Setelah mengetahui bahwa ibunya memiliki anak yang lain hingga menjadi penyebab malapetaka keluarganya, Lucca meragukan yang namanya pernikahan. Dia bahkan pernah mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak mendekati hal-hal yang berbau pernikahan sampai Abigail datang dan membuatnya tanpa pikir panjang berkomitmen hanya agar wanita itu berada di sisinya. Sampai sebelum ini pun dia masih tidak bisa memaafkan kedua orang tuanya juga anak perempuan pembawa masalah yang entah di mana keberadaannya. Lucca tidak mau tahu dan juga tidak peduli. Sekarang dunianya sudah berubah. Hidupnya bukan lagi tentang dirinya sendiri beserta luka yang dia bawa sejak kecil namun segalanya saat ini tentang istri dan anaknya. Setelah menjadi orang tua, Lucca perlahan mulai paham bahwa setiap anak yang dilahirkan bukanlah suatu hal yang pantas disalahkan. Mereka lahir tanpa tahu apa-apa dan tidak seharusnyalah di salahkan atas apa yang terjadi. Meski begitu, dia tetap tidak ingin mencari dimana saudara pere
Jemarinya bergerak pelan di atas tuts piano. Lantunan irama menyesakkan hati menggema memenuhi ruangan. Sejak Abigail koma setelah melahirkan si kembar, Lucca lebih banyak berada di mansion menemani sembari memainkan piano agar suasana hatinya sedikit lebih tenang mengalahkan suara mesin pemantau tubuh Abigail yang sedikit mengganggunya.Berharap, Abigail bisa mendengar suara hatinya melalui nada-nada yang dia mainkan. Berharap, Abigail akan merasa iba padanya yang menderita lalu bangun untuk memeluk dirinya yang kesepian.Tapi, sebulan berlalu, Abigail masih saja terbaring di sana.Alice bilang, keadaan Abigail stabil meski dia belum bangun. Mungkin istrinya butuh istirahat yang lebih lama setelah apa yang dia alami selama ini dan dia akan menunggu kapapun istrinya siap untuk bangun selama apapun itu asal dia tidak ditinggalkan.Untuk sesaat jemarinya terhenti, alunan nadanya menghilang. Lucca menatap tubuh Abigail yang terbaring dengan perasaan rindu tidak terhingga. Ingin menceritak
Lucca berbalik dan melihat Sofia yang membawa putrinya yang nampak sudah mandi masuk ke kamar dan menghampirinya. Lucca membuka bajunya hingga bertelanjang dada, mengambil alih putrinya dan Sofia langsung berbalik pergi keluar. Lucca menimangnya penuh sayang, membawanya mendekati Abigail dan mendekatkan wajah bayinya ke Abigail. "Cepatlah kembali, sayang." Setelah beberapa saat, Lucca menariknya merapat pada dadanya dan membawanya keluar. Duduk di kursi panjang dan merebahkan diri di sana sementara putrinya dia baringkan di dadanya dan menepuk pelan. Awalnya dia menggeliat meski lama kelamaan dia mulai tertidur dengan nyaman. Lucca memeluknya dengan erat, memastikan bahwa dia dilindungi. Dipandanginya awan sore yang berarak di atas diantara semerbaknya wangi bunga mawar memikirkan banyak hal. Ravel Brigton yang masih dalam pengejaran. Lucca berjanji jika laki-laki itu tidak akan selamat darinya. Dia harus membalas semua hal yang telah dilakukan laki-laki psikopat itu. Sayup-sayup
"Hanya seseorang." Tangan anak itu terulur, anehnya meski bingung, Abigail menyambutnya dan malah menggenggamnya erat. "Seseorang yang ingin sekali bisa bertemu denganmu meski hanya sekali." Anak lelaki itu membawanya duduk di bangku putih yang entah sejak kapan ada di dekat patung dewi itu. Seingatnya tadi tidak ada, atau memang dia yang tidak terlalu memperhatikan. Duduk berhadapan dan saling menatap satu sama lain. "Seperti dugaanku, kau cantik." Abigail terpana melihat senyuman sekilasnya yang menghangatkan hatinya. "Aku tidak mengenalmu." "Tidak apa. Kau pasti akan mengenalku meski hanya sebatas nama." Abigail menelengkan kepala, menatap lekat wajah itu agar bisa dia ingat di dalam kepala dan hatinya. Wajah yang entah kenapa bisa membuat hatinya tenang dan bahagia meskipun dia bingung. "Kalau begitu siapa namamu?" Anak lelaki itu melipat kedua lengannya di dada dan duduk bersandar. "Sebelum aku memberitahukan namaku apa kau mau berjanji sesuatu," ucapnya sambil menoleh. "J
Abigail perlahan membuka matanya meski kepalanya terasa pusing. Menggerang sesaat karena rasa pegal juga sakit di beberapa bagian tubuhnya yang kaku. "Demi Tuhan!!!" Suara pekikan tertahan seseorang membuatnya menoleh. Samar-samar dia mengenali wanita yang berdiri di sampingnya saat ini yang tengah menangis sembari menutup mulutnya. "Kau kembali, Abigail." "Sofia," lirih Abi, tenggorokannya terasa tercekat. Sofia bergerak cepat mengambilkan minum dan membantunya menegak isi gelas hingga tandas. "Aku akan panggilkan dokter Alice agar segera kemari." Sofia menelepon dengan cepat di saat Abigail berusaha mengembalikan kesadarannya yang masih terpecah belah hingga dia ingat sedang mengandung anak kembarnya. Dicengkramnya lengan Sofia yang berjengit kaget. "Lucca? Anak-anakku?" Abigail menangis. "Di mana mereka?" Sofia melepas cengkramannya, merapikan rambut Abigail sembari menenangkan,"Mereka baik-baik saja. Kau tenang saja." "Aku ingin melihat mereka." Sofia mengangguk, "Kau
Meski harus terjatuh beberapa kali saat Abigail mencoba untuk berjalan karena ototnya masih kaku jika digerakkan, akhirnya dia bisa berjalan dipercobaan yang entah keberapa namun itu sudah cukup baginya."Sofia, bisa kau papah aku menemui mereka?""Tentu. Mereka sudah lama menunggumu."Abigail jelas sudah tidak sabar lagi mau melihat anak-anaknya. Perasaan rindu itu menguak tanpa bisa dia tahan. Mencoba keras berjalan meski tubuhnya masih terasa sakit dan mengikuti Sofia yang membawanya keluar. Jantungnya bergedup kencang saat melihat pemandangan yang menghangatkan hatinya. Abigail berhenti dan menatap Sofia sesaat sebelum melepas pegangannya dan perlahan tapi pasti berjalan sendiri mendekati Lucca yang nampak tertidur bersama si cantik begaun pink di dadanya.Tapi, kemana anaknya yang satu lagi?Saat Abigail tengah memandangi mereka sembari menangis tanpa suara, Lucca begerak dan perlahan membuka matanya. Abigail tersenyum menyambut."Terima kasih sudah menjaga anak kita, sayang," l
Abigail tidak pernah menyangka jika dia akan kehilangan salah satu anaknya meski saat hamil dulu resiko kehilangan mereka memang cukup besar. Tetap saja sebagai seorang ibu, kehilangan salah satu anaknya memberikan pukulan tersendiri yang membuat dadanya sakit seperti terhimpit batu. kenapa setelah bangun, dia malah bertemu dengan anak lelakinya dengan kondisi seperti ini. Terduduk sembari menangis memandangi sederet nama yang tertera di batu nisan dengan Lucca yang memeluknya dari samping. Tangisannya bukan saja karena dia seorang ibu yang kehilangan anaknya tapi juga tangisannya karena alasan lain yang tidak bisa dia mengerti. Dadanya terasa begitu nyeri. Rasa kehilangan itu menyeruak begitu saja. Abigail menutup mulutnya dengan tangan, tertunduk sembari menangis yang coba dia tahan. Untuk rasa sakit dan kehilangan yang begitu dalam. "Dia pasti bahagia di sana," lirih Lucca. Abigail menangis, Lucca menariknya merapat ke dada hingga Abigail bisa menangis di sana. Digenggamnya era
"Kau akan kami lindungi dengan sekuat tenaga," bisiknya sembari tetap memeluk Lucia yang menarik-narik rambutnya. Abigail merenggangkan pelukannya, mengangkat Lucia ke udara yang langsung tersenyum kegirangan membuat Abigail mau tidak mau ikut tertawa. Mata hijau itu menatapnya penuh suka cita, bibirnya melebarkan senyuman dan angin sore yang lembut menerbangkan riak rambutnya yang halus. Bayinya yang cantik dan sempurna. Hingga bunyi mesin helikopter yang meraung di langit menarik fokus Abigail ke udara. Dipeluknya Lucia saat helikopter itu lewat di atas kepalanya menciptakan hembusan angin yang cukup kuat dan perlahan mulai mendarat di landasan helikopter yang berada tidak jauh dari taman bunga. Abigail tersenyum, tidak bergerak di tempatnya memandangi kejauhan. Pintu helikopter itu terbuka dan sosok yang dirindukannya itu turun dari sana. Meski samar, Abigail bisa melihat Lucca Alonzo tersenyum padanya sebelum melambaikan tangan dan berjalan menghampiri. Butuh waktu bagi Lucca u