suka menyiksaku seperti ini padahal kau sudah mati, hmm?" Lucca berdiri, meminum isi botolnya sampai habis dan melemparkan botolnya ke arah figura dan berakhir jatuh di lantai. "Jika kau sudah pergi jauh, tinggalkan saja aku di sini. Jangan pernah mengangguku