Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan sampai suara ponsel Abigail membuat mereka memisahkan diri. Dilihatnya layarnya menampilkan nama suaminya."Aku harus mengangkat panggilan ini," ucapnya pada Odelia."Aku akan mencari Mama."Àbigail mengangguk, Odelia berlalu pergi saat dia mendengar suara suaminya."Aku merindukanmu," bisiknya di sebrang sana.Abigail tersenyum, melangkah pelan ke arah beranda luar melihat kilauan air kolam renang yang memantulkan sinar bulan. Langit bergitu bersih dan indah. Semilir angin menerbangkan rambutnya yang halus."Kau bohong. Kalau kau rindu seharusnya aku tidak sendirian saat ini." Abigail mengigit ujung kukunya sembari berdiri tidak jauh dari kolam renang yang suasananya temaram."Tenang saja aku akan datang. Berdirilah di area kolam."Abigail tersenyum, "Kau tahu, aku sejak tadi sudah berdiri di sini.""Aku akan segera datang. Selama menunggu, kau bisa memandangi bulan."Abigail tertawa, "Memangnya kau akan muncul dari sana?""Siapa yang tahu
Lucca Alonzo POVAmarah di dalam dadanya terbakar hebat. Berani-beraninya seseorang berniat mencelakai istrinya tepat di depan matanya. Meski penyusup wanita itu yang dia perkirakan suruhan Ravel Brigton sudah dia tembak mati dengan tangannya sendiri, amarahnya belum mereda. Terlebih lagi, istrinya sedang dalam keadaan sekarat saat ini.Selama perjalanan menuju rumah sakit menggunakan helikopter, Lucca hanya bisa memeluk tubuh istrinya yang basah, dingin dan tidak bergerak dengan perasaan takut juga pikiran berkecamuk. Marah pada dirinya sendiri karena merasa tidak berdaya dalam situasi seperti ini."Please...please,,,please...."lirihnyaa, memeluk Abigail diliputi perasaan takut. "Bertahanlah, sayang. Kau harus kembali padaku dengan selamat."Abigail bergeming, Lucca menggertakkan giginya kuat dengan tangan yang terkepal. "Kau sudah berjanji padaku."Tidak peduli bagaimana caranya, Abigail harus bisa diselamatkan. Maka saat helikopter mendarat di rooftop rumah sakit di mana tim dokte
Penantian yang dirasakannya menyesakkan dada. Sibuknya ruang operasi juga semakin memperburuk perasaannya. Rasanya dia tidak sanggup lagi menunggu terlalu lama karena hal itu hanya akan membuat perasaan kehilangannya semakin nyata. Malaikatnya. Abigailnya. "Please, Abi—" hanya itu yang sanggup dia ucapkan selama menunggu. Permohonan yang semakin lama terdengar sarat putus asa. "Please...please..please..." Hingga akhirnya jantungnya berdegup kencang saat tangisan anak pertamanya menggema membuat Lucca tercengang untuk beberapa saat. Itu adalah suara yang tidak pernah dia bayangkan akan dia dengar karena dulu dia sama sekali tidak pernah memimpikan hal seperti ini. Tangisan yang menggema itu menyadarkannya bahwa saat ini dia resmi menjadi seorang Papa. "Dia datang, sayang." Tangannya yang menggenggam tangan Abi bergetar hebat. "Dia datang. Malaikat mungil kita." Sangking menghayati suara tangisan itu, tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Kebahagiaannya tak terbendung. Pantaskah dia
Setelah mengetahui bahwa ibunya memiliki anak yang lain hingga menjadi penyebab malapetaka keluarganya, Lucca meragukan yang namanya pernikahan. Dia bahkan pernah mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak mendekati hal-hal yang berbau pernikahan sampai Abigail datang dan membuatnya tanpa pikir panjang berkomitmen hanya agar wanita itu berada di sisinya. Sampai sebelum ini pun dia masih tidak bisa memaafkan kedua orang tuanya juga anak perempuan pembawa masalah yang entah di mana keberadaannya. Lucca tidak mau tahu dan juga tidak peduli. Sekarang dunianya sudah berubah. Hidupnya bukan lagi tentang dirinya sendiri beserta luka yang dia bawa sejak kecil namun segalanya saat ini tentang istri dan anaknya. Setelah menjadi orang tua, Lucca perlahan mulai paham bahwa setiap anak yang dilahirkan bukanlah suatu hal yang pantas disalahkan. Mereka lahir tanpa tahu apa-apa dan tidak seharusnyalah di salahkan atas apa yang terjadi. Meski begitu, dia tetap tidak ingin mencari dimana saudara pere
Jemarinya bergerak pelan di atas tuts piano. Lantunan irama menyesakkan hati menggema memenuhi ruangan. Sejak Abigail koma setelah melahirkan si kembar, Lucca lebih banyak berada di mansion menemani sembari memainkan piano agar suasana hatinya sedikit lebih tenang mengalahkan suara mesin pemantau tubuh Abigail yang sedikit mengganggunya.Berharap, Abigail bisa mendengar suara hatinya melalui nada-nada yang dia mainkan. Berharap, Abigail akan merasa iba padanya yang menderita lalu bangun untuk memeluk dirinya yang kesepian.Tapi, sebulan berlalu, Abigail masih saja terbaring di sana.Alice bilang, keadaan Abigail stabil meski dia belum bangun. Mungkin istrinya butuh istirahat yang lebih lama setelah apa yang dia alami selama ini dan dia akan menunggu kapapun istrinya siap untuk bangun selama apapun itu asal dia tidak ditinggalkan.Untuk sesaat jemarinya terhenti, alunan nadanya menghilang. Lucca menatap tubuh Abigail yang terbaring dengan perasaan rindu tidak terhingga. Ingin menceritak
Lucca berbalik dan melihat Sofia yang membawa putrinya yang nampak sudah mandi masuk ke kamar dan menghampirinya. Lucca membuka bajunya hingga bertelanjang dada, mengambil alih putrinya dan Sofia langsung berbalik pergi keluar. Lucca menimangnya penuh sayang, membawanya mendekati Abigail dan mendekatkan wajah bayinya ke Abigail. "Cepatlah kembali, sayang." Setelah beberapa saat, Lucca menariknya merapat pada dadanya dan membawanya keluar. Duduk di kursi panjang dan merebahkan diri di sana sementara putrinya dia baringkan di dadanya dan menepuk pelan. Awalnya dia menggeliat meski lama kelamaan dia mulai tertidur dengan nyaman. Lucca memeluknya dengan erat, memastikan bahwa dia dilindungi. Dipandanginya awan sore yang berarak di atas diantara semerbaknya wangi bunga mawar memikirkan banyak hal. Ravel Brigton yang masih dalam pengejaran. Lucca berjanji jika laki-laki itu tidak akan selamat darinya. Dia harus membalas semua hal yang telah dilakukan laki-laki psikopat itu. Sayup-sayup
"Hanya seseorang." Tangan anak itu terulur, anehnya meski bingung, Abigail menyambutnya dan malah menggenggamnya erat. "Seseorang yang ingin sekali bisa bertemu denganmu meski hanya sekali." Anak lelaki itu membawanya duduk di bangku putih yang entah sejak kapan ada di dekat patung dewi itu. Seingatnya tadi tidak ada, atau memang dia yang tidak terlalu memperhatikan. Duduk berhadapan dan saling menatap satu sama lain. "Seperti dugaanku, kau cantik." Abigail terpana melihat senyuman sekilasnya yang menghangatkan hatinya. "Aku tidak mengenalmu." "Tidak apa. Kau pasti akan mengenalku meski hanya sebatas nama." Abigail menelengkan kepala, menatap lekat wajah itu agar bisa dia ingat di dalam kepala dan hatinya. Wajah yang entah kenapa bisa membuat hatinya tenang dan bahagia meskipun dia bingung. "Kalau begitu siapa namamu?" Anak lelaki itu melipat kedua lengannya di dada dan duduk bersandar. "Sebelum aku memberitahukan namaku apa kau mau berjanji sesuatu," ucapnya sambil menoleh. "J
Abigail perlahan membuka matanya meski kepalanya terasa pusing. Menggerang sesaat karena rasa pegal juga sakit di beberapa bagian tubuhnya yang kaku. "Demi Tuhan!!!" Suara pekikan tertahan seseorang membuatnya menoleh. Samar-samar dia mengenali wanita yang berdiri di sampingnya saat ini yang tengah menangis sembari menutup mulutnya. "Kau kembali, Abigail." "Sofia," lirih Abi, tenggorokannya terasa tercekat. Sofia bergerak cepat mengambilkan minum dan membantunya menegak isi gelas hingga tandas. "Aku akan panggilkan dokter Alice agar segera kemari." Sofia menelepon dengan cepat di saat Abigail berusaha mengembalikan kesadarannya yang masih terpecah belah hingga dia ingat sedang mengandung anak kembarnya. Dicengkramnya lengan Sofia yang berjengit kaget. "Lucca? Anak-anakku?" Abigail menangis. "Di mana mereka?" Sofia melepas cengkramannya, merapikan rambut Abigail sembari menenangkan,"Mereka baik-baik saja. Kau tenang saja." "Aku ingin melihat mereka." Sofia mengangguk, "Kau