Abigail terkesiap, bergerak cepat tapi hati-hati agar tidak ketahuan dan mencari sumber suara. Melewati banyaknya buku-buku usang yang sudah cukup lama tidak tersentuh tangan seseorang dan dibiarkan saja terkubur di bawah kapel. Saat hampir mencapai bagian terujung ruangan, Abigail berdiri membeku di balik rak tidak jauh dari sofa yang diatur menghadap figura yang cukup besar dan menjadi satu-satunya figura yang ada di sana. Abigail tidak tahu siapa potret yang ada di dalam sana karena tertutup oleh tirai hitam. "Yeah, i'm come back." Abigail menutup mulutnya saat menyadari jika yang berbicara adalah Lucca Alonzo. Duduk menyandar di sofa dengan tangan yang lain memegang botol minuman terlihat berbicara sendiri. "Apa kau begitu suka menyiksaku seperti ini padahal kau sudah mati, hmm?" Lucca berdiri, meminum isi botolnya sampai habis dan melemparkan botolnya ke arah figura dan berakhir jatuh di lantai. "Jika kau sudah pergi jauh, tinggalkan saja aku di sini. Jangan pernah mengangguku
"Nona Abigail..."Panggilan itu menyentak Abigail dari keasyikannya menanam bunga. Duduk beralaskan rerumputan di tengah kebun mawar hitam sembari memegang sekop di tangannya yang kotor terkena tanah. Tidak peduli sekalipun matahari yang menaungi kota Napoli bersinar cukup terik. Abigail mendongak untuk melihat seseorang yang memanggil namanya dengan embel-embel Nona. Kaget mendapati Bodyguard Lucca bernama Artur berdiri di sana. Wajahnya terlihat masih memar tapi Abigail lega melihatnya baik-baik saja."Ya?" Abi berdiri setelah meletakkan sekop dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor.Sejak ketiadaan Lucca di mansion, Abigail nekat memberanikan diri menanam lagi bunga mawar yang kemarin sempat di rusak oleh seseorang meskipun ada tukang kebun yang bisa melakukannya. Dia suka sekali berada di kebun Lucca, memandangi betapa gelapnya kelopak bunga mawar sekaligus betapa berkilaunya saat terkena sinar matahari diiringi suara gemericik air mancur tidak jauh di belakangnya."Maaf bersikap
"Abigail." Suara itu menyentak keduanya, menoleh ke sumber suara dan menemukan Dom mendekat membawa satu kotak besar berpita pink di tangan. "Kalau begitu, saya permisi dulu Nona Abigail." Artur langsung mundur dan berbalik pergi melewati Dom begitu saja dan menghilang di dalam labirin mini Lucca. "Apa yang kalian bicarakan berdua?" tanya Dom. "Tidak." Abigail tersenyum kikuk, merunduk mengambil sekopnya dan memastikan tanaman bunga Lucca sudah selesai lalu kembali menatap Dom. "Dia hanya memberitahuku kalau Lucca akan pulang. Aku tidak seharusnya berada di sini, bukan?" "Oh ya." Dom menaikkan alis, menoleh ke arah di mana Artur pergi. "Perhatian sekali dia." "Apa yang ada di tanganmu?" tanya Abi penasaran, mencoba mengalihkan. "Ah ini." Dom tersenyum lebar. "Ayo kita ke kamarmu. Kau pasti akan suka melihatnya." "Itu." Abigail menunjuk kotak kadonya. "Untukku?' Dom merangkul Abi dan membawanya pergi dari taman, "Tentu saja untukmu. Ini paket yang dikirimkan oleh Tuan muda Ge
"Aku sedang bosan." Abigail berdiri di ambang pintu kamar Rosetta, memperhatikan wanita itu mengatur kanvas segi empat yang belum tersentuh goresan warna menghadap ke jendela yang langsung menampilkan pemandangan lautan di kejauhan dengan sinar bulannya yang berpendar terang. Menoleh saat menyadari Abigail masih berdiri mematung di tempatnya. "Kau akan menjadi objek lukisanku malam ini. Aku sedang ingin menggambar makhluk hidup. Masuklah." Tadi sore, Melanie memberitahunya jika Rosetta ingin ia datang ke kamarnya nanti malam dan menemaninya setelah semua pekerjaannya selesai. Abigail sama sekali tidak tahu kalau ternyata dia akan di lukis. "Aku?" Abigail masuk ke dalam. "Tutup pintunya. Aku tidak mau mendengar pekikan Kendra atau Berta jika melihatmu di sini." Abigail menurut, berjalan mendekati Rosetta yang langsung menariknya duduk di sofa empuk yang memang diletakkan begitu dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar dengan santai, meski hanya tebing, pepohona
Tok..Tok..Tok..Tok... Ketukan di pintu membuat keduanya langsung mengalihkan tatapan. "Siapa?" teriak Rosetta. "Aku." Abigail menaikkan alis mendengar suara itu. "Masuklah Brianna." Pintu terbuka, Brianna yang membawa buku tebal di tangannya masuk dan kaget melihatnya. Decakannya terdengar saat mendekat dan duduk di sofa yang lain. "Ternyata kau benar-benar penasaran melukisnya ya?" Rosetta hanya tersenyum miring, tidak menanggapi. "Hai, Bri," sapa Abigail. "Hai." Brianna menyandarkan punggung, kembali menatap bukunya. "Kalian akrab juga ya," ujar Abi membuka pembicaraan. Kedua wanita di hadapannya ini cantik luar biasa, bisa menjadi sosialita kelas atas dan hidup bahagia seandainya saja mereka memilih hidup bebas di luar sana bukannya terkurung dalam sangkar emas meski balasannya kebersamaan intim dengan Lucca. "Lebih nyaman berbicara dengannya dibandingkan Kendra atau Berta yang lebih suka menggunakan mulutnya untuk memaki orang," jawab Rosetta mewakili Brianna. Abigail
"Kau mencintai Lucca Alonzo." Rosetta bergeming sesaat ketika membereskan alat lukisnya saat mendengar kalimat pernyataan yang dilontarkan Abigail sembari mengamati salah satu lukisan yang terpajang, "Semua lukisan Lucca yang kau buat ini menampakkan jelas perasaanmu padanya. Sayangnya, dia tidak pernah datang sekalipun kemari untuk melihatnya." "Menurutmu begitu?" Rosetta bertanya balik. Abigail menoleh, "Apa aku salah?" "Tidak." Senyuman tipis menghiasi sudut bibirnya. Abigail meremas tangannya, mengamati Rosetta dalam diam. Wanita tipikal introvert yang nyaman dengan dunianya sendiri. Susah menebak apa yang dipikirkannya karena dia begitu tertutup. Namun, seseorang seperti dirinyalah yang diam-diam menghanyutkan. "Rosetta," panggil Abigail. "Hmm." "Apa mungkin kekacauan di mansion yang terjadi akhir-akhir ini adalah ulahmu?" Abigail mendapatkan perhatiannya. Rosetta menatapnya tidak percaya. "Apa sejak awal kau mencurigaiku?" "Tidak. Ini hanya asumsiku saat melihat semua
Tangan Abigail bergetar saat dia melihat gaun yang akan dipakainya di acara pesta Tuan Geovani tercabik-cabik di lantai kamarnya nampak begitu mengenaskan. Gaun malam selembut sutra berwarna hitam itu sudah tidak berbentuk lagi. Padahal dia hanya pergi sebentar untuk mengambil wine yang diinginkan Lucca sesuai instruksi Serafine.Kenapa? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini?Abigail berjalan mendekat, terduduk lemas di lantai dan memungut serpihan gaun dengan air mata yang menetes. Bayangan akan senyuman Tuan muda Geovani dan sebaris pesan yang ditulisnya membuat Abigail tidak bisa menahan kesedihannya.Gaun ini akan cocok sekali denganmu, Abigail.Undangan pesta itu diartikan Abigail seperti sebentuk oase dari sesaknya mansion Lucca. Acara yang dia harapkan bisa sedikit saja memberikan kegembiraan dalam hatinya yang mendung. Tapi sekarang, kegembiraan itu menguap. Mungkin, memang seharusnya dia tidak boleh merasakan sedikit kegembiraan. Abigail memeluk gaunnya, merunduk dalam-
Senyuman Abigail memudar, membiarkan Dom membawanya berputar dengan gemulai, bergerak pelan dengan dagu yang disandarkan di bahu Abi yang juga meletakkan kepalanya di bahu Dom. Menghayati gerakan samar mereka meski hanya ke kanan dan kekiri atau kedepan juga kebelakang. Abigail mencoba menyamankan diri dengan perhatian juga kehadirannya yang memberikan banyak perbedaan. Tanpa sadar Abigail menangis membuat Dom tersentak. Saat akan melihat wajahnya, Abigail memalingkan muka ke arah berlawanan. "Abi, kenapa?" "Dom—" Abigail memeluknya erat. "Aku tidak pantas berada di sana. Aku tidak akan datang ke pesta itu. Maafkan aku." Dirasakannya Dom membeku sesaat, membuat Abigail mengeratkan pelukannya dan lega saat Dom balik memeluknya lalu berucap lirih. "Kalau begitu berdansalah denganku sekarang, Abigail." ***** Abigail menyeret langkahnya semakin cepat, berada tidak jauh di belakang seseorang berjubah hitam yang berjalan agak di depan. Seseorang yang begitu mencurigakan di saat waktu