"Siapa Tuan muda Geovani juga Tuan besar Greffy?" Abigail jelas penasaran dengan dua nama asing yang baru didengarnya itu. Berjalan di samping Dom yang mendorong meja berjalan berisi hidangan sarapan untuk tamu The Black Rose. Semenjak menjadi pelayan pribadi Lucca, Abigail tidak pernah melihat ada sanak saudara yang mengunjunginya seakan-akan di dunia ini dia hanya sendirian. "Mungkin kau berpikir, dia sudah tidak memiliki keluarga lagi. Kau salah. Dia hanya tidak peduli dengan mereka. Memilih menjauhkan dirinya agar tidak direpotkan dengan keluarganya yang lain. Sikap mereka ke Tuan Lucca pun seperti itu. Kadang datang, hanya untuk meminta tolong atau menginginkan sesuatu. Jarang ada yang datang dengan sukarela mengunjungi layaknya saudara jauh. Diantara yang jarang itu ada kedua orang ini. Secara rutin, setahun dua kali, Tuan muda Geovani dan Ayahnya, Tuan Greffy datang berkunjung untuk melihat keponakannya. Ibunya Tuan muda Geovani merupakan adik kandung dari ibunya Tuan Lucca.
Abigail mundur, mengambilkan sarapan berupa spaghetti untuk Lucca dan menuangkan wine ke gelasnya yang kosong dan langsung diminumnya sampai habis. Abigail mengisinya lagi dan mundur untuk membuat kopi di bar kecil yang ada di sisi lain ruang makan."Melanie tidak lagi bertanggungjawab melayani Tuan Lucca seperti biasanya. Abigail yang sekarang menjabat sebagai pelayan pribadi Tuan Lucca." Abigail mendengar Dom memberitahu fungsinya di mansion Lucca."Pelayan pribadi?" Untuk kesekian kalinya, Geovani kaget. "Seriously, brother? Tadinya aku pikir dia hanya pelayanmu yang biasa. Dia—" Abigail merunduk saat Geovani menunjuknya. "Pelayan pribadimu?" Geovani tertawa. "Benar-benar untuk melayani dirimu sendiri.""Kau terlalu banyak bicara, Dom. Pergilah!!" Desis Lucca."Baik. Saya permisi undur diri. Silahkan kalian nikmati sarapannya dan saya akan datang lagi nanti membawa pencuci mulut."Dom berbalik pergi, terdengar suara denting piring yang menandakan mereka mulai menyantap sarapan masi
Ketiganya langsung menatapnya, begitu juga Lucca. Geovani bersorak riang. "Good. Kau benar-benar memiliki pelayan yang serba guna Luc." Geovani berdiri dari duduknya, menarik tangan Abigail yang terkesiap dan mendudukkanya di depan piano. Dipandanginya tuts hitam dan putihnya agak lama. "Apa yang harus aku mainkan?" Tanyanya saat mendongak, menatap Geovani yang berdiri menyandarkan sikunya di atas piano. "Terserah. Kau bisa mengejutkan kami dengan hal itu." Abigail menelan salivanya, melihat ke arah Lucca yang memandanginya dalam diam lalu menatap deretan tuts piano. Direnggangkannya kesepuluh jemarinya dan mulai menekan tutsnya hingga menciptakan satu harmoni lengkap yang indah namun juga menyayat hati. "Ahh, love story. Pilihan yang bijak, Abi," decak Geovani. Abigail tersenyum, mulai nyaman memainkan lagu yang dia bisa untuk sekedar menyenangkan ketiganya meski Lucca terlihat tidak peduli. Sibuk menghabiskan winenya tanpa ekspresi. "Bravooo!!!" Geovani menepuk tangannya sa
Abigail terkesiap, bergerak cepat tapi hati-hati agar tidak ketahuan dan mencari sumber suara. Melewati banyaknya buku-buku usang yang sudah cukup lama tidak tersentuh tangan seseorang dan dibiarkan saja terkubur di bawah kapel. Saat hampir mencapai bagian terujung ruangan, Abigail berdiri membeku di balik rak tidak jauh dari sofa yang diatur menghadap figura yang cukup besar dan menjadi satu-satunya figura yang ada di sana. Abigail tidak tahu siapa potret yang ada di dalam sana karena tertutup oleh tirai hitam. "Yeah, i'm come back." Abigail menutup mulutnya saat menyadari jika yang berbicara adalah Lucca Alonzo. Duduk menyandar di sofa dengan tangan yang lain memegang botol minuman terlihat berbicara sendiri. "Apa kau begitu suka menyiksaku seperti ini padahal kau sudah mati, hmm?" Lucca berdiri, meminum isi botolnya sampai habis dan melemparkan botolnya ke arah figura dan berakhir jatuh di lantai. "Jika kau sudah pergi jauh, tinggalkan saja aku di sini. Jangan pernah mengangguku
"Nona Abigail..."Panggilan itu menyentak Abigail dari keasyikannya menanam bunga. Duduk beralaskan rerumputan di tengah kebun mawar hitam sembari memegang sekop di tangannya yang kotor terkena tanah. Tidak peduli sekalipun matahari yang menaungi kota Napoli bersinar cukup terik. Abigail mendongak untuk melihat seseorang yang memanggil namanya dengan embel-embel Nona. Kaget mendapati Bodyguard Lucca bernama Artur berdiri di sana. Wajahnya terlihat masih memar tapi Abigail lega melihatnya baik-baik saja."Ya?" Abi berdiri setelah meletakkan sekop dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor.Sejak ketiadaan Lucca di mansion, Abigail nekat memberanikan diri menanam lagi bunga mawar yang kemarin sempat di rusak oleh seseorang meskipun ada tukang kebun yang bisa melakukannya. Dia suka sekali berada di kebun Lucca, memandangi betapa gelapnya kelopak bunga mawar sekaligus betapa berkilaunya saat terkena sinar matahari diiringi suara gemericik air mancur tidak jauh di belakangnya."Maaf bersikap
"Abigail." Suara itu menyentak keduanya, menoleh ke sumber suara dan menemukan Dom mendekat membawa satu kotak besar berpita pink di tangan. "Kalau begitu, saya permisi dulu Nona Abigail." Artur langsung mundur dan berbalik pergi melewati Dom begitu saja dan menghilang di dalam labirin mini Lucca. "Apa yang kalian bicarakan berdua?" tanya Dom. "Tidak." Abigail tersenyum kikuk, merunduk mengambil sekopnya dan memastikan tanaman bunga Lucca sudah selesai lalu kembali menatap Dom. "Dia hanya memberitahuku kalau Lucca akan pulang. Aku tidak seharusnya berada di sini, bukan?" "Oh ya." Dom menaikkan alis, menoleh ke arah di mana Artur pergi. "Perhatian sekali dia." "Apa yang ada di tanganmu?" tanya Abi penasaran, mencoba mengalihkan. "Ah ini." Dom tersenyum lebar. "Ayo kita ke kamarmu. Kau pasti akan suka melihatnya." "Itu." Abigail menunjuk kotak kadonya. "Untukku?' Dom merangkul Abi dan membawanya pergi dari taman, "Tentu saja untukmu. Ini paket yang dikirimkan oleh Tuan muda Ge
"Aku sedang bosan." Abigail berdiri di ambang pintu kamar Rosetta, memperhatikan wanita itu mengatur kanvas segi empat yang belum tersentuh goresan warna menghadap ke jendela yang langsung menampilkan pemandangan lautan di kejauhan dengan sinar bulannya yang berpendar terang. Menoleh saat menyadari Abigail masih berdiri mematung di tempatnya. "Kau akan menjadi objek lukisanku malam ini. Aku sedang ingin menggambar makhluk hidup. Masuklah." Tadi sore, Melanie memberitahunya jika Rosetta ingin ia datang ke kamarnya nanti malam dan menemaninya setelah semua pekerjaannya selesai. Abigail sama sekali tidak tahu kalau ternyata dia akan di lukis. "Aku?" Abigail masuk ke dalam. "Tutup pintunya. Aku tidak mau mendengar pekikan Kendra atau Berta jika melihatmu di sini." Abigail menurut, berjalan mendekati Rosetta yang langsung menariknya duduk di sofa empuk yang memang diletakkan begitu dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar dengan santai, meski hanya tebing, pepohona
Tok..Tok..Tok..Tok... Ketukan di pintu membuat keduanya langsung mengalihkan tatapan. "Siapa?" teriak Rosetta. "Aku." Abigail menaikkan alis mendengar suara itu. "Masuklah Brianna." Pintu terbuka, Brianna yang membawa buku tebal di tangannya masuk dan kaget melihatnya. Decakannya terdengar saat mendekat dan duduk di sofa yang lain. "Ternyata kau benar-benar penasaran melukisnya ya?" Rosetta hanya tersenyum miring, tidak menanggapi. "Hai, Bri," sapa Abigail. "Hai." Brianna menyandarkan punggung, kembali menatap bukunya. "Kalian akrab juga ya," ujar Abi membuka pembicaraan. Kedua wanita di hadapannya ini cantik luar biasa, bisa menjadi sosialita kelas atas dan hidup bahagia seandainya saja mereka memilih hidup bebas di luar sana bukannya terkurung dalam sangkar emas meski balasannya kebersamaan intim dengan Lucca. "Lebih nyaman berbicara dengannya dibandingkan Kendra atau Berta yang lebih suka menggunakan mulutnya untuk memaki orang," jawab Rosetta mewakili Brianna. Abigail