Abigail tidak pernah menyangka jika dia akan kehilangan salah satu anaknya meski saat hamil dulu resiko kehilangan mereka memang cukup besar. Tetap saja sebagai seorang ibu, kehilangan salah satu anaknya memberikan pukulan tersendiri yang membuat dadanya sakit seperti terhimpit batu. kenapa setelah bangun, dia malah bertemu dengan anak lelakinya dengan kondisi seperti ini. Terduduk sembari menangis memandangi sederet nama yang tertera di batu nisan dengan Lucca yang memeluknya dari samping. Tangisannya bukan saja karena dia seorang ibu yang kehilangan anaknya tapi juga tangisannya karena alasan lain yang tidak bisa dia mengerti. Dadanya terasa begitu nyeri. Rasa kehilangan itu menyeruak begitu saja. Abigail menutup mulutnya dengan tangan, tertunduk sembari menangis yang coba dia tahan. Untuk rasa sakit dan kehilangan yang begitu dalam. "Dia pasti bahagia di sana," lirih Lucca. Abigail menangis, Lucca menariknya merapat ke dada hingga Abigail bisa menangis di sana. Digenggamnya era
"Kau akan kami lindungi dengan sekuat tenaga," bisiknya sembari tetap memeluk Lucia yang menarik-narik rambutnya. Abigail merenggangkan pelukannya, mengangkat Lucia ke udara yang langsung tersenyum kegirangan membuat Abigail mau tidak mau ikut tertawa. Mata hijau itu menatapnya penuh suka cita, bibirnya melebarkan senyuman dan angin sore yang lembut menerbangkan riak rambutnya yang halus. Bayinya yang cantik dan sempurna. Hingga bunyi mesin helikopter yang meraung di langit menarik fokus Abigail ke udara. Dipeluknya Lucia saat helikopter itu lewat di atas kepalanya menciptakan hembusan angin yang cukup kuat dan perlahan mulai mendarat di landasan helikopter yang berada tidak jauh dari taman bunga. Abigail tersenyum, tidak bergerak di tempatnya memandangi kejauhan. Pintu helikopter itu terbuka dan sosok yang dirindukannya itu turun dari sana. Meski samar, Abigail bisa melihat Lucca Alonzo tersenyum padanya sebelum melambaikan tangan dan berjalan menghampiri. Butuh waktu bagi Lucca u
"Jangan seperti itu. Mama Carla begitu memperhatikan kita. Lucia juga sudah seperti cucu baginya." "Cucu apanya!!" Ucap Lucca dengan nada kesal. "Dia suka sekali berbuat seenaknya." Meski hubungan mereka belum membaik namun Lucca sudah tidak terlalu terusik dengan kehadiran Mama Carla yang mirip dengan almarhum Mamanya. "Apa yang kau lakukan di Jerman?" Tanya Abi. "Bertemu dengan Aldrick." Abigail menghentikan langkah kakinya, "Kau menemui Aldrick?" Lucca mengangguk, "Untuk yang pertama kalinya setelah bertahun-tahun." "Apa yang akhirnya membawamu sampai menemuinya?" Lucca berhenti sesaat, menatap Abigail yang balik menatapnya, menunggu. Hubungan pertemanan suaminya dengan Aldrick memang belum membaik dan Abigail penasaran dengan alasannya. "Dia sepertinya menemukan adik tiriku." Abigail terdiam cukup lama, memperhatikan kegusaran Lucca yang mengalihkan tatapannya dan meciumi leher Lucia. Adik tiri Lucca yang secara tidak langsung memberikan luka yang begitu mendalam. Seka
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,