"Tidak ada lelaki yang tidak bahagia memiliki anak dari wanita yang sangat dicintainya seburuk apapun masa lalunya karena sejak memiliki wanita itu, dia sudah bersumpah akan membuat perbedaan dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah mengikuti jejak kedua orang tuanya. Dia akan memastikan anaknya bahagia meski mengorbankan nyawanya sendiri. Tapi—" Lucca beegerak pelan mendekat, Abi mundur hingga tubuh ya terdesak nakas dengan tangan makin mencengkram pecahan kacanya membuat Lucca seketika berhenti. "Tapi jika hal itu mengharuskanku kehilanganmu, lebih baik jika aku tidak memiliki anak seumur hidupku." "Tapi aku menginginkannya..." "Aku tidak akan membiarkannya," sela Lucca cepat. "Aku akan berusaha sekuat tenaga agar kau tidak kehilangan kami berdua." "Aku tidak akan pernah mau mengambil resiko itu!!" Ucapnya tegas. "TAPI INI ANAK KITA BERDUA!!" Teriak Abigail putus asa. Mendengar ungkapan Lucca tadi menambah keyakinan dalam dirinya untuk mempertahankan anak dalam kandungannya. Abi b
Paris, Perancis, 5 bulan kemudian,Kondisinya lebih buruk dari yang dia perkirkan.Abigail lebih sering muntah darah, tubuhnya harus dipasangi infus agar dia tidak semakin melemah, badannya mengurus meski wajahnya nampak menyiratkan kebahagiaan. Mungkin inilah yang disebut cinta sejati tanpa batas. Mencintai sesuatu yang bahkan belum dia temui namun rela memberikan nyawanya sekalipun agar mereka bisa hidup. Abigail tidak pernah bermimpi akan menjadi seorang ibu dalam kondisi seperti ini.Mungkin jika dia tidak pernah berurusan dengan Lucca, tidak akan seperti ini keadaannya. Dia bisa menjadi seorang ibu seutuhnya dan memiliki keluarga yang normal. Namun dalam hati terkecilnya, dia tidak bisa membayangkan jika lelaki yang menjadi ayah dari anak-anaknya bukan Lucca Alonzo."Kau melamun terus, sweetheart?"Abigail tersenyum tipis sembari mendongak dan bertatapan mata dengan Nyonya Carla yang sedang mendorong kursi rodanya menuju taman aneka bunga miliknya yang luas. Salah satu tempat fa
Flashback On "Hamil?" Lucca sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar dokter Alice mengatakan alasan Abigail pingsan dan batuk darah. "Ya, hamil. Kembar." "Bagaimana bisa?" Kedua tangannya mengepal erat sembari memandangi wajah istrinya yang nampak tidur dalam kelelahan, begitu pucat dan tidak berdaya. "Seharusnya saya yang bertanya seperti itu. Bagaimana bisa anda lupa jika Nyonya Abigail belum mendapat suntikan lagi akibat kejadian akhir-akhir ini dan anda tidak bisa menahan diri hingga hal yang berusaha dihindari bisa terjadi?" Pukulan telak yang tidak bisa dibantah oleh Lucca. Satu kesimpulan yang secara tidak langsung dikemukakan dokter Alice adalah ini semua salahnya. Setelah berusaha keras menjaga agar hal tersebut tidak boleh terjadi, nyatanya saat ini Abigail sedang hamil beberapa minggu. "Saya sudah beritahu jika Nyonya Abigail hormonnya subur meskipun sekarang kandungannya lemah hingga suntikan itu tidak boleh dilewatkan." "SHITT!!" BUUK
"LALU APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?!" Teriak Lucca,menatap marah Sofia. "Membiarkannya kesakitan lalu akhirnya merelakannya pergi?" Lucca mengelengkan kepala. "Lebih baik dia membenciku seumur hidup!" Sofia menatap sedih Abigail dan kasihan pada Lucca yang nampak sangat frustasi. Siapa yang menyangka jika dia bisa melihat seorang penguasa yang di luar sana begitu ditakuti dan disegani bisa menampakkan wajah takut kehilangan seperti itu. Sofia menelan selivanya, "Apapun keputusan Abigail, aku akan mendukungnya. Jika dia memutuskan untuk mempertahankan anak kalian, aku akan melakukan segala hal yamg bisa aku lakukan untuk menolongnya. Meskipun pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan kimia tapi tetap memberikan perbedaan. Aku juga sangat berharap kalau Abigail baik-baik saja." Lucca membuang muka, "Sekalipun kau ahli meramu obat herbal, aku tidak mau mengambil resiko itu!" "Bukan kau yang berhak memutuskan hal itu." Sofia tersenyum prihatin. "Kesalahanmulah yang sudah membuat semua
Tanpa disangka, keempat pasangan itu menyeringai dan mengeluarkan senjata mereka ke arah Lucca dan Serafine. Ternyata mereka adalah pembunuh bayaran yang di sewa Ravel dan perkelahian tidak terhindarkan. Lucca tidak tahu apakah informan yang mereka beli berkhianat hingga mereka bisa terjebak seperti ini. Lucca melumpuhkan tiga di antaranya, menebar peluru kesegala penjuru dan berkelahi dengan tangan kosong. "Kepalamu dihargai sangat tinggi,The Black Rose," ucap seorang wanita cantik berambut blonde berwajah asia yang Lucca tahu merupakan salah satu pembunuh bayaran paling keji di eropa, Prisilia Wang. Lucca menyeringai, "Ambil saja jika bukan kepalamu duluan yang aku injak." Prisilia mengibaskan rambut indahnya ke belakang, "Laki-laki tampan menggoda yang sombong sekali!" Setelah mengatakannya, Prisilia maju berkelahi menggunakan dua pisau di tangannya dengan tangkas dan cekatan. Lucca berusaha menghindar dan melawan balik. Satu tendangan dia lepaskan namun Prisilia menangkapnya
Paris, PerancisLucca mengepalkan tangan sekuat tenaga saat melihat Abigail harus berbaring lemah di tempat tidurnya setelah pingsannya tadi. Setelah mencoba memburu Ravel yang ternyata gagal, malam itu juga Lucca bertolak ke Paris meski tidak langsung mendatangi Abigail karena harus mengobati luka-luka yang dia dapat. Meski begitu,berada satu kota yang sama dengan istrinya membuatnya lebih tenang sembari mencari keberadaan Ravel. Namun, hatinya kembali sesak saat melihat istrinya yang nampak lemah dan kurus lalu pingsan begitu saja."Ya Tuhan—" Lucca berusaha mengabaikan ucapan haru bercampur bahagia itu juga tatapannya. "Aku benar-benar tidak menyangka, kau akan berada di sini.""Aku kemari bukan untuk menjadi tamumu!!!" desis Lucca.Carla yang meneteskan air mata haru langsung menggelangkan kepala, "Tidak..tidak..tidak. Aku tidak peduli alasannya namun bisa melihatmu di dalam rumahku ini sungguh sebuah kebahagiaan."Sudah sejak lama, setelah kepergian orang tuanya, Lucca tidak pern
Abigail berusaha membuka matanya yang terasa berat. Tidak peduli sekalipun tubuhnya terasa sakit luar biasa. Dia tahu, ada yang sedang menunggunya bangun. Genggaman erat yang terasa diantara jemarinya membuktikan hal itu. Ah, suaminya pasti akan memasang wajah sangar dengan tatapan khawatir lagi karena dia untuk kesekian kalinya sejak kedatangannya ke Paris dan kalah telak tidak bisa mengubah keputusannya,pingsan lagi. Berada di antara rasa sakit yang mendera, menapaki jalan antara hidup dan mati seiring membesarnya perut yang dia lindungi dengan segenap hati dan kemampuan. "Kenapa—" suara Lucca sarat akan keputusasaan setelah dia akhirnya mampu membuka mata dan menemukan tatapan suaminya. "Kenapa kau masih saja bisa tersenyum di saat seperti ini, Abi?" Satu hal yang bisa melepaskan semua rasa lelah dan sakit yang Abigail rasakan selama hamil hanyalah karena Lucca sudah kembali ke sisinya meski tatapan matanya kadang seperti memohon agar Abigail mau memikirkan ulang keputusannya. Sa
Lucca mengangkat kepala dan berucap lirih, "Aku belum siap jika sesuatu terjadi padamu." Abigail tersenyum, "Jika memang sudah takdirku seperti itu maka berjanjilah untuk menjaga mereka agar tetap aman. Jangan biarkan ada orang yang akan mencelakakan mereka. Pastikan itu dengan nyawamu sendiri." Lucca menundukkan kepala, mengecup punggung tangan Abigail. "Kau benar-benar mampu membuatku tidak berdaya." Abigail tersenyum, "Semua akan indah pada waktunya." Lucca bergeming, membuat keheningan diantara mereka yang terasa panjang dan tidak berujung. Diantara keputusasan juga harapan. Untuk pertama kalinya Lucca berharap Tuhan mendengar rasa putus asanya dan mengabulkan harapannya. Sekali ini saja. ****** "Ah, rasanya segar sekali." Abigail menengadahkan wajah ke arah sinar matahari sore yang menerpa wajahnya setelah beberapa minggu hanya terbaring di kamar. Semilir angin yang lembut meniup beberapa helai rambut panjangnya. "Hal sederhana seperti jalan-jalan di taman seperti ini