Paris, Perancis, 5 bulan kemudian,Kondisinya lebih buruk dari yang dia perkirkan.Abigail lebih sering muntah darah, tubuhnya harus dipasangi infus agar dia tidak semakin melemah, badannya mengurus meski wajahnya nampak menyiratkan kebahagiaan. Mungkin inilah yang disebut cinta sejati tanpa batas. Mencintai sesuatu yang bahkan belum dia temui namun rela memberikan nyawanya sekalipun agar mereka bisa hidup. Abigail tidak pernah bermimpi akan menjadi seorang ibu dalam kondisi seperti ini.Mungkin jika dia tidak pernah berurusan dengan Lucca, tidak akan seperti ini keadaannya. Dia bisa menjadi seorang ibu seutuhnya dan memiliki keluarga yang normal. Namun dalam hati terkecilnya, dia tidak bisa membayangkan jika lelaki yang menjadi ayah dari anak-anaknya bukan Lucca Alonzo."Kau melamun terus, sweetheart?"Abigail tersenyum tipis sembari mendongak dan bertatapan mata dengan Nyonya Carla yang sedang mendorong kursi rodanya menuju taman aneka bunga miliknya yang luas. Salah satu tempat fa
Flashback On "Hamil?" Lucca sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar dokter Alice mengatakan alasan Abigail pingsan dan batuk darah. "Ya, hamil. Kembar." "Bagaimana bisa?" Kedua tangannya mengepal erat sembari memandangi wajah istrinya yang nampak tidur dalam kelelahan, begitu pucat dan tidak berdaya. "Seharusnya saya yang bertanya seperti itu. Bagaimana bisa anda lupa jika Nyonya Abigail belum mendapat suntikan lagi akibat kejadian akhir-akhir ini dan anda tidak bisa menahan diri hingga hal yang berusaha dihindari bisa terjadi?" Pukulan telak yang tidak bisa dibantah oleh Lucca. Satu kesimpulan yang secara tidak langsung dikemukakan dokter Alice adalah ini semua salahnya. Setelah berusaha keras menjaga agar hal tersebut tidak boleh terjadi, nyatanya saat ini Abigail sedang hamil beberapa minggu. "Saya sudah beritahu jika Nyonya Abigail hormonnya subur meskipun sekarang kandungannya lemah hingga suntikan itu tidak boleh dilewatkan." "SHITT!!" BUUK
"LALU APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?!" Teriak Lucca,menatap marah Sofia. "Membiarkannya kesakitan lalu akhirnya merelakannya pergi?" Lucca mengelengkan kepala. "Lebih baik dia membenciku seumur hidup!" Sofia menatap sedih Abigail dan kasihan pada Lucca yang nampak sangat frustasi. Siapa yang menyangka jika dia bisa melihat seorang penguasa yang di luar sana begitu ditakuti dan disegani bisa menampakkan wajah takut kehilangan seperti itu. Sofia menelan selivanya, "Apapun keputusan Abigail, aku akan mendukungnya. Jika dia memutuskan untuk mempertahankan anak kalian, aku akan melakukan segala hal yamg bisa aku lakukan untuk menolongnya. Meskipun pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan kimia tapi tetap memberikan perbedaan. Aku juga sangat berharap kalau Abigail baik-baik saja." Lucca membuang muka, "Sekalipun kau ahli meramu obat herbal, aku tidak mau mengambil resiko itu!" "Bukan kau yang berhak memutuskan hal itu." Sofia tersenyum prihatin. "Kesalahanmulah yang sudah membuat semua
Tanpa disangka, keempat pasangan itu menyeringai dan mengeluarkan senjata mereka ke arah Lucca dan Serafine. Ternyata mereka adalah pembunuh bayaran yang di sewa Ravel dan perkelahian tidak terhindarkan. Lucca tidak tahu apakah informan yang mereka beli berkhianat hingga mereka bisa terjebak seperti ini. Lucca melumpuhkan tiga di antaranya, menebar peluru kesegala penjuru dan berkelahi dengan tangan kosong. "Kepalamu dihargai sangat tinggi,The Black Rose," ucap seorang wanita cantik berambut blonde berwajah asia yang Lucca tahu merupakan salah satu pembunuh bayaran paling keji di eropa, Prisilia Wang. Lucca menyeringai, "Ambil saja jika bukan kepalamu duluan yang aku injak." Prisilia mengibaskan rambut indahnya ke belakang, "Laki-laki tampan menggoda yang sombong sekali!" Setelah mengatakannya, Prisilia maju berkelahi menggunakan dua pisau di tangannya dengan tangkas dan cekatan. Lucca berusaha menghindar dan melawan balik. Satu tendangan dia lepaskan namun Prisilia menangkapnya
Paris, PerancisLucca mengepalkan tangan sekuat tenaga saat melihat Abigail harus berbaring lemah di tempat tidurnya setelah pingsannya tadi. Setelah mencoba memburu Ravel yang ternyata gagal, malam itu juga Lucca bertolak ke Paris meski tidak langsung mendatangi Abigail karena harus mengobati luka-luka yang dia dapat. Meski begitu,berada satu kota yang sama dengan istrinya membuatnya lebih tenang sembari mencari keberadaan Ravel. Namun, hatinya kembali sesak saat melihat istrinya yang nampak lemah dan kurus lalu pingsan begitu saja."Ya Tuhan—" Lucca berusaha mengabaikan ucapan haru bercampur bahagia itu juga tatapannya. "Aku benar-benar tidak menyangka, kau akan berada di sini.""Aku kemari bukan untuk menjadi tamumu!!!" desis Lucca.Carla yang meneteskan air mata haru langsung menggelangkan kepala, "Tidak..tidak..tidak. Aku tidak peduli alasannya namun bisa melihatmu di dalam rumahku ini sungguh sebuah kebahagiaan."Sudah sejak lama, setelah kepergian orang tuanya, Lucca tidak pern
Abigail berusaha membuka matanya yang terasa berat. Tidak peduli sekalipun tubuhnya terasa sakit luar biasa. Dia tahu, ada yang sedang menunggunya bangun. Genggaman erat yang terasa diantara jemarinya membuktikan hal itu. Ah, suaminya pasti akan memasang wajah sangar dengan tatapan khawatir lagi karena dia untuk kesekian kalinya sejak kedatangannya ke Paris dan kalah telak tidak bisa mengubah keputusannya,pingsan lagi. Berada di antara rasa sakit yang mendera, menapaki jalan antara hidup dan mati seiring membesarnya perut yang dia lindungi dengan segenap hati dan kemampuan. "Kenapa—" suara Lucca sarat akan keputusasaan setelah dia akhirnya mampu membuka mata dan menemukan tatapan suaminya. "Kenapa kau masih saja bisa tersenyum di saat seperti ini, Abi?" Satu hal yang bisa melepaskan semua rasa lelah dan sakit yang Abigail rasakan selama hamil hanyalah karena Lucca sudah kembali ke sisinya meski tatapan matanya kadang seperti memohon agar Abigail mau memikirkan ulang keputusannya. Sa
Lucca mengangkat kepala dan berucap lirih, "Aku belum siap jika sesuatu terjadi padamu." Abigail tersenyum, "Jika memang sudah takdirku seperti itu maka berjanjilah untuk menjaga mereka agar tetap aman. Jangan biarkan ada orang yang akan mencelakakan mereka. Pastikan itu dengan nyawamu sendiri." Lucca menundukkan kepala, mengecup punggung tangan Abigail. "Kau benar-benar mampu membuatku tidak berdaya." Abigail tersenyum, "Semua akan indah pada waktunya." Lucca bergeming, membuat keheningan diantara mereka yang terasa panjang dan tidak berujung. Diantara keputusasan juga harapan. Untuk pertama kalinya Lucca berharap Tuhan mendengar rasa putus asanya dan mengabulkan harapannya. Sekali ini saja. ****** "Ah, rasanya segar sekali." Abigail menengadahkan wajah ke arah sinar matahari sore yang menerpa wajahnya setelah beberapa minggu hanya terbaring di kamar. Semilir angin yang lembut meniup beberapa helai rambut panjangnya. "Hal sederhana seperti jalan-jalan di taman seperti ini
"Dia tetap belum bisa menerimaku rupanya," lirihan sedih Nyonya Carla yang tiba-tiba duduk di sampingnya membuat Abigail menoleh. "Mama pikir, sering keluar masuk rumah ini meski dia sama sekali tidak memandangku akan membuatnya pelan-pelan mau menerima keberadaanku." "Tenanglah Mam, dia hanya sedang berambisi memburu seseorang saat ini," sahut Geovani yang duduk di samping mamanya sembari meminum anggur merah. Malam ini Nyonya Carla membuat acara makan malam dengan dihadiri seluruh keluarga hanya untuk menghibur Abigail dan membuktikan dengan frontal jika dia sudah dianggap sebagai keluarganya. Juga sebagai wujud syukur karena sudah tiga mingguan ini keadaannya tetap stabil tanpa diwarnai drama kesakitan seperti yang sering terjadi. "Ravel Brigton, lagi?" sahut Mamanya tidak percaya. "Apa dia tidak bisa duduk diam di sini saja bersama istrinya yang sebentar lagi akan melahirkan?" "Kau tahu bagaimana Lucca. Lagipula Ravel Brigton memang seharusnya tidak bisa dibiarkan hidup bebas
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj