"Nona Abigail..."Panggilan itu menyentak Abigail dari keasyikannya menanam bunga. Duduk beralaskan rerumputan di tengah kebun mawar hitam sembari memegang sekop di tangannya yang kotor terkena tanah. Tidak peduli sekalipun matahari yang menaungi kota Napoli bersinar cukup terik. Abigail mendongak untuk melihat seseorang yang memanggil namanya dengan embel-embel Nona. Kaget mendapati Bodyguard Lucca bernama Artur berdiri di sana. Wajahnya terlihat masih memar tapi Abigail lega melihatnya baik-baik saja."Ya?" Abi berdiri setelah meletakkan sekop dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor.Sejak ketiadaan Lucca di mansion, Abigail nekat memberanikan diri menanam lagi bunga mawar yang kemarin sempat di rusak oleh seseorang meskipun ada tukang kebun yang bisa melakukannya. Dia suka sekali berada di kebun Lucca, memandangi betapa gelapnya kelopak bunga mawar sekaligus betapa berkilaunya saat terkena sinar matahari diiringi suara gemericik air mancur tidak jauh di belakangnya."Maaf bersikap
"Abigail." Suara itu menyentak keduanya, menoleh ke sumber suara dan menemukan Dom mendekat membawa satu kotak besar berpita pink di tangan. "Kalau begitu, saya permisi dulu Nona Abigail." Artur langsung mundur dan berbalik pergi melewati Dom begitu saja dan menghilang di dalam labirin mini Lucca. "Apa yang kalian bicarakan berdua?" tanya Dom. "Tidak." Abigail tersenyum kikuk, merunduk mengambil sekopnya dan memastikan tanaman bunga Lucca sudah selesai lalu kembali menatap Dom. "Dia hanya memberitahuku kalau Lucca akan pulang. Aku tidak seharusnya berada di sini, bukan?" "Oh ya." Dom menaikkan alis, menoleh ke arah di mana Artur pergi. "Perhatian sekali dia." "Apa yang ada di tanganmu?" tanya Abi penasaran, mencoba mengalihkan. "Ah ini." Dom tersenyum lebar. "Ayo kita ke kamarmu. Kau pasti akan suka melihatnya." "Itu." Abigail menunjuk kotak kadonya. "Untukku?' Dom merangkul Abi dan membawanya pergi dari taman, "Tentu saja untukmu. Ini paket yang dikirimkan oleh Tuan muda Ge
"Aku sedang bosan." Abigail berdiri di ambang pintu kamar Rosetta, memperhatikan wanita itu mengatur kanvas segi empat yang belum tersentuh goresan warna menghadap ke jendela yang langsung menampilkan pemandangan lautan di kejauhan dengan sinar bulannya yang berpendar terang. Menoleh saat menyadari Abigail masih berdiri mematung di tempatnya. "Kau akan menjadi objek lukisanku malam ini. Aku sedang ingin menggambar makhluk hidup. Masuklah." Tadi sore, Melanie memberitahunya jika Rosetta ingin ia datang ke kamarnya nanti malam dan menemaninya setelah semua pekerjaannya selesai. Abigail sama sekali tidak tahu kalau ternyata dia akan di lukis. "Aku?" Abigail masuk ke dalam. "Tutup pintunya. Aku tidak mau mendengar pekikan Kendra atau Berta jika melihatmu di sini." Abigail menurut, berjalan mendekati Rosetta yang langsung menariknya duduk di sofa empuk yang memang diletakkan begitu dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar dengan santai, meski hanya tebing, pepohona
Tok..Tok..Tok..Tok... Ketukan di pintu membuat keduanya langsung mengalihkan tatapan. "Siapa?" teriak Rosetta. "Aku." Abigail menaikkan alis mendengar suara itu. "Masuklah Brianna." Pintu terbuka, Brianna yang membawa buku tebal di tangannya masuk dan kaget melihatnya. Decakannya terdengar saat mendekat dan duduk di sofa yang lain. "Ternyata kau benar-benar penasaran melukisnya ya?" Rosetta hanya tersenyum miring, tidak menanggapi. "Hai, Bri," sapa Abigail. "Hai." Brianna menyandarkan punggung, kembali menatap bukunya. "Kalian akrab juga ya," ujar Abi membuka pembicaraan. Kedua wanita di hadapannya ini cantik luar biasa, bisa menjadi sosialita kelas atas dan hidup bahagia seandainya saja mereka memilih hidup bebas di luar sana bukannya terkurung dalam sangkar emas meski balasannya kebersamaan intim dengan Lucca. "Lebih nyaman berbicara dengannya dibandingkan Kendra atau Berta yang lebih suka menggunakan mulutnya untuk memaki orang," jawab Rosetta mewakili Brianna. Abigail
"Kau mencintai Lucca Alonzo." Rosetta bergeming sesaat ketika membereskan alat lukisnya saat mendengar kalimat pernyataan yang dilontarkan Abigail sembari mengamati salah satu lukisan yang terpajang, "Semua lukisan Lucca yang kau buat ini menampakkan jelas perasaanmu padanya. Sayangnya, dia tidak pernah datang sekalipun kemari untuk melihatnya." "Menurutmu begitu?" Rosetta bertanya balik. Abigail menoleh, "Apa aku salah?" "Tidak." Senyuman tipis menghiasi sudut bibirnya. Abigail meremas tangannya, mengamati Rosetta dalam diam. Wanita tipikal introvert yang nyaman dengan dunianya sendiri. Susah menebak apa yang dipikirkannya karena dia begitu tertutup. Namun, seseorang seperti dirinyalah yang diam-diam menghanyutkan. "Rosetta," panggil Abigail. "Hmm." "Apa mungkin kekacauan di mansion yang terjadi akhir-akhir ini adalah ulahmu?" Abigail mendapatkan perhatiannya. Rosetta menatapnya tidak percaya. "Apa sejak awal kau mencurigaiku?" "Tidak. Ini hanya asumsiku saat melihat semua
Tangan Abigail bergetar saat dia melihat gaun yang akan dipakainya di acara pesta Tuan Geovani tercabik-cabik di lantai kamarnya nampak begitu mengenaskan. Gaun malam selembut sutra berwarna hitam itu sudah tidak berbentuk lagi. Padahal dia hanya pergi sebentar untuk mengambil wine yang diinginkan Lucca sesuai instruksi Serafine.Kenapa? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini?Abigail berjalan mendekat, terduduk lemas di lantai dan memungut serpihan gaun dengan air mata yang menetes. Bayangan akan senyuman Tuan muda Geovani dan sebaris pesan yang ditulisnya membuat Abigail tidak bisa menahan kesedihannya.Gaun ini akan cocok sekali denganmu, Abigail.Undangan pesta itu diartikan Abigail seperti sebentuk oase dari sesaknya mansion Lucca. Acara yang dia harapkan bisa sedikit saja memberikan kegembiraan dalam hatinya yang mendung. Tapi sekarang, kegembiraan itu menguap. Mungkin, memang seharusnya dia tidak boleh merasakan sedikit kegembiraan. Abigail memeluk gaunnya, merunduk dalam-
Senyuman Abigail memudar, membiarkan Dom membawanya berputar dengan gemulai, bergerak pelan dengan dagu yang disandarkan di bahu Abi yang juga meletakkan kepalanya di bahu Dom. Menghayati gerakan samar mereka meski hanya ke kanan dan kekiri atau kedepan juga kebelakang. Abigail mencoba menyamankan diri dengan perhatian juga kehadirannya yang memberikan banyak perbedaan. Tanpa sadar Abigail menangis membuat Dom tersentak. Saat akan melihat wajahnya, Abigail memalingkan muka ke arah berlawanan. "Abi, kenapa?" "Dom—" Abigail memeluknya erat. "Aku tidak pantas berada di sana. Aku tidak akan datang ke pesta itu. Maafkan aku." Dirasakannya Dom membeku sesaat, membuat Abigail mengeratkan pelukannya dan lega saat Dom balik memeluknya lalu berucap lirih. "Kalau begitu berdansalah denganku sekarang, Abigail." ***** Abigail menyeret langkahnya semakin cepat, berada tidak jauh di belakang seseorang berjubah hitam yang berjalan agak di depan. Seseorang yang begitu mencurigakan di saat waktu
Gerakan mereka terhenti saat Artur memegangi kaki Dom dan berusaha menahannya membuat setengah badan lelaki itu di luar tebing. "Dommmm....." Abigail menangis, berusaha keras tetap berpegangan padanya. "Abi, aku akan menolongmu. Jangan lepaskan tanganku." "Tolong aku Dom." Abigail sangat ketakutan. Ketika melihat ke bawah dilihatnya wanita itu memeganginya erat dengan senyuman cantik meski mulutnya mengeluarkan darah. "ARTURRR, TARIK KE BELAKANG!!" Teriak Dom. "AKU SEDANG BERUSAHA!!" Abi merasakan tangannya sakit tidak terkira, mereka bahkan tidak bergerak sesentipun, tetap menggantung dipinggir tebing menunggu jatuh dan menghilang di telan lautan ganas. "Aku akan menyelamatkanmu," ucap Abi pada wanita di bawahnya yang tetap tersenyum. Saat menoleh, dilihatnya Lucca berdiri di pinggir tebing tidak jauh dari mereka hanya memandangi dengan mata berkobar amarah. Tatapannya begitu tajam, auranya begitu menakutkan. Coat hitam panjangnya yang berkibar membaur dengan keremangan malam
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj