Penantian yang dirasakannya menyesakkan dada. Sibuknya ruang operasi juga semakin memperburuk perasaannya. Rasanya dia tidak sanggup lagi menunggu terlalu lama karena hal itu hanya akan membuat perasaan kehilangannya semakin nyata. Malaikatnya. Abigailnya. "Please, Abi—" hanya itu yang sanggup dia ucapkan selama menunggu. Permohonan yang semakin lama terdengar sarat putus asa. "Please...please..please..." Hingga akhirnya jantungnya berdegup kencang saat tangisan anak pertamanya menggema membuat Lucca tercengang untuk beberapa saat. Itu adalah suara yang tidak pernah dia bayangkan akan dia dengar karena dulu dia sama sekali tidak pernah memimpikan hal seperti ini. Tangisan yang menggema itu menyadarkannya bahwa saat ini dia resmi menjadi seorang Papa. "Dia datang, sayang." Tangannya yang menggenggam tangan Abi bergetar hebat. "Dia datang. Malaikat mungil kita." Sangking menghayati suara tangisan itu, tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Kebahagiaannya tak terbendung. Pantaskah dia
Setelah mengetahui bahwa ibunya memiliki anak yang lain hingga menjadi penyebab malapetaka keluarganya, Lucca meragukan yang namanya pernikahan. Dia bahkan pernah mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak mendekati hal-hal yang berbau pernikahan sampai Abigail datang dan membuatnya tanpa pikir panjang berkomitmen hanya agar wanita itu berada di sisinya. Sampai sebelum ini pun dia masih tidak bisa memaafkan kedua orang tuanya juga anak perempuan pembawa masalah yang entah di mana keberadaannya. Lucca tidak mau tahu dan juga tidak peduli. Sekarang dunianya sudah berubah. Hidupnya bukan lagi tentang dirinya sendiri beserta luka yang dia bawa sejak kecil namun segalanya saat ini tentang istri dan anaknya. Setelah menjadi orang tua, Lucca perlahan mulai paham bahwa setiap anak yang dilahirkan bukanlah suatu hal yang pantas disalahkan. Mereka lahir tanpa tahu apa-apa dan tidak seharusnyalah di salahkan atas apa yang terjadi. Meski begitu, dia tetap tidak ingin mencari dimana saudara pere
Jemarinya bergerak pelan di atas tuts piano. Lantunan irama menyesakkan hati menggema memenuhi ruangan. Sejak Abigail koma setelah melahirkan si kembar, Lucca lebih banyak berada di mansion menemani sembari memainkan piano agar suasana hatinya sedikit lebih tenang mengalahkan suara mesin pemantau tubuh Abigail yang sedikit mengganggunya.Berharap, Abigail bisa mendengar suara hatinya melalui nada-nada yang dia mainkan. Berharap, Abigail akan merasa iba padanya yang menderita lalu bangun untuk memeluk dirinya yang kesepian.Tapi, sebulan berlalu, Abigail masih saja terbaring di sana.Alice bilang, keadaan Abigail stabil meski dia belum bangun. Mungkin istrinya butuh istirahat yang lebih lama setelah apa yang dia alami selama ini dan dia akan menunggu kapapun istrinya siap untuk bangun selama apapun itu asal dia tidak ditinggalkan.Untuk sesaat jemarinya terhenti, alunan nadanya menghilang. Lucca menatap tubuh Abigail yang terbaring dengan perasaan rindu tidak terhingga. Ingin menceritak
Lucca berbalik dan melihat Sofia yang membawa putrinya yang nampak sudah mandi masuk ke kamar dan menghampirinya. Lucca membuka bajunya hingga bertelanjang dada, mengambil alih putrinya dan Sofia langsung berbalik pergi keluar. Lucca menimangnya penuh sayang, membawanya mendekati Abigail dan mendekatkan wajah bayinya ke Abigail. "Cepatlah kembali, sayang." Setelah beberapa saat, Lucca menariknya merapat pada dadanya dan membawanya keluar. Duduk di kursi panjang dan merebahkan diri di sana sementara putrinya dia baringkan di dadanya dan menepuk pelan. Awalnya dia menggeliat meski lama kelamaan dia mulai tertidur dengan nyaman. Lucca memeluknya dengan erat, memastikan bahwa dia dilindungi. Dipandanginya awan sore yang berarak di atas diantara semerbaknya wangi bunga mawar memikirkan banyak hal. Ravel Brigton yang masih dalam pengejaran. Lucca berjanji jika laki-laki itu tidak akan selamat darinya. Dia harus membalas semua hal yang telah dilakukan laki-laki psikopat itu. Sayup-sayup
"Hanya seseorang." Tangan anak itu terulur, anehnya meski bingung, Abigail menyambutnya dan malah menggenggamnya erat. "Seseorang yang ingin sekali bisa bertemu denganmu meski hanya sekali." Anak lelaki itu membawanya duduk di bangku putih yang entah sejak kapan ada di dekat patung dewi itu. Seingatnya tadi tidak ada, atau memang dia yang tidak terlalu memperhatikan. Duduk berhadapan dan saling menatap satu sama lain. "Seperti dugaanku, kau cantik." Abigail terpana melihat senyuman sekilasnya yang menghangatkan hatinya. "Aku tidak mengenalmu." "Tidak apa. Kau pasti akan mengenalku meski hanya sebatas nama." Abigail menelengkan kepala, menatap lekat wajah itu agar bisa dia ingat di dalam kepala dan hatinya. Wajah yang entah kenapa bisa membuat hatinya tenang dan bahagia meskipun dia bingung. "Kalau begitu siapa namamu?" Anak lelaki itu melipat kedua lengannya di dada dan duduk bersandar. "Sebelum aku memberitahukan namaku apa kau mau berjanji sesuatu," ucapnya sambil menoleh. "J
Abigail perlahan membuka matanya meski kepalanya terasa pusing. Menggerang sesaat karena rasa pegal juga sakit di beberapa bagian tubuhnya yang kaku. "Demi Tuhan!!!" Suara pekikan tertahan seseorang membuatnya menoleh. Samar-samar dia mengenali wanita yang berdiri di sampingnya saat ini yang tengah menangis sembari menutup mulutnya. "Kau kembali, Abigail." "Sofia," lirih Abi, tenggorokannya terasa tercekat. Sofia bergerak cepat mengambilkan minum dan membantunya menegak isi gelas hingga tandas. "Aku akan panggilkan dokter Alice agar segera kemari." Sofia menelepon dengan cepat di saat Abigail berusaha mengembalikan kesadarannya yang masih terpecah belah hingga dia ingat sedang mengandung anak kembarnya. Dicengkramnya lengan Sofia yang berjengit kaget. "Lucca? Anak-anakku?" Abigail menangis. "Di mana mereka?" Sofia melepas cengkramannya, merapikan rambut Abigail sembari menenangkan,"Mereka baik-baik saja. Kau tenang saja." "Aku ingin melihat mereka." Sofia mengangguk, "Kau
Meski harus terjatuh beberapa kali saat Abigail mencoba untuk berjalan karena ototnya masih kaku jika digerakkan, akhirnya dia bisa berjalan dipercobaan yang entah keberapa namun itu sudah cukup baginya."Sofia, bisa kau papah aku menemui mereka?""Tentu. Mereka sudah lama menunggumu."Abigail jelas sudah tidak sabar lagi mau melihat anak-anaknya. Perasaan rindu itu menguak tanpa bisa dia tahan. Mencoba keras berjalan meski tubuhnya masih terasa sakit dan mengikuti Sofia yang membawanya keluar. Jantungnya bergedup kencang saat melihat pemandangan yang menghangatkan hatinya. Abigail berhenti dan menatap Sofia sesaat sebelum melepas pegangannya dan perlahan tapi pasti berjalan sendiri mendekati Lucca yang nampak tertidur bersama si cantik begaun pink di dadanya.Tapi, kemana anaknya yang satu lagi?Saat Abigail tengah memandangi mereka sembari menangis tanpa suara, Lucca begerak dan perlahan membuka matanya. Abigail tersenyum menyambut."Terima kasih sudah menjaga anak kita, sayang," l
Abigail tidak pernah menyangka jika dia akan kehilangan salah satu anaknya meski saat hamil dulu resiko kehilangan mereka memang cukup besar. Tetap saja sebagai seorang ibu, kehilangan salah satu anaknya memberikan pukulan tersendiri yang membuat dadanya sakit seperti terhimpit batu. kenapa setelah bangun, dia malah bertemu dengan anak lelakinya dengan kondisi seperti ini. Terduduk sembari menangis memandangi sederet nama yang tertera di batu nisan dengan Lucca yang memeluknya dari samping. Tangisannya bukan saja karena dia seorang ibu yang kehilangan anaknya tapi juga tangisannya karena alasan lain yang tidak bisa dia mengerti. Dadanya terasa begitu nyeri. Rasa kehilangan itu menyeruak begitu saja. Abigail menutup mulutnya dengan tangan, tertunduk sembari menangis yang coba dia tahan. Untuk rasa sakit dan kehilangan yang begitu dalam. "Dia pasti bahagia di sana," lirih Lucca. Abigail menangis, Lucca menariknya merapat ke dada hingga Abigail bisa menangis di sana. Digenggamnya era
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj