Tangan Abigail bergetar saat dia melihat gaun yang akan dipakainya di acara pesta Tuan Geovani tercabik-cabik di lantai kamarnya nampak begitu mengenaskan. Gaun malam selembut sutra berwarna hitam itu sudah tidak berbentuk lagi. Padahal dia hanya pergi sebentar untuk mengambil wine yang diinginkan Lucca sesuai instruksi Serafine.Kenapa? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini?Abigail berjalan mendekat, terduduk lemas di lantai dan memungut serpihan gaun dengan air mata yang menetes. Bayangan akan senyuman Tuan muda Geovani dan sebaris pesan yang ditulisnya membuat Abigail tidak bisa menahan kesedihannya.Gaun ini akan cocok sekali denganmu, Abigail.Undangan pesta itu diartikan Abigail seperti sebentuk oase dari sesaknya mansion Lucca. Acara yang dia harapkan bisa sedikit saja memberikan kegembiraan dalam hatinya yang mendung. Tapi sekarang, kegembiraan itu menguap. Mungkin, memang seharusnya dia tidak boleh merasakan sedikit kegembiraan. Abigail memeluk gaunnya, merunduk dalam-
Senyuman Abigail memudar, membiarkan Dom membawanya berputar dengan gemulai, bergerak pelan dengan dagu yang disandarkan di bahu Abi yang juga meletakkan kepalanya di bahu Dom. Menghayati gerakan samar mereka meski hanya ke kanan dan kekiri atau kedepan juga kebelakang. Abigail mencoba menyamankan diri dengan perhatian juga kehadirannya yang memberikan banyak perbedaan. Tanpa sadar Abigail menangis membuat Dom tersentak. Saat akan melihat wajahnya, Abigail memalingkan muka ke arah berlawanan. "Abi, kenapa?" "Dom—" Abigail memeluknya erat. "Aku tidak pantas berada di sana. Aku tidak akan datang ke pesta itu. Maafkan aku." Dirasakannya Dom membeku sesaat, membuat Abigail mengeratkan pelukannya dan lega saat Dom balik memeluknya lalu berucap lirih. "Kalau begitu berdansalah denganku sekarang, Abigail." ***** Abigail menyeret langkahnya semakin cepat, berada tidak jauh di belakang seseorang berjubah hitam yang berjalan agak di depan. Seseorang yang begitu mencurigakan di saat waktu
Gerakan mereka terhenti saat Artur memegangi kaki Dom dan berusaha menahannya membuat setengah badan lelaki itu di luar tebing. "Dommmm....." Abigail menangis, berusaha keras tetap berpegangan padanya. "Abi, aku akan menolongmu. Jangan lepaskan tanganku." "Tolong aku Dom." Abigail sangat ketakutan. Ketika melihat ke bawah dilihatnya wanita itu memeganginya erat dengan senyuman cantik meski mulutnya mengeluarkan darah. "ARTURRR, TARIK KE BELAKANG!!" Teriak Dom. "AKU SEDANG BERUSAHA!!" Abi merasakan tangannya sakit tidak terkira, mereka bahkan tidak bergerak sesentipun, tetap menggantung dipinggir tebing menunggu jatuh dan menghilang di telan lautan ganas. "Aku akan menyelamatkanmu," ucap Abi pada wanita di bawahnya yang tetap tersenyum. Saat menoleh, dilihatnya Lucca berdiri di pinggir tebing tidak jauh dari mereka hanya memandangi dengan mata berkobar amarah. Tatapannya begitu tajam, auranya begitu menakutkan. Coat hitam panjangnya yang berkibar membaur dengan keremangan malam
Lucca POVFlashback On."Saya sangat mengkhawatirkan kondisi Tuan saat ini."Butuh beberapa menit sampai Lucca menjawab kegusaran yang disampaikan Serafine sembari memeriksa beberapa berkas penting yang harus dia selesaikan sebelum keluar untuk makan malam."Jangan berucap hal yang tidak masuk akal. Aku baik-baik saja.""Bukan kondisi fisik tapi kondisi hati Tuan."Gerakan tangannya yang sedang menuliskan sesuatu terhenti, melayangkan tatapan menusuk tanda tidak menerima argumen yang diungkapkan secara frontal. Wanita cantik bertangan dingin itu memandanginya penuh keyakinan. Berdiri serupa cermin yang menampilkan bayangan sesungguhnya. Selama bertahun-tahun kebersamaan mereka selama ini, melewati banyaknya pertarungan berdarah di luar sana, menjadi satu tubuh dalam perperangan yang tidak bisa dipisahkan atas nama kesetiaan, Serafine sangat menyadari perubahan Tuannya. Seseorang yang sama-sama pernah mengalami sakitnya dikhianati, mengerti betul perasaan ketika tidak diinginkan oleh
"Geovani pasti akan kecewa sekali jika melihat gaunnya tercabik seperti ini." Lucca mengangkat serpihan gaun yang ada di kotak yang disimpan dalam lemari penyimpanan di kamar Abigail yang hening. Nada suaranya tidak terdengar menyesal sama sekali. "Aku yakin, Geovani sendiri yang menyiapkannya. Ck. Tidak ada manfaatnya dia mengundang pelayan ke pesta mewahnya."Lucca berdiri tegak, mengamati area sekitar kamar Abi dalam diam. Matanya melihat beberapa foto di kaca rias dan berjalan mendekat. Satu tangan disandarkan di meja untuk menyanggah tubuhnya agar bisa melihat foto-foto itu lebih jelas. Kumpulan foto Abigail dengan Shine Aurora juga wanita cantik paruh baya yang terlihat sepertinya ibunya melihat kemiripan mereka. Abigail nampak jauh lebih muda di sana. Juga foto bersama seorang lelaki yang pernah Lucca lihat sebelumnya dan foto mereka bertiga bersama-sama.Lucca mengambil satu foto Abigail yang tersenyum lebar lalu menyeringai, "Kasihan sekali sepertinya kau tidak akan bisa berj
Lucca kehilangan semua kata-katanya untuk membalas amarah yang dilontarkan Abigail. Hanya bisa berdiri bergeming tanpa daya setelah Abigail memalingkan wajahnya, dipapah Dom bergerak menjauh. Dia tahu betul semua yang dikatakan Abigail sebuah kebenaran. Dia sudah lama menyadari monster dalam dirinya. Sejak tidak lagi memiliki kehangatan yang memeluknya, dia hanya mengandalkan dirinya sendiri untuk keluar dari keterpurukan. Bertemankan kesepian dan dingin yang membeku, Lucca bertekad membuktikan tidak ada yang bisa menyakitinya lagi di masa depan. Dia ingin menjadi yang berkuasa dan kuat agar tidak ada yang meremehkannya lagi. Tapi ketika semua itu diucapkan oleh Abigail, semuanya terasa berbeda. Lucca meletakkan telapak tangannya di dada, tepat di jantung dan mencengkramnya dengan erat. Menggertakkan giginya kuat, tangan yang lain mengepal erat, udara dalam rongganya menyempit, sesak, memejamkan mata dengan kepala menunduk. Sakit. Hatinya kembali sakit. "Tuan..." suara Serafine m
Seminggu berlalu setelah kematian Brianna yang menyedihkan, Abigail tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri untuk tidak mencemaskan keadaan Lucca Alonzo. Begitu penasaran, bagaimana keadaan laki-laki itu saat ini setelah mengungkap sedikit kepedihan yang dia simpan rapat sejak bertahun-tahun lalu. Pasti begitu berat baginya mengingat semua hal itu. Kepedihan memang sanggup membuat seseorang berubah total. Apa mungkin sebenarnya laki-laki itu tidak seseram apa yang dia tampakkan saat ini? Abigail tidak bisa berhenti memikirkan seperti apa sosok Lucca Alonzo yang sebenarnya jika semua kesakitan itu tidak menghampiri kehidupannya. Mungkin, semua itu akan menjadi sebentuk pertanyaan yang akan terus menguap di batin Abigail, tidak mungkin terjawab karena untuk melihat sosok aslinya membutuhkan pengorbanan yang besar. Seperti memaksanya mengalami kesakitan itu lagi. Jika saja Lucca mau merelakan dan berdamai dengan masa lalunya, mungkin laki-laki itu bisa menjadi seseorang yang lebih
Abigail tersentak, "Siapa?" "Seorang pria pastinya," kekehnya. "Sahabat baikku. Nanti aku akan mengenalkan kalian dan dia bisa sangat diandalkan." Geovani nampak begitu bersemangat, entah karena apa. "Ah, aku begitu excited dengan pesta ini lebih dari sebelumnya." Tatapannya melembut, seakan Abigail adalah sesuatu yang tidak terduga dia libatkan. Geovani mengusap telapak tangannya sendiri, nampak senang, "Kau pasti akan menikmatinya." Abigail spechless, apa dia pantas diperlakukan seperti ini. "Tidak usah Tuan. Saya tidak mau merepotkan. Sebaiknya saya pergi ke pesta sendirian saja." "Ck, sendirian?" Geovani menggelengkan kepala. "Bisa berbahaya jika tidak ada yang menjagamu karena kau bisa mengundang banyak lelaki buas untuk mendekat dan memaksamu bersamanya. Kau ikuti saja perkataanku ya." Abigail tidak memiliki pilihan selain mengangguk. "Good. Kau hanya harus menikmati pestanya." "Tuan muda, apa anda sudah bertemu dengan Tuan Lucca?" Abigail nekat bertanya. "Lucca?" Tanyanya