Tanpa disangka, keempat pasangan itu menyeringai dan mengeluarkan senjata mereka ke arah Lucca dan Serafine. Ternyata mereka adalah pembunuh bayaran yang di sewa Ravel dan perkelahian tidak terhindarkan. Lucca tidak tahu apakah informan yang mereka beli berkhianat hingga mereka bisa terjebak seperti ini. Lucca melumpuhkan tiga di antaranya, menebar peluru kesegala penjuru dan berkelahi dengan tangan kosong. "Kepalamu dihargai sangat tinggi,The Black Rose," ucap seorang wanita cantik berambut blonde berwajah asia yang Lucca tahu merupakan salah satu pembunuh bayaran paling keji di eropa, Prisilia Wang. Lucca menyeringai, "Ambil saja jika bukan kepalamu duluan yang aku injak." Prisilia mengibaskan rambut indahnya ke belakang, "Laki-laki tampan menggoda yang sombong sekali!" Setelah mengatakannya, Prisilia maju berkelahi menggunakan dua pisau di tangannya dengan tangkas dan cekatan. Lucca berusaha menghindar dan melawan balik. Satu tendangan dia lepaskan namun Prisilia menangkapnya
Paris, PerancisLucca mengepalkan tangan sekuat tenaga saat melihat Abigail harus berbaring lemah di tempat tidurnya setelah pingsannya tadi. Setelah mencoba memburu Ravel yang ternyata gagal, malam itu juga Lucca bertolak ke Paris meski tidak langsung mendatangi Abigail karena harus mengobati luka-luka yang dia dapat. Meski begitu,berada satu kota yang sama dengan istrinya membuatnya lebih tenang sembari mencari keberadaan Ravel. Namun, hatinya kembali sesak saat melihat istrinya yang nampak lemah dan kurus lalu pingsan begitu saja."Ya Tuhan—" Lucca berusaha mengabaikan ucapan haru bercampur bahagia itu juga tatapannya. "Aku benar-benar tidak menyangka, kau akan berada di sini.""Aku kemari bukan untuk menjadi tamumu!!!" desis Lucca.Carla yang meneteskan air mata haru langsung menggelangkan kepala, "Tidak..tidak..tidak. Aku tidak peduli alasannya namun bisa melihatmu di dalam rumahku ini sungguh sebuah kebahagiaan."Sudah sejak lama, setelah kepergian orang tuanya, Lucca tidak pern
Abigail berusaha membuka matanya yang terasa berat. Tidak peduli sekalipun tubuhnya terasa sakit luar biasa. Dia tahu, ada yang sedang menunggunya bangun. Genggaman erat yang terasa diantara jemarinya membuktikan hal itu. Ah, suaminya pasti akan memasang wajah sangar dengan tatapan khawatir lagi karena dia untuk kesekian kalinya sejak kedatangannya ke Paris dan kalah telak tidak bisa mengubah keputusannya,pingsan lagi. Berada di antara rasa sakit yang mendera, menapaki jalan antara hidup dan mati seiring membesarnya perut yang dia lindungi dengan segenap hati dan kemampuan. "Kenapa—" suara Lucca sarat akan keputusasaan setelah dia akhirnya mampu membuka mata dan menemukan tatapan suaminya. "Kenapa kau masih saja bisa tersenyum di saat seperti ini, Abi?" Satu hal yang bisa melepaskan semua rasa lelah dan sakit yang Abigail rasakan selama hamil hanyalah karena Lucca sudah kembali ke sisinya meski tatapan matanya kadang seperti memohon agar Abigail mau memikirkan ulang keputusannya. Sa
Lucca mengangkat kepala dan berucap lirih, "Aku belum siap jika sesuatu terjadi padamu." Abigail tersenyum, "Jika memang sudah takdirku seperti itu maka berjanjilah untuk menjaga mereka agar tetap aman. Jangan biarkan ada orang yang akan mencelakakan mereka. Pastikan itu dengan nyawamu sendiri." Lucca menundukkan kepala, mengecup punggung tangan Abigail. "Kau benar-benar mampu membuatku tidak berdaya." Abigail tersenyum, "Semua akan indah pada waktunya." Lucca bergeming, membuat keheningan diantara mereka yang terasa panjang dan tidak berujung. Diantara keputusasan juga harapan. Untuk pertama kalinya Lucca berharap Tuhan mendengar rasa putus asanya dan mengabulkan harapannya. Sekali ini saja. ****** "Ah, rasanya segar sekali." Abigail menengadahkan wajah ke arah sinar matahari sore yang menerpa wajahnya setelah beberapa minggu hanya terbaring di kamar. Semilir angin yang lembut meniup beberapa helai rambut panjangnya. "Hal sederhana seperti jalan-jalan di taman seperti ini
"Dia tetap belum bisa menerimaku rupanya," lirihan sedih Nyonya Carla yang tiba-tiba duduk di sampingnya membuat Abigail menoleh. "Mama pikir, sering keluar masuk rumah ini meski dia sama sekali tidak memandangku akan membuatnya pelan-pelan mau menerima keberadaanku." "Tenanglah Mam, dia hanya sedang berambisi memburu seseorang saat ini," sahut Geovani yang duduk di samping mamanya sembari meminum anggur merah. Malam ini Nyonya Carla membuat acara makan malam dengan dihadiri seluruh keluarga hanya untuk menghibur Abigail dan membuktikan dengan frontal jika dia sudah dianggap sebagai keluarganya. Juga sebagai wujud syukur karena sudah tiga mingguan ini keadaannya tetap stabil tanpa diwarnai drama kesakitan seperti yang sering terjadi. "Ravel Brigton, lagi?" sahut Mamanya tidak percaya. "Apa dia tidak bisa duduk diam di sini saja bersama istrinya yang sebentar lagi akan melahirkan?" "Kau tahu bagaimana Lucca. Lagipula Ravel Brigton memang seharusnya tidak bisa dibiarkan hidup bebas
Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan sampai suara ponsel Abigail membuat mereka memisahkan diri. Dilihatnya layarnya menampilkan nama suaminya."Aku harus mengangkat panggilan ini," ucapnya pada Odelia."Aku akan mencari Mama."Àbigail mengangguk, Odelia berlalu pergi saat dia mendengar suara suaminya."Aku merindukanmu," bisiknya di sebrang sana.Abigail tersenyum, melangkah pelan ke arah beranda luar melihat kilauan air kolam renang yang memantulkan sinar bulan. Langit bergitu bersih dan indah. Semilir angin menerbangkan rambutnya yang halus."Kau bohong. Kalau kau rindu seharusnya aku tidak sendirian saat ini." Abigail mengigit ujung kukunya sembari berdiri tidak jauh dari kolam renang yang suasananya temaram."Tenang saja aku akan datang. Berdirilah di area kolam."Abigail tersenyum, "Kau tahu, aku sejak tadi sudah berdiri di sini.""Aku akan segera datang. Selama menunggu, kau bisa memandangi bulan."Abigail tertawa, "Memangnya kau akan muncul dari sana?""Siapa yang tahu
Lucca Alonzo POVAmarah di dalam dadanya terbakar hebat. Berani-beraninya seseorang berniat mencelakai istrinya tepat di depan matanya. Meski penyusup wanita itu yang dia perkirakan suruhan Ravel Brigton sudah dia tembak mati dengan tangannya sendiri, amarahnya belum mereda. Terlebih lagi, istrinya sedang dalam keadaan sekarat saat ini.Selama perjalanan menuju rumah sakit menggunakan helikopter, Lucca hanya bisa memeluk tubuh istrinya yang basah, dingin dan tidak bergerak dengan perasaan takut juga pikiran berkecamuk. Marah pada dirinya sendiri karena merasa tidak berdaya dalam situasi seperti ini."Please...please,,,please...."lirihnyaa, memeluk Abigail diliputi perasaan takut. "Bertahanlah, sayang. Kau harus kembali padaku dengan selamat."Abigail bergeming, Lucca menggertakkan giginya kuat dengan tangan yang terkepal. "Kau sudah berjanji padaku."Tidak peduli bagaimana caranya, Abigail harus bisa diselamatkan. Maka saat helikopter mendarat di rooftop rumah sakit di mana tim dokte
Penantian yang dirasakannya menyesakkan dada. Sibuknya ruang operasi juga semakin memperburuk perasaannya. Rasanya dia tidak sanggup lagi menunggu terlalu lama karena hal itu hanya akan membuat perasaan kehilangannya semakin nyata. Malaikatnya. Abigailnya. "Please, Abi—" hanya itu yang sanggup dia ucapkan selama menunggu. Permohonan yang semakin lama terdengar sarat putus asa. "Please...please..please..." Hingga akhirnya jantungnya berdegup kencang saat tangisan anak pertamanya menggema membuat Lucca tercengang untuk beberapa saat. Itu adalah suara yang tidak pernah dia bayangkan akan dia dengar karena dulu dia sama sekali tidak pernah memimpikan hal seperti ini. Tangisan yang menggema itu menyadarkannya bahwa saat ini dia resmi menjadi seorang Papa. "Dia datang, sayang." Tangannya yang menggenggam tangan Abi bergetar hebat. "Dia datang. Malaikat mungil kita." Sangking menghayati suara tangisan itu, tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Kebahagiaannya tak terbendung. Pantaskah dia