"Aku sedang bosan." Abigail berdiri di ambang pintu kamar Rosetta, memperhatikan wanita itu mengatur kanvas segi empat yang belum tersentuh goresan warna menghadap ke jendela yang langsung menampilkan pemandangan lautan di kejauhan dengan sinar bulannya yang berpendar terang. Menoleh saat menyadari Abigail masih berdiri mematung di tempatnya. "Kau akan menjadi objek lukisanku malam ini. Aku sedang ingin menggambar makhluk hidup. Masuklah." Tadi sore, Melanie memberitahunya jika Rosetta ingin ia datang ke kamarnya nanti malam dan menemaninya setelah semua pekerjaannya selesai. Abigail sama sekali tidak tahu kalau ternyata dia akan di lukis. "Aku?" Abigail masuk ke dalam. "Tutup pintunya. Aku tidak mau mendengar pekikan Kendra atau Berta jika melihatmu di sini." Abigail menurut, berjalan mendekati Rosetta yang langsung menariknya duduk di sofa empuk yang memang diletakkan begitu dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar dengan santai, meski hanya tebing, pepohona
Tok..Tok..Tok..Tok... Ketukan di pintu membuat keduanya langsung mengalihkan tatapan. "Siapa?" teriak Rosetta. "Aku." Abigail menaikkan alis mendengar suara itu. "Masuklah Brianna." Pintu terbuka, Brianna yang membawa buku tebal di tangannya masuk dan kaget melihatnya. Decakannya terdengar saat mendekat dan duduk di sofa yang lain. "Ternyata kau benar-benar penasaran melukisnya ya?" Rosetta hanya tersenyum miring, tidak menanggapi. "Hai, Bri," sapa Abigail. "Hai." Brianna menyandarkan punggung, kembali menatap bukunya. "Kalian akrab juga ya," ujar Abi membuka pembicaraan. Kedua wanita di hadapannya ini cantik luar biasa, bisa menjadi sosialita kelas atas dan hidup bahagia seandainya saja mereka memilih hidup bebas di luar sana bukannya terkurung dalam sangkar emas meski balasannya kebersamaan intim dengan Lucca. "Lebih nyaman berbicara dengannya dibandingkan Kendra atau Berta yang lebih suka menggunakan mulutnya untuk memaki orang," jawab Rosetta mewakili Brianna. Abigail
"Kau mencintai Lucca Alonzo." Rosetta bergeming sesaat ketika membereskan alat lukisnya saat mendengar kalimat pernyataan yang dilontarkan Abigail sembari mengamati salah satu lukisan yang terpajang, "Semua lukisan Lucca yang kau buat ini menampakkan jelas perasaanmu padanya. Sayangnya, dia tidak pernah datang sekalipun kemari untuk melihatnya." "Menurutmu begitu?" Rosetta bertanya balik. Abigail menoleh, "Apa aku salah?" "Tidak." Senyuman tipis menghiasi sudut bibirnya. Abigail meremas tangannya, mengamati Rosetta dalam diam. Wanita tipikal introvert yang nyaman dengan dunianya sendiri. Susah menebak apa yang dipikirkannya karena dia begitu tertutup. Namun, seseorang seperti dirinyalah yang diam-diam menghanyutkan. "Rosetta," panggil Abigail. "Hmm." "Apa mungkin kekacauan di mansion yang terjadi akhir-akhir ini adalah ulahmu?" Abigail mendapatkan perhatiannya. Rosetta menatapnya tidak percaya. "Apa sejak awal kau mencurigaiku?" "Tidak. Ini hanya asumsiku saat melihat semua
Tangan Abigail bergetar saat dia melihat gaun yang akan dipakainya di acara pesta Tuan Geovani tercabik-cabik di lantai kamarnya nampak begitu mengenaskan. Gaun malam selembut sutra berwarna hitam itu sudah tidak berbentuk lagi. Padahal dia hanya pergi sebentar untuk mengambil wine yang diinginkan Lucca sesuai instruksi Serafine.Kenapa? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini?Abigail berjalan mendekat, terduduk lemas di lantai dan memungut serpihan gaun dengan air mata yang menetes. Bayangan akan senyuman Tuan muda Geovani dan sebaris pesan yang ditulisnya membuat Abigail tidak bisa menahan kesedihannya.Gaun ini akan cocok sekali denganmu, Abigail.Undangan pesta itu diartikan Abigail seperti sebentuk oase dari sesaknya mansion Lucca. Acara yang dia harapkan bisa sedikit saja memberikan kegembiraan dalam hatinya yang mendung. Tapi sekarang, kegembiraan itu menguap. Mungkin, memang seharusnya dia tidak boleh merasakan sedikit kegembiraan. Abigail memeluk gaunnya, merunduk dalam-
Senyuman Abigail memudar, membiarkan Dom membawanya berputar dengan gemulai, bergerak pelan dengan dagu yang disandarkan di bahu Abi yang juga meletakkan kepalanya di bahu Dom. Menghayati gerakan samar mereka meski hanya ke kanan dan kekiri atau kedepan juga kebelakang. Abigail mencoba menyamankan diri dengan perhatian juga kehadirannya yang memberikan banyak perbedaan. Tanpa sadar Abigail menangis membuat Dom tersentak. Saat akan melihat wajahnya, Abigail memalingkan muka ke arah berlawanan. "Abi, kenapa?" "Dom—" Abigail memeluknya erat. "Aku tidak pantas berada di sana. Aku tidak akan datang ke pesta itu. Maafkan aku." Dirasakannya Dom membeku sesaat, membuat Abigail mengeratkan pelukannya dan lega saat Dom balik memeluknya lalu berucap lirih. "Kalau begitu berdansalah denganku sekarang, Abigail." ***** Abigail menyeret langkahnya semakin cepat, berada tidak jauh di belakang seseorang berjubah hitam yang berjalan agak di depan. Seseorang yang begitu mencurigakan di saat waktu
Gerakan mereka terhenti saat Artur memegangi kaki Dom dan berusaha menahannya membuat setengah badan lelaki itu di luar tebing. "Dommmm....." Abigail menangis, berusaha keras tetap berpegangan padanya. "Abi, aku akan menolongmu. Jangan lepaskan tanganku." "Tolong aku Dom." Abigail sangat ketakutan. Ketika melihat ke bawah dilihatnya wanita itu memeganginya erat dengan senyuman cantik meski mulutnya mengeluarkan darah. "ARTURRR, TARIK KE BELAKANG!!" Teriak Dom. "AKU SEDANG BERUSAHA!!" Abi merasakan tangannya sakit tidak terkira, mereka bahkan tidak bergerak sesentipun, tetap menggantung dipinggir tebing menunggu jatuh dan menghilang di telan lautan ganas. "Aku akan menyelamatkanmu," ucap Abi pada wanita di bawahnya yang tetap tersenyum. Saat menoleh, dilihatnya Lucca berdiri di pinggir tebing tidak jauh dari mereka hanya memandangi dengan mata berkobar amarah. Tatapannya begitu tajam, auranya begitu menakutkan. Coat hitam panjangnya yang berkibar membaur dengan keremangan malam
Lucca POVFlashback On."Saya sangat mengkhawatirkan kondisi Tuan saat ini."Butuh beberapa menit sampai Lucca menjawab kegusaran yang disampaikan Serafine sembari memeriksa beberapa berkas penting yang harus dia selesaikan sebelum keluar untuk makan malam."Jangan berucap hal yang tidak masuk akal. Aku baik-baik saja.""Bukan kondisi fisik tapi kondisi hati Tuan."Gerakan tangannya yang sedang menuliskan sesuatu terhenti, melayangkan tatapan menusuk tanda tidak menerima argumen yang diungkapkan secara frontal. Wanita cantik bertangan dingin itu memandanginya penuh keyakinan. Berdiri serupa cermin yang menampilkan bayangan sesungguhnya. Selama bertahun-tahun kebersamaan mereka selama ini, melewati banyaknya pertarungan berdarah di luar sana, menjadi satu tubuh dalam perperangan yang tidak bisa dipisahkan atas nama kesetiaan, Serafine sangat menyadari perubahan Tuannya. Seseorang yang sama-sama pernah mengalami sakitnya dikhianati, mengerti betul perasaan ketika tidak diinginkan oleh
"Geovani pasti akan kecewa sekali jika melihat gaunnya tercabik seperti ini." Lucca mengangkat serpihan gaun yang ada di kotak yang disimpan dalam lemari penyimpanan di kamar Abigail yang hening. Nada suaranya tidak terdengar menyesal sama sekali. "Aku yakin, Geovani sendiri yang menyiapkannya. Ck. Tidak ada manfaatnya dia mengundang pelayan ke pesta mewahnya."Lucca berdiri tegak, mengamati area sekitar kamar Abi dalam diam. Matanya melihat beberapa foto di kaca rias dan berjalan mendekat. Satu tangan disandarkan di meja untuk menyanggah tubuhnya agar bisa melihat foto-foto itu lebih jelas. Kumpulan foto Abigail dengan Shine Aurora juga wanita cantik paruh baya yang terlihat sepertinya ibunya melihat kemiripan mereka. Abigail nampak jauh lebih muda di sana. Juga foto bersama seorang lelaki yang pernah Lucca lihat sebelumnya dan foto mereka bertiga bersama-sama.Lucca mengambil satu foto Abigail yang tersenyum lebar lalu menyeringai, "Kasihan sekali sepertinya kau tidak akan bisa berj